December 5, 2025
Issues Politics & Society

Dari Soeharto ke Prabowo, Tuntutan Perempuan Buruh Masih Sama: Apa Artinya? 

Saya ngobrol dengan tiga perempuan buruh yang ikut aksi di Jakarta awal September. Tuntutan mereka sama dari era Soeharto hingga Prabowo, bukti perubahan nyata masih minim meski janji politik terus dijual.

  • September 11, 2025
  • 5 min read
  • 2980 Views
Dari Soeharto ke Prabowo, Tuntutan Perempuan Buruh Masih Sama: Apa Artinya? 

Merta Merdiana Lestari, 30, telah bekerja selama empat tahun sebagai buruh outsourcing di sebuah pabrik plastik di Tangerang. Setiap enam bulan, kontraknya diperpanjang melalui yayasan yang mewakili buruh, tetapi Merta tidak mengetahui rincian isi perjanjian yang dibuat antara pabrik dan yayasan. 

Sepanjang empat tahun pula, ia tidak memperoleh hak-hak buruh seperti Tunjangan Hari Raya, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan), cuti, maupun cuti menstruasi. Perusahaan hanya menyediakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). 

Serikat pekerja memang ada di pabriknya, tetapi menurut Merta jarang bertugas mengadvokasi buruh. “Kerap buruh yang dipecat secara semena-mena oleh perusahaan tidak diadvokasi oleh serikat pekerja di pabrik itu sendiri,” katanya. Pada Magdalene, (4/9). 

Baca Juga : Janji Prabowo di Hari Buruh: Hapus ‘Outsourcing’ tapi Tetap Jaga Investor 

Merta Merdiana Lestari, buruh perempuan salah satu pabrik di Tangerang-Banten, bertanggungjawab dalam produksi ember, toples, jirigen 1 liter. (Foto: Dok. Ahmad Khudori/Magdalene)

Karena risiko dipecat yang tinggi, Merta semakin menyadari perlunya serikat pekerja sebagai bentuk perlindungan. Masalahnya, mengorganisasi buruh perempuan lain untuk menuntut hak menjadi pekerja tetap menjadi tantangan besar, karena banyak dari mereka juga merupakan ibu rumah tangga dengan waktu terbatas. 

“Mereka sudah lelah bekerja, jadi sulit untuk beraktivitas di luar, apalagi bagi buruh perempuan yang punya anak,” ujarnya. Ia menambahkan, “Setiap perjuangan pasti menghadapi hambatan, jadi mengajak ibu-ibu di pabrik untuk berserikat membutuhkan usaha ekstra.” 

Pabrik tempat Merta bekerja memiliki kurang lebih seribu buruh, didominasi pekerja harian lepas dan outsourcing. Sehari-hari, ia bertugas sebagai operator produksi. Ia menunggu produk plastik jatuh dari mesin, memeriksa kualitas, dan memastikan sesuai standar pabrik. Bersama rekan-rekan, ia ditarget memproduksi ribuan ember, botol minyak, toples, dan jerigen per hari. Jika target tidak tercapai, upah dapat dipotong atau gaji dibayarkan mundur. 

Baca Juga : Pak Prabowo, ini Alasan Kenapa Satgas PHK Sia-sia

Merta bercerita pada Magdalene, kawan-kawannya yang menuntut hak, semua berakhir dipecat. Situasi inilah yang membuat Merta memutuskan ikut aksi buruh pada (4/9) di Patung Kuda, Jakarta. Keikutsertaannya adalah cara menyuarakan tekanan yang sudah menumpuk bertahun-tahun. 

Di Garut, Siti Lutfiah dari Serikat Buruh Chang Shing Indonesia (SBCSI) menjalani kehidupan serupa. Ia bekerja sebagai operator mesin jahit untuk produk alas kaki Nike, menerima gaji R 2 juta per bulan, di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) Garut sebesar Rp2.328.555.  

Pabriknya didominasi buruh perempuan hingga 90 persen. Target produksi tinggi menjadi tekanan tersendiri bagi Lutfiah dan kawan-kawan. Ia bilang, hak-hak buruh perempuan sering diabaikan, termasuk hak atas gaji layak dan hak cuti. 

“Kondisi mayoritas pekerja kan banyaknya perempuan, di mana hak-haknya kerap diabaikan. Hak-hak pekerja perempuan harusnya direalisasikan oleh perusahaan, seperti digaji dengan layak, (diberikan) hak cuti” ungkapnya. 

Karena itu, Lutfiah menyebut pentingnya perjuangan upah layak secara nasional agar kondisi buruh merata di semua daerah. 

Dalam aksi yang sama, Siti Eni, 49, Pimpinan Unit Kerja Perserikatan Buruh Bangsa-Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (PUK PBB-KASBI) Jawa Barat juga angkat bicara. Ia sengaja datang dari Bandung ke Jakarta untuk menyampaikan kritik tentang nasib buruh di tempatnya tinggal ke pemerintah nasional. 

Ia menjelaskan pada Magdalene, beban hidup buruh akibat kebijakan upah rendah, outsourcing, magang palsu, dan kenaikan harga bahan pokok. Eni menyoroti situasi ekonomi yang sulit, harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, dan upah yang tidak mencukupi untuk menanggung keluarga. 

Ia juga menekankan, perempuan buruh sepertinya sering menanggung tanggung jawab keluarga, sehingga beban mereka lebih kompleks. “Udah enggak terhitung saya utang gali lubang tutup lubang untuk menutupi biaya sehari-hari. Apalagi suami juga kerjanya serabutan,” tuturnya. 

Perjalanan ketiga perempuan ini dari rumah ke pabrik menjadi rutinitas yang menegaskan tekanan kerja yang mereka hadapi. Setiap hari, mereka meninggalkan rumah pagi-pagi, bekerja sepanjang jam yang ditentukan pabrik, dan kembali ke rumah untuk mengurus keluarga. Bagi banyak buruh perempuan, termasuk Merta, Lutfiah, dan Eni, beban hidup ini menjadi alasan utama ikut aksi buruh. 

Salah satu buruh perempuan membentangkan poster protes Harga pangan yang tidak stabil di aksi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) 4/9. (Foto: Dok. Ahmad Khudor/Magdalene)

Baca Juga: Tangis Buruh Perempuan di Balik Ambisi Prabowo Perluas Pekebunan Sawit

Janji Prabowo yang Belum Terwujud 

Sebelum ramai demo dari 25 Agustus 2025 sampai September ini, pada Hari Buruh 1 Mei 2025, Presiden Prabowo Subianto berjanji kepada kawan-kawan buruh di Monumen Nasional. Di antaranya, ia berjanji untuk menghapus sistem outsourcing, membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional (DKBN), dan membentuk satuan tugas PHK agar buruh tidak di-PHK secara sewenang-wenang. 

Janji ini terdengar familier bagi banyak perempuan buruh, karena menyinggung tuntutan klasik serupa sejak era Orde Baru. Tepatnya ketika upah layak, hak cuti, dan perlindungan pekerja sering diabaikan. Seperti diungkap Teten Masduki pada 1996 di Kompas, pemerintah cenderung memperlakukan buruh hanya sebagai bahan bakar untuk industrialisasi dan ekspor, tanpa melibatkan mereka dalam kebijakan yang menyentuh hak-hak mereka. 

Betul saja, empat bulan berlalu sejak pidato Prabowo, tapi janji itu masih sebatas kata-kata. Pemutusan hubungan kerja tetap terjadi di berbagai pabrik, termasuk ratusan buruh di Gudang Garam, dan berbagai kasus PHK lain di sektor manufaktur maupun industri padat karya tetap terjadi. 

Di saat bersamaan, tekanan kerja yang tinggi, upah yang rendah, dan ketidakpastian pekerjaan menjadi bagian sehari-hari buruh perempuan, seperti diceritakan tiga perempuan buruh tersebut. Mereka harus menyeimbangkan tuntutan produksi dengan tanggung jawab di rumah, mulai dari mengurus anak hingga mengatur kebutuhan rumah tangga, sementara hak-hak dasar mereka sering terabaikan. 

Merta, Lutfiah, dan Eni sepakat, janji pemerintah tanpa tindakan nyata tidak cukup. Karena itu mereka akan terus melakukan aksi demonstrasi, sampai semua tuntutan diakomodasi. 

“Tuntutan kita ini sebenarnya dari tahun ke tahun kan sama. Upah layak, perlindungan kerja, cuti, dan hak-hak reproduktif,” ucap Eni. 

Pertanyaannya, sampai kapan pemerintah, termasuk Presiden Prabowo, akan mengingkari janji? 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Ahmad Khudori and Purnama Ayu Rizky