Screen Raves

Alasan Plot Whodunit ‘White Lotus 2’ Beda dan Gay Twitter Terobsesi Series Ini

Mike White pintar menjaga penggemarnya. Bikin kita bukan cuma berteori tentang siapa yang mati, tapi juga tekun mengikuti plot whodunit yang dirakitnya.

Avatar
  • December 18, 2022
  • 6 min read
  • 1907 Views
Alasan Plot Whodunit ‘White Lotus 2’ Beda dan Gay Twitter Terobsesi Series Ini

The White Lotus adalah contoh limited series yang cerdas, bukan cuma dari segi naskah dan storytelling, tapi juga format. Mike White, sang kreator mengonsepnya dengan tempelate sederhana, tapi bisa dieksplorasi berulang kali tanpa diikuti kemungkinan ditinggal penonton karena bosan. 

Dalam musim keduanya, yang baru saja berakhir, kita bisa melihat White memakai setidaknya empat rumus ini: 1). Menulis untuk karakter dan aktor baru 2). Latar eksotik yang berpindah 3). Kematian sebagai premis awal, dan 4). Plot whodunit yang jadi penggerak utama cerita.

 

 

Series begini biasanya baru akan berhasil dengan tiga poin penunjang: bujet besar, kebaruan dan keragaman tema di tiap musim, serta naskah dan aktor yang engaging—memikat. Kecuali, bujet besar (konon limited series ini cuma didanai “rata-rata” oleh HBO, bahkan dapat diskon 40 persen dari pemerintah Italia, tempat musim dua difilmkan), White Lotus tampaknya punya semua.

Setelah musim pertama mengambil tempat di Hawaii, musim kedua pindah ke Sisili, Italia. Namun, yang diolok-olok masih sama: kaum kaya, terutama kulit putih dan segala kekonyolan mereka.

Tema ‘Eat the Rich’: Uang, Kelas Sosial, dan Seks

Uang, jadi tema utama yang mengikat musim satu dan dua The White Lotus. Tentu saja selain jenis-jenis karakter yang diperkenalkan seriesnya, seperti kepala/manajer hotel dan stafnya, serta tamu-tamu kaya dengan trope mirip-mirip: pasangan suami-istri, orang kaya, kulit putih, serta dua perempuan muda yang bersahabat. Semua elemen ini ada di kedua musim, termasuk karakter Tanya yang diperankan gay icon, Jennifer Coolidge.

Namun, jika musim pertama White lebih fokus pada sindiran sosial atas kolonialisme serta kritik atas keluarga nuklir khas heteronormatif, maka naskah musim kedua lebih kental dengan sindiran sosial tentang relasi kuasa gender, maskulinitas, dan seks.

Jika musim pertama punya Olivia (Sydney Sweeney) dan Paula (Britanny O’Graddy) sebagai trope besties, di musim kedua kita diperkenalkan dengan Mia (Beatrice Grannò) dan Lucia (Simona Tabasco), penduduk lokal sana. 

Dalam musim pertama, kita dibawa Olivia dan Paula melihat kolonialsme dan turisme di Amerika lewat perspektif generasi mereka yang terkenal woke dan peka pada isu sosial. Olivia tak sungkan mengkritik orang tuanya sendiri–simbol orang kaya Amerika Serikat yang diuntungkan penjajahan dan kapitalisme negara mereka yang masih rasis dan segregatif pada orang di luar kulit putih.

Bahkan Olivia tak sungkan melawan orang tuanya demi Paula, kawan kulit hitam yang mereka ajak berlibur bersama. Paula sendiri mulai mempertanyakan ketulusan sahabatnya membela isu-isu sosial, ketika dia menyaksikan sendiri bagaimana neo-kolonialisme bekerja. Momen itu terjadi ketika ia melihat para penari Hawaii, menarikan tarian dari budaya mereka, di depan turis-turis yang kebanyakan adalah orang kulit putih.

Dua karakter ini membantu kita melihat benang merah tema eat the rich yang dijahir Mike White dalam naskahnya. Lewat mereka berdua pula, White ingin mengkritik generasi woke—yang memang lebih peka dan punya empati besar ketimbang generasi sebelumnya, tapi sering kali gagap menjembatani kritik-kritik itu pada generasi lebih tua agar mendapat solusi bersama.

Dalam musim kedua, trope besties ini diisi oleh Mia dan Lucia, dua pekerja seks yang juga jadi jembatan kita–penonton–untuk melihat kritik White pada white saviour complex dan maskulinitas beracun.

Meski sama-sama pekerja seks, dua sahabat ini digambarkan cukup berbeda. Mia lebih ambisius, dominan, mengarahkan, dan berorientasi uang. Sementara Lucia lebih mencari kestabilan, dan tak ambisius pada uang. Interaksi mereka pada klien, petugas hotel, hingga pada karakter-karakter perempuan lain berhasil menggambarkan potret positif yang jarang tampil di layar.

Baca juga: Review ‘Triangle of Sadness’: Mengolok-olok Orang Kaya Lewat Humor Östlund

Di dunia nyata, pekerja seks adalah salah satu pekerjaan paling berisiko. Keamanannya tidak dijamin, keberadaannya sering kali lorong-lorong gelap, dan dijadikan rahasia. Lucia bahkan punya dialog di series ini yang bilang, “All whores are punished in the end.” Komentar itu keluar berdasarkan pengalamannya menonton karakter-karakter pekerja seks di telenovela dan film-film.

Namun, naskah White justru membalikan stereotipe itu. [Spoiler alert!] Lucia dan Mia malah jadi satu-satunya karakter pekerja seks (sebab ada dua karakter pekerja seks laki-laki lain yang diungkap di beberapa epsisode terakhir) yang selamat dan menang di ujung series ini. Lucia dapat 50 ribu Euro, sementara Mia berhasil mewujudkan mimpinya jadi penyanyi dan pianis di White Lotus Resort.

Lewat karakter Lucia dan Mia, serta semua persimpangan hook up mereka dengan karakter lainnya, kita bisa melihat seks yang diperlakukan amat transaksional. Tak peduli jika itu terjadi pada dua karakter yang berstatus suami istri. Membuka pertanyaan kuno yang sepertinya masih relevan: jika seks sebegitu transaksionalnya, apa berarti kita semua pekerja seks? (Pertanyaan ini sempat bikin ribut Twitter beberapa waktu lalu)

Dalam semesta naskah White, lagi-lagi yang menderita adalah kaum kaya.

Whodunit yang Selalu Berhasil Bikin Internet Ribut

Meski dibangun dari plot whodunit, naskah The White Lotus jadi beda karena dirakit dengan percakapan relevan konteks hari ini, peforma kumpulan aktor yang kharismatik, dan karakter-karakter yang berhasil memikat kita. Namun, semuanya tak akan berhasil bikin ribut internet, jika mata Mike White selaku kreator, penulis, dan sutradara tak jeli melihat dan mengelola pasar—keriuhan penonton.

Di awal musim kedua, episode pertama The White Lotus jadi trending di Twitter dan headline di sejumalah media online serta night talkshow di Amerika, karena penis prostetik yang dipakai aktor Theo James. Series ini juga jago memilih aktor yang memerankan karakter-karakternya. Kehadiran Aubrey Plaza dan kembalinya Jennifer Cooligde sempat jadi percakapan saban hari di Twitter, terutama di kalangan queer. Sebab keduanya merupakan dua dari sedikit aktor-aktor yang digemari para gay dan queer, alias gay icons.

Baca juga: ‘Ngeri-ngeri Sedap’ dan Film Batak yang Berusaha Lepas dari Jakartasentris

Fakta ini bahkan dipakai White jadi meta dalam naskahnya. Meme karakter Tanya dengan dialog, “These gays, they’re trying to murder me!” banjir di media sosial karena White berhasil menciptakan momen. Ditambah ia menyiapkan plot twist yang juga melibatkan Jennifer Coolidge, sehingga series ini tak habis-habisnya terus dibicarakan.

Dialog itu jadi tribut White—yang adalah gay—kepada para gay twitter, penggemar The White Lotus.

Kini, dengan format latar eksotis yang berpindah-pindah, para penggemar series ini tengah menanti ke mana White akan membawa musim ketiga? Dan akankah kita bisa melihat Jennifer Coolidge lagi?

Biarkan jawabannya jadi PR besar White sendiri. Siapa suruh membunuh karakter favorit banyak orang di episode terakhir?



#waveforequality


Avatar
About Author

Aulia Adam

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramaditha.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *