Menjadi Janda dan Lapis-Lapis Perjuangan di Baliknya
Menyarankan perempuan untuk bercerai tak semudah membalikkan telapak tangan. Stigma janda, perempuan gagal, dan kemiskinan membayangi langkah mereka.
“Hampir selama dua tahun, aku jadi samsak mantan suamiku. Aku mencoba bertahan demi anak-anak, namun satu kejadian menyadarkanku, ini tak benar. Aku harus keluar dari kehidupan semacam ini,” ucapnya.
Saya kaget mendengarnya, perempuan yang saya kenal baik dalam komunitas ini ternyata adalah korban kekerasan dalam rumah tangga.
Mantan suaminya dengan mudah memukulnya tanpa ampun lalu minta maaf dan berjanji tidak mengulanginya. Hal ini berlangsung hingga tubuhnya babak belur, hatinya hancur, trauma, dan bekas luka fisik.
Kekerasan dalam rumah tangga memang bukan perkara baru. Dari catatan Komnas Perempuan pada 2020, korban kekerasan fisik perempuan berjumlah 4.783 orang dari total 11.105. Sebanyak 59% jenis kekerasan terjadi pada istri dan dilakukan oleh suami sendiri. Meski data yang ditabulasi relatif besar, saya rasa ada banyak istri yang akhirnya memilih bungkam tak melaporkan.
Baca Juga: Engkau Janda dan Engkau Terhormat
Pilihan untuk bertahan tentu dipengaruhi oleh banyak faktor, yang buat logika “orang waras”, tentu akan kabur begitu fisik dan psikisnya menderita. Namun, usai mendengar cerita kawan ini, saya bisa merasakan betapa sulit melompati lapisan demi lapisan perjuangan demi bisa bebas.
Lapisan pertama yang harus dilewati adalah melawan stigma. Itu tak muncul begitu saja, melainkan dibentuk oleh lingkungan secara kontinyu, sehingga membentuk citra dan menentukan bagaimana seharusnya menjadi perempuan. Lewat konstruksi masyarakat, hal ini dibingkai sebagai “kodrat perempuan”, sehingga aneh jika perempuan melanggarnya.
Dalam hal ini, kodrat perempuan yang dimaksud adalah menikah dan mempertahankannya, seberapa pun mengerikannya pernikahan tersebut. Lelaki tak dibebani stigma semacam itu, sehingga ketika pernikahan gagal, perempuan akan dicap sebagai biang kerok, dilabeli hina, gatel, dan sebutan lainnya ketika jadi janda. Teman saya yang memutuskan untuk bercerai tentu tidak mudah diterima oleh keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Baca Juga: Memang Kenapa Kalau Janda?
Dalam kehidupan bermasyarakat, konstruksi sosial sangat didominasi oleh pandangan laki-laki, dan cenderung menempatkan perempuan sebagai kelas dua atau subordinat, sehingga tak bisa bikin keputusan sendiri. Hal inilah yang melahirkan ketidakadilan gender. Mengutip Mansour Fakih dalam bukunya bertajuk Analisis Gender dan Transformasi Sosial (2016), konstruksi sosial yang patriarkis kerap menindas perempuan dengan tidak mengakui dan memberikan penghargaan terhadap hak-hak mereka.
Inilah yang menimpa teman saya. Ia bungkam kendati nyawanya terancam di tangan sang suami. Tak ada keberanian untuk melapor dan mengakhiri rumah tangga karena tersandera sejumlah stigma tersebut.
Lapisan perjuangan perempuan berikutnya adalah memperoleh keadilan dalam sistem hukum yang bias gender. Dalam pembagian harta pasca-bercerai, teman saya tak mendapatkan apapun. Dia termarjinalkan karena dia ibu rumah tangga yang dianggap tak berkontribusi dalam pengumpulan harta keluarga.
Baca Juga: Janda di Bawah Bayang-bayang Ibu
Sistem hukum yang bias gender menurut Mia Siscawati dan Noer Fauzi Rachman dalam buku berjudul Gender dan Politik Konsesi Agraria (2018), dipicu oleh pengambilan keputusan yang tak sensitif terhadap kultur patriarki dan memarjinalkan perempuan.
Perjuangan perempuan untuk memperoleh keadilan memang berlapis-lapis. Tiap lapisan harus dilewati agar dapat melompat pada lapisan berikutnya. Saya rasa semua perempuan pasti bisa melompatinya, seperti yang dialami teman saya.
Banyak kisah perjuangan perempuan yang melawan ketidakadilan, seperti cerita dari Kartini Kendang dan Aleta Baun. Mereka berhasil melawan “stigma perempuan”, keluar dari penjara patriarki, dan berada di garis depan melawan kebijakan yang menghancurkan alam dan penindasan perempuan.
Mungkin kamu saat ini juga sedang berjuang, seperti halnya perempuan di tempat lain. Namun satu hal yang pasti, saya, kamu, dan semua perempuan adalah penting, sama pentingnya dengan laki-laki.