Biaya Hidup Serba Mahal yang Pusingkan Perempuan
Dari ongkos pembalut tiap bulan hingga aneka makeup, semakin dewasa saya menyadari menjadi perempuan butuh biaya ekstra.
Pernah mendengar soal pink tax? Itu adalah fenomena sosial yang memperlihatkan bagaimana produk dan layanan khusus perempuan dihargai lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Harga yang dipatok bahkan kadang tidak masuk akal mahalnya.
Coba saja bandingkan harga pisau cukur perempuan berwarna pink dan pisau cukur berwarna kuning. Pisau cukur perempuan berwarna pink bisa dijual dengan harga sampai Rp100.000 sedangkan pisau cukur serupa warna kuning cuma dihargai tidak lebih dari Rp5.000. Padahal keduanya punya fungsi yang sama, mencukur bulu di badan atau wajah kita tapi dihargai berbeda hanya karena yang satunya dijual khusus untuk perempuan.
Tidak hanya produk, penelitian yang dilakukan oleh CBS News bahkan menemukan, perempuan perlu membayar dua kali lipat harga dry cleaning dibandingkan laki-laki. Padahal kalau dipikir-pikir, apa, sih yang membuat harganya lebih mahal? Masa iya, parfum pakaian yang dipakai itu parfum Dior. Kan tidak mungkin.
Sudah dipusingkan dengan pink tax, ternyata perempuan harus dibuat pusing lagi dengan biaya hidup mereka. Sebagai perempuan, semakin dewasa saya semakin menyadari bagaimana hidup menjadi perempuan itu mahal sampai pada titik saya berpikir kayanya perempuan harus jadi orang kaya deh. Ya biar enggak harus pusing tujuh keliling membeli printilan-printilan khusus perempuan.
Baca Juga: In Defense of People Who Wear Makeup
Hal ini pertama kali saya sadari ketika saya membeli bra. Dulu semasa saya sekolah hingga kuliah, saya tidak perlu memusingkan biaya membeli bra dan celana dalam karena mama pasti akan membelikannya. Saya mulai memusingkan biaya tambahan membeli bra dan celana dalam ketika saya pertama kali kerja.
Saya tidak tahu harga bra itu mahal sekali. Bayangkan saja, satu buah bra yang bagus dan awet dipakai bertahun-tahun harganya kisaran Rp80.000 hingga Rp100.000. Ketika awal-awal kerja dan tahu harga bra semahal ini, akhirnya saya memutuskan membeli bra di e-commerce dengan harga sekitar Rp25.000 sampai Rp30.000. Harganya memang murah, tapi baru dipakai beberapa bulan sudah kendor atau bahannya tidak enak.
Mau enggak pakai bra juga tidak mungkin. Walhasil, mau tidak mau saya harus membeli bra dengan harga yang Subhanallah dan tidak cuma satu buah. Bayangkan bagaimana dompet saya menjerit-jerit setiap harus beli bra baru.
Selain bra, sebagai perempuan, saya juga harus mengalokasikan biaya khusus untuk membeli pembalut. Karena kalau haid suka “bocor”, jadilah saya harus membeli pembalut yang panjangnya 32cm dengan sayap yang tentu lebih mahal.
Biaya membeli pembalut semakin membengkak karena saya harus mengganti pembalut setiap 4-6 jam sekali. Jadi kalau dihitung, dalam lima hari haid saya bisa menghabiskan 12 pembalut lebih dan kalikan sajalah itu dengan harga pembalut sekitar Rp22.000 yang isinya 12 buah.
Bra dan pembalut adalah dua hal, saya pun juga harus merogoh kocek yang tidak main-main membeli makeup. Saya dulu sempat menjadi mbak-mbak kantoran yang harus berpenampilan “decent” di kantor apalagi kalau harus bertemu dengan klien.
Dari seseorang yang tidak begitu memperhatikan penampilan (saya bahkan baru pertama kali mencoba memakai lipstik ketika saya sudah kuliah semester 6), saya tiba-tiba harus bertransformasi menjadi mbak-mbak kantoran dengan makeup lengkap dengan sepatu hak tinggi.
Baca Juga: Apa yang Lucu dengan Tubuh Perempuan?
Saya mulai berguru dengan senior saya, mulai dari cara memilih foundation yang pas dengan kulit sampai bagaimana caranya memakai eye makeup yang bagus. Dari sini juga saya akhirnya mulai menyisihkan gaji untuk membeli make up.
Awalnya sangat berat merelakan uang yang tidak sedikit membeli makeup. Ya bayangkan saja, harga foundation yang cocok di kulit saya yang kombinasi dan cenderung berminyak saja sudah seharga Rp150.000 sendiri, belum bedak, blush on hingga eye makeup. Menangis sajalah saya di pojokan.
Sayangnya saya mau tidak mau harus membelinya. Apalagi dulu manajer saya termasuk yang cerewet soal penampilan. Pernah suatu hari saya tidak memakai makeup ke kantor, saya langsung dikomentari olehnya dan dikira sedang sakit.
Ketika jadi mbak-mbak kantoran, saya pun terpapar dengan kewajiban memakai skincare demi “enak dilihat”. Setidaknya, wajah enggak jerawatan banyak dan kusam. Saya pun akhirnya berubah dari yang dulunya pakai skincare cuma sebatas sunscreen saja, menjadi mbak-mbak kantoran yang pake skincare berjilid-jilid mirip artis Korea.
Baca Juga: Seperti Raskin dan Rumah, Pembalut Pun Seharusnya Bersubsidi
Kadang saya sedih melihat bagaimana perempuan menjadi satu-satunya pihak yang paling dituntut untuk merawat diri hanya untuk kepentingan pekerjaan. Jerawatan dikomentari, wajah kusam dikomentari, enggak makeupan dikomentari. Aduh, serba ribet jadi perempuan.