Issues

Buruh Perempuan Ceraikan Suami, Peran Gender Normatif Memang Sudah Basi

Gugatan cerai pekerja perempuan kepada suami yang tidak membantu mereka menunjukkan kesadaran atas ketidakadilan gender.

Avatar
  • October 4, 2021
  • 5 min read
  • 895 Views
Buruh Perempuan Ceraikan Suami, Peran Gender Normatif Memang Sudah Basi

“Mutia”, mantan pekerja pabrik garmen di daerah Jakarta Utara kerap dipukul dan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh pasangannya. Sebagai pencari nafkah utama, pemukulan tersebut semakin intensif dilakukan semasa pandemi karena situasi keuangan rumah tangga yang tiap hari makin menurun. Tidak tahan dengan aksi kekerasan yang diterimanya, Mutia pun meninggalkan pasangan dan memulai hidup baru.

Mutia merupakan satu dari beberapa perempuan pekerja pabrik lain yang dibantu Dian Septi, Sekretaris Jenderal Federasi Buruh Lintas Pabrik untuk meninggalkan dan menceraikan pasangan mereka yang toksik. 

 

 

Dian mengatakan, sebelum bercerai, istri sulit untuk berkonsentrasi dalam bekerja. Ada yang mengalami trauma sampai sulit untuk diajak berkomunikasi dengan jelas karena tekanan dari rumah dan suami. Perusahaan tahu gangguan psikis yang dialami pekerjanya, tapi tidak memberikan bantuan. 

“Jadi serikat pekerja yang membantu. Mereka akan izin sakit kemudian serikat yang akan menemani ke rumah sakit,” ujarnya kepada Magdalene (1/10). 

Ia melanjutkan, istri menjadi pencari nafkah utama agar keluarga, baik orang tua maupun anaknya, bisa terus hidup. Jika bukan istri yang mengambil tindakan, maka hidup keluarganya akan semakin terombang-ambing. Karenanya, faktor ekonomi menjadi salah satu alasan mereka untuk menceraikan suaminya.  

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dari Kementerian Agama isu ekonomi menjadi penyebab perceraian tertinggi kedua dengan gugatan mencapai 71.194 kasus selama 2020. Sementara faktor perceraian tertinggi disebabkan perselisihan dan pertengkaran terus menerus sebanyak 176.683 kasus. Perceraian karena meninggalkan salah satu pihak mencapai 34.671 kasus dan KDRT sebanyak 3.271 kasus. Secara total terdapat 291.677 kasus perceraian. 

“Mereka (perempuan pekerja) selalu pencari nafkah utama, sementara suami kerja serabutan. Ada pekerja bangunan atau supir tidak resmi. Memang faktor ekonomi dan kemiskinan (menjadi pemicu perceraian), tapi banyak juga yang disertai dengan kasus KDRT,” ujar Dian yang juga anggota Perempuan Mahardhika.

Baca juga: Mimpi Buruk Baru: Mengurus Perceraian di Tengah Pandemi

Penelantaran Ekonomi dan Beban Ganda Perempuan

Komisioner Komisi Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Veryanto Sitohang mengatakan, suami sebagai kepala keluarga yang tidak memberikan nafkah maupun kasih sayang pada keluarganya adalah wujud penelantaran ekonomi. 

Penelantaran tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk KDRT berdasarkan  Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). 

Ia melanjutkan, penelantaran ekonomi itu menunjukkan perempuan dan anak adalah korban KDRT yang berujung gugatan cerai dari perempuan. 

“Dalam keluarga Indonesia, ironisnya posisi perempuan pencari nafkah tetap dianggap pencari nafkah tambahan. Kesulitan ekonomi mengakibatkan perempuan juga mengalami kekerasan bentuk lain, seperti fisik, psikis, bahkan seksual,” kata Veryanto kepada Magdalene (1/10). 

Selain itu, kasus gugat cerai dari buruh perempuan kepada suami juga disebabkan oleh ketidakseimbangan pembagian tugas. Misalnya di Purbalingga,  banyak istri pekerja pabrik wig dan bulu mata palsu menceraikan suami karena tidak dibantu dalam tugas domestik maupun ekonomi rumah tangga. Sepanjang tahun 2015, terdapat 882 kasus perceraian, di antaranya 63,09 persen penggugat adalah istri. Sedangkan selama tahun  2020, menurut BPS  terdapat 2.266 kasus perceraian di Purbalingga.

Diah Ariani Arimbi, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga yang juga fokus pada isu gender mengatakan, berkaca dari situasi itu alasan lain yang mendorong gugatan cerai ialah beban ganda. Istri merasakan ketidakadilan karena harus mengemban tugas domestik sekaligus urusan keuangan sendirian. Di saat bersamaan, suami yang tidak bekerja tetap menganggap tugas rumah tangga atau peran gender normatif adalah tanggung jawab perempuan. 

“Jadi ruang publik dan privat mereka menjadi satu. Gugatan yang mereka lakukan ini bentuk manifestasi feminisme dan kesadaran atas ketidakadilan gender,” ujarnya kepada Magdalene (1/10). 

Diah mengatakan, keberanian perempuan untuk menggugat cerai mengindikasikan peran gender normatif sudah tidak relevan dan perempuan semakin sadar akan agensinya. Selain itu, membuktikan bahwa anggapan perempuan kelas menengah ke bawah tidak paham isu gender adalah salah.

“Jadi tidak bisa digeneralisasi. Perempuan akar rumput sangat berani, berdaya dan empowering karena tidak mau dijajah nilai patriarkal,” kata Diah.

Baca juga: Sanksi Sosial Membuat Perempuan Korban KDRT Enggan Bercerai

Stigma Janda dan Perlindungan Hukum 

Diah mengatakan keputusan untuk bercerai bukan hal yang mudah karena maraknya stigma terhadap janda maupun ibu tunggal. Diah juga menyatakan hal yang senada. Walaupun perempuan tersebut telah mandiri secara finansial, stigma yang berakar pada nilai patriarkal tidak pernah hilang. Pasalnya, mereka akan diberi cap ‘janda gatal’, sementara tidak ada ‘duda gatal’. 

Karenanya, stigma terhadap perempuan yang cerai, janda, dan single mom harus terus direduksi. Selain itu, ibu tunggal memegang peran krusial karena mengambil peran sebagai ayah, ibu, pencari nafkah, dan pengasuh. 

“Cara yang ampuh mereduksi stigma ini adalah dengan edukasi tentang keputusan mereka karena itu bukan hal yang remeh temeh dengan dampak yang luar biasa. Jangan menjadikan mereka kambing hitam. Edukasinya pun bisa dilakukan lewat media,” kata Diah. 

Dian juga menegaskan, istri yang telah menceraikan suaminya perlu perlindungan hukum. Pasalnya, setelah bercerai banyak suami yang datang ke tempat kerja untuk mengintimidasi dan melakukan kekerasan fisik. Pihak perusahaan juga tidak memberikan sanksi tegas dan hanya diberitahu untuk tidak menimbulkan keributan di area perusahaan. 

Baca juga: Aturan Cerai ASN: Kalau Bisa Dipersulit Kenapa Dibuat Mudah?

Namun, imbuhnya, Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masih belum disahkan bahkan mengalami perubahan pasal hingga pengurangan aksi yang dikategorikan sebagai tindak kriminal. Selain itu, Konvensi ILO 190 tentang kekerasan dan pelecehan di dunia kerja juga belum diratifikasi. 

“Ini karena kasus yang dialami pekerja perempuan belum dianggap sebagai persoalan dunia kerja, makanya perusahaan lepas tangan. Mereka juga akan menyalahkan korban ketika mengalami kekerasan,” ujarnya. 

Veryanto mengatakan,“Mencermati situasi ini kami (Komnas Perempuan) berharap KDRT harus diatasi. Masyarakat sebaiknya tidak menyalahkan korban tapi memberikan dukungan karena korban KDRT berhak atas perlindungan.” 



#waveforequality


Avatar
About Author

Tabayyun Pasinringi

Tabayyun Pasinringi adalah penggemar fanfiction dan bermimpi mengadopsi 16 kucing dan merajut baju hangat untuk mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *