‘Cek Toko Sebelah 2’: Kritik Atas Institusi Pernikahan yang Menggelitik
Ernest dan Meira berhasil menuturkan cerita yang lebih inklusif, kritis, dan tetap menggelitik.
Pernikahan sering kali dianggap sebagai salah satu pencapaian hidup. Sejak saya kecil, adegan film yang bahagia selalu menggambarkan pernikahan antara dua karakter hetero utamanya. Cinderella menikahi Prince Charming dalam film Cinderella (1950), Ariel menikahi Eric di The Little Mermaid (1989). Tanpa sadar, ketika tumbuh dewasa pun saya percaya pada satu titik dalam hidup saya nanti, saya harus menikah.
Hal itu terekam di dalam kepala tanpa saya benar-benar bisa mengartikulasikan pertanyaan-pertanyaan seperti, “Apa institusi pernikahan itu?” dan “Seberapa banyak hal yang harus dipikirkan sebelum seseorang menyatakan bahwa ia siap untuk menikah?”
Dalam sekuel film terlaris keduanya, Cek Toko Sebelah 2, Ernest Prakasa kini mengajak pasangannya, Meira Anastasia untuk membahas institusi pernikahan sebagai co-writer dan co-director. Seperti Imperfect (2019), Cek Toko Sebelah 2 pun kini hadir dengan energi yang tidak terlalu maskulin. Alih-alih bercerita tentang konflik antara Koh Afuk (Chew Kin Wah) dan kedua anaknya, Erwin (Ernest Prakasa) dan Yohan (Dion Wiyoko), lensa kamera digeser menjadi lebih luas.
Baca juga: Review ‘Triangle of Sadness’: Mengolok-olok Orang Kaya Lewat Humor Östlund
Cek Toko Sebelah 2 kini bercerita tentang Erwin yang ingin melamar Natalie (Laura Basuki), tapi mendapat rintangan dari calon mertuanya, Agnes (Maya Hasan). Di sisi lain, Koh Afuk kini menginginnkan cucu dari Yohan dan Ayu (Adinia Wirasti) yang belum siap punya anak. Konflik pun kini berokus pada mempersiapkan dan menjalankan pernikahan.
Mempersiapkan Pernikahan: Lebih dari Menyatukan Dua Insan
Media seringkali memperlihatkan pernikahan sebagai selebrasi dua orang yang jatuh cinta. Padahal, tujuan adanya pernikahan tidak sesederhana itu. Institusi pernikahan ada untuk memberikan perlindungan pada mereka yang terlibat: suami, istri, dan anak-anaknya. Jia terjadi perceraian, institusi ini lah yang akan melindungi hak-hak mereka.
Namun, hal yang secara kultur juga sering kita lupakan adalah: institusi pernikahan tidak hanya menggabungkan dua insan, tapi juga dua keluarga.
Baca juga: Alasan Plot Whodunit ‘White Lotus 2’ Beda dan Gay Twitter Terobsesi Series Ini
Dalam Cek Toko Sebelah 2, Ernest dan Meira menggambarkan relasi kuasa yang digambarkan melakui kelas sosial ekonomi. Tidak seperti masyarakat bersuku Batak, persamaan etnis tidak serta-merta menyatukan Erwin dan Natalie. Calon mertua dengan etnis Tionghoa tidak langsung setuju menikahkan anaknya dengan calon menantu yang juga memiliki etnis sama. Latar belakang keluarga, khususnya keadaan ekonomi dan sosial, menjadi halangan Erwin ketika ia hendak melamar Natalie.
Biarpun ia tahu bahwa Erwin lulusan S2 luar negeri dan memiliki karier yang terbilang sukses, Agnes mempertanyakan penghasilan Koh Afuk setelah ia menutup toko sampai Erwin mesti berbohong bahwa ayahnya hendak berbisnis tambak udang. Erwin juga mesti menutupi sejarah Yohan yang memiliki riwayat narkoba dulu. Ketika Agnes mengetahui kebohongan Erwin di akhir abak kedua pun ia justru memaksa Erwin menandatangani surat perjanjian pra-nikah yang masih kosong dan bisa ia tulis sesuka hati.
Kesiagaan Agnes meang tidak tanpa sebab. Dalam film, ia memiliki trauma karena menikahi suami yang secara sosial ekonomi lebih rendah darinya dan ternyata berselingkuh. Namun, tanpa cerita latarnya pun, kesiagaan Agnes tetap dapat dimengerti karena sejatinya pernikahan, paling tidak dalam konteks Indonesia, juga adalah persatuan keluarga. Apa yang keluarga anggota keluarga Erwin hadapi dapat mempengaruhi keluarga Natalie, khususnya dalam segi ekonomi.
Karakter Agnes memang digambarkan memiliki relasi kuasa yang paling kuat. Anak semata wayangnya pun ternyata tidak bisa meluluhkan hatinya. Pada akhirnya, yang bisa menyelesaikan konflik ini adalah Koh Afuk yang ternyata memiliki shared experience ketika dulu ia tidak merestui Ayu sebagai menantunya karena masih trauma dengan orang pribumi yang menjarah tokonya di kerusuhan ‘98.
Namun bagi saya, agak disayangkan melihat hubungan ibu-anak kurang dieksplor. Natalie yang sebenarnya seorang wanita dewasa seakan tidak memiliki agency yang kuat ketika menghadapi ibunya. Ketika ia dan Erwin foto pra-nikah dengan Yohan dan ibunya memaksanya untuk foto dengan fotografer yang lebih ternama, Natalie terdiam. Ketika Natalie ingin mencoba gaun pernikahan yang lain dan ibunya tidak mengizinkan, Natalie pun terdiam. Sekalinya Natalie mengkonfrontasi ibunya dan meyakinkan ibunya bahwa Erwin tidak sama dengan ayahnya, Natalie menangis.
Laura Basuki memang memberikan sisi humanis yang lebih dimensional dibanding Gisella Anastasia di film pertamanya. Namun, sisi humanis itu masih terjebak dalam dinamika hubungannya dengan Erwin, bukan dengan ibunya. Saya rasa, ketika Ernest dan Meira ingin menambah karakter lagi di dalam film-film mereka, memreka juga harus benar-benar memikirkan dinamika karakternya. Untuk sebuah film dengan payung “bahwa orang tua tidak mengetahuin yang terbaik buat anaknya”, dinamika hubunggan anak-ibunya justru kurang dieksplor.
Pun begitu, bagi saya, konflik antara Erwin dan Agnes ini seakan menjadi pengingat dan bahan refleksi dalam mempersiapkan pernikahan. Jelas, pernikahan bukan lagi tujuan akhir. Dalam banyak hal, pernikahan justru menjadi awal babak baru.
Menjalankan Pernikahan: Memiiki Anak Bukan Kewajiban
Biarpun film ini ditutup dengan adegan pernikahan, otak saya tidak langsung tercuci ingin langsung menikah karena diskursus tentang memiliki anak dalam sebuah pernikahan dibahas dengan tajam melalui konflik antara Koh Afuk-Yohan dan Ayu. Ayu belum siap memiliki anak. Namun, Koh Afuk dan Yohan bersikeras beranggapan bahwa Ayu mampu menjadi seorang ibu, sampai-sampai harus menitipkan Amanda (Widuri Puteri) sebagai “pancingan”.
Hal yang secara subtil dibahas adalah: mau dan mampu adalah dua hal berbeda. Pun mereka adalah hal yang sama, kemampuan seorang menjadi ibu harus diukur oleh calon ibu itu sendiri. Bukan oleh suami, maupun mertua.
Karakter Ayu digambarkan memiliki masa lalu yang gelap yang membuat ia tidak merasa mampu dan tidak mau memiliki seorang anak. Namun, tanpa cerita latar belakang segelap itu, seharusnya seorang wanita juga berhal memiliki diskusi yang sama besarnya dalam menentukan apakah ia dan/atau kapan ia bersedia menjadi seorang ibu.
Pada akhirnya, perempuanlah yang akan mengandung dan melahirkan bayinya. Bukan suami, maupun mertuanya. Pun sederhana, Ernest dan Meira berhasil menggambarkan adegan melahirkan yang mengubah keputusan Yohan untuk mendukung Ayu sepenuhnya jika ia belum siap memiliki anak.
Solusi konfllik Ayu sebenarnya cukup sederhana. Ia hanya harus berani bilang tidak pada mertuanya dan memberikan pengertian. Namun, ada rasa insecure yang ia rasakan karena Yohan awalnya belum mendukung keputusannya. Selain itu, cerita latar belakang bahwa Koh Afuk awalnya tidak merestui pernikahannya juga menjadi faktor.
Pun sama-sama membahas isu pernikahan dan bagaimana orang tua memengaruhi konflik anak-anaknya, konflik Ayu tidak memiliki korelasi langsung dengan konflik utama. Bagaimana Ayu memproses tuntutan Koh Afuk tidak memengaruhi jalan cerita Erwin. Awalnya saya merasa plot ini agak dipaksakan. Saya juga merasa subplot Ayu tidak harus ada, jika memang konflik utamanya berpusat pada Yohan.
Berbeda dengan film sebelumnya, intensi Koh Afuk memengaruhi kedua anaknya secara langsung dan juga pasangan mereka masing-masing. Ketika Erwin berniat menikahi Natalie di awal film, tidak ada dampak langsung yang dirasakan oleh Ayu. Konflik Ayu justru muncul melalui tekanan Koh Afuk.
Namun, setelah membaca ulang Story oleh Robert McKee, saya jadi lebih mengerti. Subplot yang baik harus dapat mendukung atau melawan tema besar plot utamanya. Bagi saya, tema besar kedua konflik di Cek Toko Sebelah 2 adalah self-worth. Jika Erwin ingin membuktikan self-worth atas dirinya untuk menikahi Natalie kepada Agnes, Ayu juga ingin membuktikan self-worth atas dirinya kepada calon mertuanya.
Baca juga: Wednesday Addams, Alter Ego yang Mungkin Kita Dambakan
Sebuah Jagat Bernama Cek Toko Sebelah
Cek Toko Sebelah 2 membuktikan kedewasaan Ernest sebagai pembuat film. Dengan melibatkan Meira sebagai penulis dan co-director, Ernest berhasil menuturkan cerita yang lebih inklusif, kritis, dan tetap menggelitik. Biarpun masih terlalu awal, saya rasa tidak berlebihan untuk menjagokan Cek Toko Sebelah 2 di Piala Citra 2023, khususnya, untuk kategori naskah adaptasi, pemeran pendukung perempuan (Adinia Wirasti), atau bahkan Film terbaik.
Sampai detik ini, jagat Cek Toko Sebelah sudah berkembang menjadi dua film, satu teater musikal, dan empat serial. Dalam season terbarunya, Koh Afuk bahkan sudah menikah dengan karakter yang muncul di dalam series yang diperankan oleh Jenny Zhang. Ada ekpektasi yang lebih tinggi ketika jagat cerita ini bertambah luas.
Bagi saya pribadi, jika memang akan ada Cek Toko Sebelah 3, saya berharap Ernest dan Meira bisa menceritakan pernikahan di antara tiga keluarga ini, seperti Modern Family. Bagaimana nama Cek Toko Sebelah bukan hanya menjadi identitas IP, tapi menjadi metafora bagaimana satu keluarga punya kecenderungan melirik keluarga sebelah dalam menjalani hidupnya sehari-hari. Saya lebih berharap lagi jika film ini nanti dibuat paling tidak setelah berselang 10 tahun dari film pertamanya supaya kita bisa melihat bagaimana karakternya tumbuh bersama keluarga intinya masing-masing dalam selang waktu tersebut.
Penulis telah menulis resensi dan komentar film sejak tahun 2017. Ia menulis di The Jakarta Post, The Next Best Picture, Magdalene dan channel Tiktoknya @keltikfilm