Issues

Catatan dari FFI 2021: Minimnya Juri Perempuan hingga Posisi Festival

Benarkah minimnya juri perempuan berpengaruh terhadap deretan film pemenang? Catatan dari FFI 2021.

Avatar
  • November 12, 2021
  • 6 min read
  • 808 Views
Catatan dari FFI 2021: Minimnya Juri Perempuan hingga Posisi Festival

Ini tahun kedua Festival Film Indonesia (FFI) dihelat selama pandemi. Ditutupnya bioskop membuat FFI 2021 kehilangan banyak jagoan film. Pun ada banyak film yang ditayangkan melalui streaming service, sehingga hanya ada dua film panjang yang dinominasikan sebagai film panjang terbaik. Sementara, lima nominasi lainnya merupakan film yang baru tayang di festival film internasional. 

Kali ini, sutradara muda yang film pendeknya pernah memenangkan Cannes International Film Festival di 2016, Wregas Bhanuteja tidak hanya mendapatkan nominasi, tapi juga memborong Piala Citra. Jika ditotal, Penyalin Cahaya memenangkan 12 Piala Citra, termasuk film panjang terbaik, sutradara terbaik, skenario asli terbaik, pemeran pria utama terbaik, dan pemeran pria pendukung terbaik.

 

 

Sebagai penonton film yang hampir belum menonton semua nominasi film panjang terbaik FFI 2021 (kecuali Ali & Ratu-ratu Queens serta Bidadari Mencari Sayap yang tayang di streaming service), saya tentu merasa takjub. Pasalnya, film ini bahkan mengalahkan gaung Yuni yang telah memenangkan Platform Prize di Toronto International Film Festival 2021 dan menjadi submisi resmi Republik Indonesia di ajang Academy Awards 2022 untuk kategori International Film Feature.

Sebagus itukah film Penyalin Cahaya? Pertanyaan ini mengantarkan saya pada hal-hal yang membedakan gelaran FFI 2021 dengan FFI di tahun-tahun sebelumnya? 

Baca juga: FFI 2020: Satu Hari Satu Hal Baik Film Indonesia

Penjurian FFI 2014-2020

Sejak 2014, FFI sudah mengadaptasi penjurian Academy Awards. Paling tidak, begitu yang Duta FFI 2014, Reza Rahadian dan Christine Hakim katakan. Setidaknya, ada tiga elemen yang FFI coba adaptasi dari ajang paling bergengsi di Hollywood tersebut: 1) mekanisme voting; 2) voternya adalah 85 rekan sebaya dari masing-masing kategori yang diperbolehkan memilih kategori film panjang terbaik; 3) voting anonim dan dilibatkannya lembaga akuntan independen untuk mengolah tabulasinya. Hal itu jauh berbeda dibanding era 2013 di mana hanya ada sembilan juri yang dilibatkan untuk menentukan pemenang di seluruh kategori. 

Dengan mekanisme demikian, pemilihan pemenang di FFI 2014 masih sangat jauh dari Academy Awards. Namun, ini adalah sebuah kemajuan. Tidak seperti olahraga, film memiliki daya subjektif yang sangat tinggi. Untuk itu, Academy Awards memiliki lebih dari 8.000 anggota voter yang diundang yang diperbolehkan memilih kategori profesinya sendiri dan film terbaik. Sebagai contoh, aktor hanya diperbolehkan memilih pemenang di kategori akting dan bukan di kategori sutradara. 

Itulah mengapa, semakin banyak juri yang dilibatkan, semakin beragam latar belakangnya, semakin dianggap lebih adil pula ajang Oscar. Oscar kerap dikatakan sebagai rasis atau Oscar so white karena jarang memenangkan film bertema kulit hitam. Keragaman ras, orientasi seksual, dan gender jadi faktor untuk meminimalisasi bias dalam voting. 

Untuk itu pula, biasanya di setiap ajang Oscar, kampanye dan pemutaran film dilakukan agar voter familier dengan film yang dinominasikan. Kampanye dan pemutaran film nominasi sebelum ajang FFI biasanya tidak dilakukan karena FFI biasanya melibatkan organisasi/ komite/ atau asosiasi profesi untuk merekomendasikan film panjang yang dikerucutkan sampai dalam nominasi. Paling tidak, itu yang dipertahankan dari 2014 sampai 2020. 

Pada 2020, ketua komite penjurian FFI, Nia Dinata, melibatkan 66 voter dengan skema yang kurang lebih mirip selama enam tahun terakhir. Selama tiga tahun belakangan, semenjak skema Oscar diadaptasi, FFI memang masih memiliki kecenderungan bias. Pada 2018-2020, film yang dikirim sebagai official submission untuk ajang Oscar biasanya mendapat nominasi paling banyak, menang piala citra paling banyak, dan memenangkan film terbaik. Marlina, Kucumbu, dan Perempuan Tanah Jahanam menguasai FFI kala itu. 

Lebih lanjut, bias itu terjadi barangkali karena submisi Oscar diumumkan sebelum FFI dilaksanakan, dan berapa banyaknya film tersebut tayang di festival internasional. Ini tak berarti mekanisme penjuriannya keliru, tapi bagaimana nomine merespons kampanye festival film dan bagaimana komite FFI bisa menciptakan penjurian yang proporsional. Sebanyak 9.600 voter Oscar (per 2021) saja kadang rentan bias pada film-film tertentu karena disparitas gender, seks, dan orientasi seksual, apalagi hanya dengan 60 voter? 

Penjurian FFI 2021

Hal paling mengecewakan dari skema penjurian FFI 2021 adalah perubahan drastis penjurian. Tidak lagi mengadaptasi voting Oscar, FFI kini memiliki 15 dewan juri yang akan menentukan kategori-kategori film panjang dengan tiga juri di beberapa kategori film lain, seperti animasi dan dokumenter. 

Salah satu dewan Juri FFI 2021, seorang kritikus film legendaris, Hikmawat Darmawan, berpendapat, masing-masing juri ini mewakili profesi tertentu baik dari kritik film, akting, sutradara, editor, dan lain-lain. Alih-alih voting, dewan juri FFI diperbolehkan diskusi untuk menentukan pemenang di setiap kategori.

Jika itu belum cukup mengagetkan, dari lima belas juri yang terlibat menilai film panjang, hanya tiga di antaranya yang perempuan. Mereka adalah Sheila Timothy, Rayya Makariem, dan Niniek L Karim. Begitu saya mengetahui fakta ini, saya makin yakin bias penjurian di FFI 2021 akan jauh lebih parah dibanding tahun-tahun sebelumnya sejak 2014. 

Bagaimana saya mempercayai proses penjurian dewan juri yang 80% sudah tidak proporsional secara gender? Belum lagi bias berbasis demografi, seperti suku. Hal ini membuat saya penasaran, apakah film-film lain yang mengusung tema timur, seperti Cinta Bete atau perempuan dan masalah domestik, seperti Yuni memang tidak layak memenangkan kategori apapun? Diskursus ini sering timbul bahkan di ajang Oscar. Namun paling tidak, mereka tahu solusinya adalah menambah anggota Oscar dengan latar belakang budaya, kelamin, dan negara lain. Pada FFI, ini kelihatan seperti hal yang tidak dianggap sebagai masalah sama sekali. 

Baca juga: 100% Manusia Festival Film 2019: Rayakan Keberanian dan Ketangguhan

Posisi Penjurian FFI dan Ekosistem Film Nasional

Mekanisme penjurian yang FFI lakukan memang tidak asing. Pada festival film internasional macam Toronto, Cannes, atau Venice, mereka juga melibatkan juri. Namun tujuan dari festival tersebut adalah pemasaran. Bagaimana film yang ditayangkan atau memenangkan festival mendapat distributor internasional. Oleh karena itu, politik festival dan kepentingan dewan juri jadi relevan dan dianggap lumrah. Sebagai contoh, pemenang Grand Jury Prize di Sundance, CODA, berhasil diakuisisi Apple TV karena film tersebut memang bersifat independen dan dinilai cocok mewakili festival Sundance yang terkenal menjadi pasar film independen di Amerika Serikat

Pertanyaannya sekarang, seperti apa FFI hendak memposisikan diri mereka di dalam ekosistem film nasional? Apakah benchmark yang diambil oleh sekelompok orang eksklusif yang dipilih menjadi juri tahun itu? Atau, benchmark yang bersama-sama didirikan oleh lebih banyak voter?

Dari sini, saya jadi merasa film Yuni tidak memenangkan Piala Citra lebih banyak karena disparitas gender di dewan Juri. Kalau pun tiga dewan perempuan juri ingin memenangkan Kamila Andini dan Prima Rusdi untuk skenario asli terbaik, mereka harus meyakinkan 13 dewan juri laki-laki untuk memilih hal yang sama. Kalau tidak mencapai mufakat, dewan juri perempuan akan selalu kalah.

Saya percaya Penyalin Cahaya membahas isu yang sangat penting dan film yang dibuat sangat bagus pula. Lalu kenapa masalah perempuan yang dihargai di dalam festival film harus melulu soal kekerasan seksual seperti yang diceritakan di dalam film Penyalin Cahaya? Kenapa masalah domestik, seperti isu yang diangkat Kamila Andini dalam film Yuni tidak bisa terlihat penting? 

Bias macam ini tidak dapat diminimalisasi jika FFI menerapkan skema voting secara anonim oleh voter yang beragam dan banyak. Bias masih akan terjadi, tapi akan jauh lebih ditekan. Sebagai penikmat FFI yang mulai merasa optimis sejak enam tahun terakhir, sejujurnya saya merasa kecewa.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis. 

Ada kesalahan jumlah voter pada FFI 2020, dari yang mulanya disebutkan 660, dan telah dikoreksi jadi 66. Redaksi mengakui ketidaktelitian itu dan meminta maaf. 

 



#waveforequality


Avatar
About Author

Reza Mardian

Penulis telah menulis resensi dan komentar film sejak tahun 2017. Ia menulis di The Jakarta Post, The Next Best Picture, Magdalene dan channel Tiktoknya @keltikfilm.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *