Sebelum Selalu Bicara Perempuan, Hanung Memotret Kemarahan Remaja Pria dalam ‘Catatan Akhir Sekolah’
Beberapa tahun terakhir, Hanung Bramantyo dikenal sebagai sutradara yang rajin membicarakan perempuan—terutama perempuan muslim—dan segala beban sosial yang melekat padanya. La Tahzan: Cinta, Dosa, Luka… (2025), film teranyarnya, bicara tentang pergulatan perempuan dalam cinta terlarang dan moralitas; dan dalam sinopsis yang lebih bombastis, tentang pekerja rumah tangga yang jadi selingkuhan majikannya.
Tahun ini, ia lebih dulu merilis Gowok: Kamasutra Jawa (2025), percobaan menafsirkan ulang erotika tradisional melalui tubuh perempuan Jawa.
Setahun sebelumnya, ia merilis Ipar adalah Maut (2024) dan Tuhan Izinkan Aku Berdosa (2024) secara berdekatan. Lagi-lagi, keduanya menempatkan tubuh perempuan sebagai arena konflik utama: yang satu mengisahkan perempuan muda yang jadi selingkuhan kakak iparnya sendiri, yang lain tentang perempuan yang mencoba merebut agensi tubuhnya dari jeratan moralitas agama.
Baca juga: Maskulinitas Laki-laki yang Direkonstruksi Film-film Yandy Laurens
Dari sini, muncul pertanyaan: bagaimana sebenarnya Hanung memandang relasi antara tubuh, seksualitas, dan identitas gender dalam karya-karyanya?
Kalau kita tengok ke belakang, jawabannya tidak sesederhana itu. Dulu, Hanung justru sibuk di sisi spektrum yang lain: tubuh lelaki muda. Di awal kariernya, ia banyak menyoroti maskulinitas, terutama bagaimana energi, emosi, dan hasrat remaja laki-laki tumpah ruah di layar. Dua filmnya di pertengahan 2000-an, Catatan Akhir Sekolah (2005) dan Jomblo (2006), merekam fase ini dengan gamblang.
Ambil contoh Catatan Akhir Sekolah. Film ini memotret maskulinitas tiga remaja putra perkotaan —Agni (Ramon Y. Tungka), Arian (Vino G. Bastian), dan Alde (Marcel Chandrawinata)—yang menavigasi masa SMA dengan segala drama sosialnya.
Menariknya, kalau ditonton ulang sekarang, karakter Agni—yang dalam bahasa Sanskerta berarti api—muncul sebagai figur yang nyaris sepenuhnya digerakkan oleh satu emosi: amarah. Ia marah pada dua sahabatnya, pada sistem sekolah, saat berinteraksi dengan teman sekolah, pada pacar Alina yang abusif, bahkan pada dirinya sendiri. Amarah ini bukan sekadar bumbu cerita, tapi energi yang menggerakkan keseluruhan film.
Lewat Agni, kita bisa membaca ulang cara Hanung memandang maskulinitas muda—sesuatu yang kini sudah jarang ia sentuh.
Pengaruh Kelas Sosial pada Ekspresi Maskulinitas Remaja
Catatan Akhir Sekolah berpusat pada tahun terakhir Agni, Alde, dan Arian di SMA. Mereka bukan anak populer, tapi juga bukan korban perundungan—posisinya ada di tengah rantai sosial sekolah. Saat sadar masa SMA—yang dipercaya sebagai masa-masa terindah—akan berakhir, mereka membuat proyek dokumenter tentang kehidupan sekolah sebagai catatan terakhir.
Sayangnya, proyek ini goyah ketika Agni terganggu oleh drama masa lalu: hubungannya dengan Alina (Joanna Alexandra), mantan pacar yang kini bersama Ray (Christian Sugiono), cowok populer yang abusif.
Agni yang awalnya paling bersemangat justru menjadi yang paling terdistraksi, membuat persahabatan mereka retak.
Di antara ketiganya, Agni dan Arian sama-sama ditampilkan sebagai pribadi yang ekspresif dan penuh energi. Tapi bedanya, energi Agni terasa dibahanbakari oleh amarah. Ia marah pada Alde dan Arian yang tidak memahami visi artistiknya, ia marah pada oknum petinggi sekolah yang korup, ia marah melihat Alina diperlakukan buruk oleh Ray, bahkan terkadang marah pada situasi yang sebenarnya netral. Amarah ini tidak selalu rasional atau terarah, tetapi hadir sebagai latar permanen dari kepribadiannya. Hal ini makin kentara saat ia disejajarkan dengan Alde yang berwatak tenang dan stabil.
Kita diperlihatkan lingkungan tempat Alde tinggal; ibunya (Henidar Amroe) hadir memberikan afeksi dan atensi, rumahnya ideal sebagai ruang tumbuh dengan fasilitas yang memadai, dan ia tumbuh dengan memiliki hobi.
Baca juga: Saat Muslimah Tahu yang Dimau: Membaca Lagi Adegan Seks dalam ‘Perempuan Berkalung Sorban’
Agni, sebaliknya, sama sekali tidak diperlihatkan latar keluarganya. Dari ketiadaan konteks ini, justru menarik untuk dibaca, kenapa amarah menjadi satu-satunya “bahasa” yang bisa Agni gunakan?
Dari perspektif psikologi perkembangan yang diperkenalkan Erik Erikson, Agni mencerminkan fase identity vs role confusion. Remaja berada di persimpangan identitas, dan amarah sering menjadi bentuk ekspresi krisis tersebut. Jeffry Arnett (1999) menyebut masa remaja identik dengan storm and stress: perubahan suasana hati ekstrem, konflik sosial, dan perilaku impulsif.
Fase ini berkorelasi dengan adanya konflik antara orang tua dan anak, dan efeknya akan makin intens jika sang anak berada di lingkungan yang individualistik.
Dalam konteks maskulinitas, RW Connell menjelaskan bahwa ketika kanal artikulasi maskulin yang mapan tidak tersedia—seperti stabilitas ekonomi atau dukungan keluarga—maka kemarahan menjadi performa maskulinitas yang paling mudah diakses. Agni membentuk kepribadiannya sebagai laki-laki bukan lewat prestasi atau kepemimpinan, melainkan lewat intensitas emosional yang tak terbendung.
Lagi-lagi, kontras dengan Alde sangat penting. Alde bisa menyalurkan energi ke musik, punya ruang aman di rumah, dan sosok ibu yang memberi perhatian. Ia menjadi contoh maskulinitas tenang yang tidak perlu dibuktikan lewat amarah. Sebaliknya, Agni, yang tidak diberi fondasi latar keluarga, menjadi cermin maskulinitas rapuh yang mudah pecah. Dengan begitu, perbedaan keduanya tidak hanya soal karakter personal, tetapi juga representasi kelas sosial dan kestabilan lingkungan.
Kemarahan Remaja Pria Sebagai Sumbu Utama dan Hanung yang Bergeser Haluan
Kemarahan Agni tidak hanya hadir lewat dialog atau konflik, tetapi juga mengalir lewat gaya sinema Hanung.
Sejak menit pertama, energi film ditancapkan lewat sekuens pembuka bertegangan tinggi: sebuah shot panjang yang mengikuti karakter memutari sekolah. Kamera Suadi Utama mula-mula mengikuti Arian ke papan mading, lalu terinterupsi untuk menyoroti geng cewek cantik, berhenti pada kepala sekolah yang menegur murid, hingga akhirnya berlari bersama Agni dan Alde yang melompat dari lantai satu ke lantai dasar.
Long take ini bekerja sebagai prolog yang mendefinisikan dunia remaja: penuh interupsi, sulit dikendalikan, berenergi liar, dan berujung pada aksi impulsif.
Agni (dan Aria) langsung diperkenalkan sebagai sosok ekstrem, aktif, dan berani melampaui batas. Dengan begitu, shot pembuka tidak hanya “memperkenalkan karakter”, tetapi juga menetapkan tone: film ini akan bergerak secepat, segaduh, dan semeledug energi remaja.
Gaya visual ini terus berlanjut. Penyuntingan cepat, pergerakan kamera dinamis, dan ritme adegan yang tak pernah tenang menciptakan atmosfer yang meledak-ledak.
Dalam kerangka analisis film, gaya ini mencerminkan psikologi tokohnya. Catatan Akhir Sekolah tidak hanya menceritakan remaja yang penuh energi, melainkan juga menjadi film yang marah—penuh letupan energi yang seolah tak sabar untuk keluar.
Jika dibandingkan dengan Ada Apa dengan Cinta? (2002), yang menghadirkan remaja dalam nuansa puitis dan romantis, Catatan Akhir Sekolah jelas terasa lebih gaduh, lebih agresif, dan lebih laki-laki. Hanung membangun film remaja yang presentasinya mencerminkan interioritas remaja pria, dengan kekacauan identitas dan testosteron yang meluap-luap.
Di sinilah Agni menjadi poros: ia adalah jiwa film, representasi energi yang tidak bisa tenang.
Menonton ulang Catatan Akhir Sekolah dua dekade setelah rilis memperlihatkan sesuatu yang kini absen dalam film-film Hanung belakangan. Aurelia Gracia dalam esainya, Ilusi Kebebasan Perempuan dalam Gowok, menyoroti interpretasi Hanung yang sering kali keliru dalam “merayakan” atau “menghukum” karakter-karakter perempuannya. Dalam Gowok misalnya, Hanung seolah-olah membingkai profesi itu sebagai yang membebaskan perempuan karena membawa rejeki. Padahal, menurut Aurel, framing Hanung justru tidak tepat karena keliru melihat kerentanan tubuh perempuan yang dilihat sebagai komoditas dalam masyarakat patriarkal.
Jika kini Hanung hobi menempatkan tubuh perempuan sebagai medan konflik utama, dulu, lewat Catatan Akhir Sekolah, ia sempat memberi ruang bagi tubuh laki-laki remaja, dengan segala kerapuhannya. Di tengah diskursus hari ini tentang maskulinitas toksik, Catatan Akhir Sekolah sebetulnya masih terasa relevan. Tak banyak sutradara laki-laki yang hadir kritis dan kesadaran ingin memblejeti maskulinitas beracun, dan membentuk maskulinitas baru yang segar dan sehat.
Hanung, meski singkat, pernah mengabadikan maskulinitas muda yang meledak-ledak. Lewat Catatan Akhir Sekolah, ia menghadirkan arsip sinematik tentang amarah remaja laki-laki yang rapuh, bising, dan membingungkan, namun jujur adanya. Mungkin, dan hanya jika ia ingin meninggalkan tema-tema perempuan dalam karyanya, Hanung bisa kembali ke teritorinya: membicarakan gejolak emosi pria dengan lebih menarik dan sesuai konteks hari ini.
















