Lagi-lagi BBM Berpotensi Naik, Rakyat yang Tercekik
Cerita warga masyarakat yang terkena imbas dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Kenaikan harga BBM berdampak pada sebagian besar rakyat kecil di Indonesia. Pasalnya, belajar dari sejarah, kenaikan harga BBM biasanya berdampak pada meroketnya harga bahan kebutuhan pokok lainnya.
Ini terjadi pada era Orde Baru, ketika harga BBM terkerek naik menjadi Rp1.200 per liter dari yang mulanya pada 1991 hanya Rp150. Kini ketika Pertalite dipatok Rp10.000 per liter, bagai mengulang masa lalu, harga barang kebutuhan pokok pun jadi ikut naik. Magdalene mewawancarai warga yang terdampak, terutama dari sektor informal, seperti ojek online atau warung kecil untuk tahu pengalaman mereka.
Baca juga: Biaya Hidup Serba Mahal yang Pusingkan Perempuan
“Enggak Naik Saja, Kami Sudah Hidup Susah”
Sebagai ojek daring, Maria menganggap BBM adalah modal hidupnya yang paling penting. Tak heran, ketika tahu harga BBM naik, ia terkejut dan berharap keputusan itu bisa dianulir. Hal senada juga terdengar dari Neneng, penjual es campur. Keduanya bingung menutupi pengeluaran rumah tangga, bekerja, dan biaya hidup lainnya.
“Kalau bisa BBM enggak perlu dinaikin lah. Enggak dinaikin saja orang sudah susah, apalagi dinaikin,” tutur Neneng kepada Magdalene, (22/9).
“Lebih mikirin rakyat, kasihan rakyat kecil seperti ojek online, bensinnya itu. Tolong, dong pemerintah kalau bisa diturunin lagi, atau enggak diberi subsidi untuk ojek online,” ujar Maria, (16/9).
Keluhan dua perempuan itu cukup beralasan. Ini mengingat kemiskinan perempuan biasanya berdampak pula pada ekses lainnya, termasuk kekerasan. Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2021 menemukan, kesulitan ekonomi menjadi sebab utama terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Bhima Yudhistira, direktur lembaga riset ekonomi Celios menuturkan, kenaikan harga BBM didorong oleh ketergantungan kita yang besar terhadap minyak Bumi. Di sisi lain, pemerintah tidak serius menyelamatkan daya beli masyarakat dan menekan inflasi agar tidak membengkak. Terlebih saat ini masyarakat baru dalam masa pemulihan pascapandemi yang berlangsung dua tahun lebih.
Baca juga: Pakar Terbelah, Tepatkah Menaikkan Harga Pertamax Sekarang?
Adakah Solusinya?
Bagi Bhima, kenaikan harga BBM dan pengurangan biaya subsidi bukan kebijakan yang tepat. Dalam konferensi pers belum lama ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, anggaran negara sedang surplus Rp106,1 triliun. Penyebabnya karena adanya kenaikan harga minyak mentah dunia, minyak sawit, dan batu bara. Naiknya harga komoditi ini memberikan keuntungan besar buat Indonesia. Sehingga, tutur Bhima, seharusnya ada subsidi negara kepada rakyat kecil, alih-alih sibuk membangun mega proyek tertentu.
“Berarti pendapatan negara sedang naik, tapi kok pelit sekali memberi subsidi BBM,” kata Bhima kepada Magdalene, (15/9).
Bhima melanjutkan jika memang pemerintah ingin menaikkan harga BBM, ada beberapa hal yang seharusnya pemerintah lakukan. Bhima menjelaskan jika pemerintah perlu mempersiapkan opsi alternatif.
Di antaranya, subsidi transportasi publik yang signifikan dan peralihan ke energi yang lebih hijau. Kenyataannya tidak ada pilihan alternatif yang disediakan. Sehingga, masyarakat dipaksa mengantre BBM dengan harga lebih mahal dan mengurangi pengeluaran lainnya.
Baca juga: Angka-angka Penting: Mengapa Indonesia Tak Mampu Lagi Menanggung Subsidi BBM
Bhima juga menambahkan, pemerintah perlu membuat kebijakan dan melakukan bantuan agar masyarakat tidak menderita dampak inflasi. Ini termasuk merevisi upah minimum.
Berikutnya, negara perlu memberikan subsidi untuk ojek online, juga rakyat rentan miskin.