Anak perempuan saya yang masih balita bertanya, “Ummi, apa Ummi sudah mencapai cita-cita?”
Tentu, saya jadi geli sekaligus sedih. Dari yang saya tangkap, anak ini menganggap setiap orang dewasa, pada akhirnya akan mencapai cita-cita yang diinginkannya di waktu kecil. Faktanya, banyak hal yang belum saya capai, meski usia kini tak lagi muda. Lalu, saya berpikir, apakah sudah terlambat untuk mengejar kembali cita-cita dulu? Adakah kendala untuk menyeimbangkan keinginan “berkarya” dengan kehidupan sebagai ibu rumah tangga?
Di kehidupan yang dilingkung oleh batasan-batasan yang serba patriarkis, perempuan yang punya karya adalah “kemewahan”. Tentu hal ini tak cuma dirasakan oleh perempuan domestik yang memutuskan jadi stay at home mom seperti saya saja, tetapi juga banyak perempuan bekerja (yang waktunya dihabiskan sebagai perempuan dengan peran ganda).
Saya sendiri adalah ibu dari dua anak, yang keduanya sedang tumbuh menjadi perempuan dewasa. Mendidik serta memberinya panduan menghadapi asumsi masyarakat terhadap “perempuan yang ingin maju”, terasa melelahkan.
Ada kalanya saya ingin menyerah, apalagi di satu sisi –dengan banyak pertimbangan, saya memutuskan untuk jadi perempuan yang diam di rumah. Sementara, saya ingin anak-anak tetap beraktivitas di tengah masyarakat, mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Saya berusaha mengajarkan, agar tak mudah loyo meski terkadang dalam lingkungan kecilnya, perempuan dianggap tak harus se-persisten laki-laki dalam mengejar pencapaian hidup.
Akhirnya, saya memutuskan untuk memulai karier menulis, yang bisa di-remote dari rumah. Awalnya, saya mengikuti berbagai ajang kompetisi menulis. Pucuk dicinta ulam pun tiba, beberapa tulisan saya lolos kurasi dan penjurian, hingga ditetapkan sebagai pemenang. Saya tahu ini tak sebatas peruntungan, melainkan buah dari latihan yang tekun, support dari orang-orang sekitar, serta kemauan belajar yang tinggi.
Baca juga: Berbagi Peran Domestik: Lebih Banyak Dibahas Daripada Dilakukan
Hambatan Ibu Rumah Tangga Mengejar Cita-cita
Seperti yang saya singgung sebelumnya, jalan karier perempuan tak semulus lelaki. Selain garis start yang tertinggal, perempuan juga kerap dihadapkan pada hambatan-hambatan lainnya.
Apalagi kalau kondisinya seperti saya, ketika mengawali karier kepenulisan saat harus berjibaku mengurus kerja domestik. Kendala yang dihadapi tak cuma datang dari lingkungan kepenulisan dan keluarga, tapi justru oleh saya dan kelompok perempuan sendiri. Mungkin inilah yang dinamakan internalized misogyny.
Misogini yang terinternalisasi ini mewujud dalam beragam pertanyaan penuh keraguan, seperti apakah saya cukup layak berkarya, bagaimana nanti dengan anak saya, dan seterusnya. Pertanyaan itu muncul karena sistem patriarkal kita yang sengaja menahan perempuan untuk bangkit dan punya agensi. Caranya dengan mengalihkan perhatian perempuan sehingga kita melawan kaum sendiri. Kaum misoginis yang berasal dari sesama perempuan ini, semakin membuat perempuan dalam lingkungan sosialnya menjadi makhluk yang selalu tertindas. Mengerikan memang, kalau yang menjatuhkan perempuan adalah kaumnya sendiri.
Padahal, nggapan bahwa perempuan kreatif tak mengedepankan masa depan anaknya, tentu saja salah. Ketika ia maju dan sanggup menunjukkan karyanya di mata masyarakat, tentu ia akan menjadi role-model yang baik untuk anak-anaknya kelak. Begitu juga sebaliknya, ketika perempuan yang memiliki beribu aktivitas di luar sana, menganggap perempuan yang memilih untuk diam di rumah tak lebih layak untuk maju dan teredukasi.
Saya menulis artikel ini, dalam kapasitas saya sebagai perempuan penulis yang berusaha men-support sesama perempuan penulis. Karena begitu mewahnya kesempatan ini, jangan sampai terjadi rivalitas yang membutakan.
Baca juga: 5 Cara Dobrak Stereotip Peran Gender dalam Keluarga
Perempuan Perlu Saling Dukung
Di satu sisi, saya juga pernah diprotes oleh seseorang yang menganggap kodrat perempuan itu di rumah, tak beraktivitas di ruang publik, dan menjadi majelis ilmu bagi anak-anaknya. Saya tak pernah menyalahkan pilihan hidup seseorang –selama dilakukan dengan consent. Biarkan hal itu menjadi ranah pribadi masing-masing, tanpa saling mengintervensi pilihannya dan tak menjatuhkan.
Begitu pun sebaliknya, ketika perempuan memiliki keleluasaan (secara finansial dan intelegensia) mampu bersekolah lebih tinggi, ia tak perlu menyalahkan mereka yang memilih untuk diam di rumah dan hanya mengurus keluarganya. Toh, masing-masing punya pilihan yang ditentukan secara sadar.
Karena itulah dalam hal ini, saya ingin kembali mengajak perempuan untuk saling dukung. Women support women tak hanya slogan semata. Biarkan mantra ini dirapalkan oleh setiap perempuan dengan sadar, untuk membantu sesamanya, memugar konstruksi sosial dan budaya yang tidak adil bagi kita.
“Yah, kamu ngomong begini, karena ada kesempatannya,” kilah perempuan yang mungkin tak sepakat.
Saya dengan sangat sadar, paham bahwa setiap pilihan ada konsekuensinya. Waktu, kerja keras, persistensi, bagi perempuan adalah hal yang harus diusahakan dua kali lipat lebih keras dibanding laki-laki, di dunia yang didominasi oleh ego maskulinitas ini. Namun, tak berarti hal itu tak mungkin untuk diperjuangkan.
Untuk mengatasi internalized misogyny di dunia kepenulisan yang saya geluti kini, perlu ada kesadaran tentang pentingnya solidaritas, dukungan, dan rasa saling menghargai antarpenulis perempuan. Kita harus belajar untuk saling menerima keunikan dan perbedaan. Kita juga memiliki hak dan kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Apa pun yang kita lakukan sebagai bagian dari aktualisasi diri yang tidak akan mengurangi esensi keperempuanan.
Percayalah, kreatifitas dan kerja keras bagi perempuan domestik yang memilih jalan untuk menulis di sela-sela aktifitas rumah tangganya adalah barang mewah yang perlu diperjuangkan. Agar kita bisa sama-sama saling mendukung antarperempuan, bukan malah saling menjatuhkan.
Merayakan semangat perempuan bertumbuh seperti ini, saya jadi ingat apa yang dikatakan oleh Maya Angelou. “Each time a woman stands up for herself, without knowing it possibly, without claiming it, she stands up for all women.”
Foggy F F adalah novelis dan cerpenis. Penulis buku anak. Ibu dari dua orang putri dan dua ekor kucing.