Lifestyle Madge PCR

Asal Pacar Senang, Menyoal ‘Compersion’ dalam Non-Monogami Etis

Ada istilah ‘compersion’ dalam relasi non-monogamis etis. Sebagian orang menilai sebagai kebalikan cemburu. Padahal, maknanya lebih dari itu.

Avatar
  • July 18, 2023
  • 5 min read
  • 1623 Views
Asal Pacar Senang, Menyoal ‘Compersion’ dalam Non-Monogami Etis

Jason Boyd, copywriter sekaligus pendiri fictionphile.com tak menampik jika ia kerap cemburu pada pasangannya yang seorang gender queer. Kepada Insider ia bilang, “Kecemburuan akan terjadi. Itu wajar. Kamu bisa coba melawan atau mengabaikannya, tetapi itu tidak akan berhasil. Satu-satunya cara adalah dengan memvalidasi perasaan cemburu itu.”

Menurutnya, mengakui perasaan cemburu secara alami dapat membangun perasaan bahagia karena ikut melihat pasangan bahagia.

 

 

Masih dari sumber yang sama, Audria O’Neill juga lebih memilih mengakui perasaan cemburu dalam relasi poliamorinya. Kepada suami yang menjadi pasangan utamanya, ia selalu terbuka membicarakan apapun, termasuk perasaan, pasangan baru, hubungan seks, dan lainnya.

“Ketakutan dan kecemburuan saya berkurang karena saya yakin dia akan memberi tahu saya. Jadi, saya tidak perlu khawatir sepanjang malam,” kata O’Neill.

Apakah kamu sepakat dengan pendapat Boyd dan O’Neill?

Kita tahu, dalam sudut pandang jamak, relasi non-monogami etis (NME) yang dijalani Boyd dan O’Neill cuma akal-akalan orang yang enggak bisa setia. Ada anggapan bahwa mereka tak serius menjalin ikatan dengan pasangan, sehingga secara terbuka bisa menerima kehadiran pihak ketiga di luar pasangan inti, berselingkuh, atau berganti-ganti pasangan untuk mencapai kepuasan seksual.

Stereotip itu kemudian membawa pemahaman, orang-orang yang menjalin relasi NME enggak bisa cemburu. Dengan mudah, mereka membiarkan diri dan pasangannya punya pasangan lain. Seolah partner lain yang bisa memenuhi kebahagiaan dalam hubungan.

Padahal, relasi NME memerlukan compersion, sebagai faktor untuk mencapai kebahagiaan hubungan, sekaligus berjalan dengan baik. Lalu, apa, sih compersion itu?

Baca Juga: Saat Pacar Ingin Open Relationship: Ini yang Bisa Dilakukan

Mengenal Compersion

Istilah compersion pertama kali diperkenalkan oleh komunitas Kerista—kelompok poliamori asal San Francisco, Amerika Serikat (AS) yang kini telah dibubarkan. Mereka mendefinisikan compersion, sebagai perasaan senang ketika pasangannya bahagia dalam relasi yang lain. Perasaan ini muncul dari empati, dan pemahaman untuk mengutamakan kepentingan partner.

Namun, seksolog Zoya Amirin punya pandangan lain terhadap compersion. Dibandingkan merasakan kebahagiaan orang lain yang bisa dilakukan banyak orang, menurutnya lebih tepat, jika compersion didefinisikan sebagai kemampuan memberikan rasa cinta pada lebih dari satu orang. 

“Bukan semata-mata empati dengan kebahagiaan partner, tapi punya kesadaran dan kemampuan mencintai lebih dari satu orang,” terang Zoya.

Kedua hal tersebut sekaligus menjadi fondasi dalam NME. Sebab, enggak sedikit masyarakat melabeli pelaku poliamori dengan tukang selingkuh, seperti yang disinggung di atas. Padahal, perselingkuhan bisa terjadi dalam bentuk hubungan romantis apa pun—termasuk NME. Yang harus digarisbawahi, suatu relasi disebut perselingkuhan apabila terjadi di luar persetujuan, dan kesepakatan antara pasangan inti.

Lagi pula, menurut Zoya, mencari pasangan dalam relasi NME bukan untuk memenuhi kebutuhan seks. Melainkan bereksperimen dengan banyak orang, tanpa merusak hubungan inti.

Karena itu, compersion bisa direalisasikan jika ada consent dan batasan dalam relasi. Di antaranya mempertanyakan tujuan mencari pasangan lain, seberapa sering menghabiskan waktu bersama, serta sejauh apa relasi itu dapat berjalan.

Contohnya jika dalam sebulan kamu empat kali ngopi bareng pacar. Sedangkan pasangan intimu baru sekali jalan bareng partner-nya. Artinya, kamu harus mempertimbangkan pasanganmu, sebelum pertemuan selanjutnya.

Baca Juga: Cemburu: Kapan Ini Wajar, Kapan Jadi Tak Sehat?

Dengan batasan yang jelas, harapannya compersion dalam relasi enggak dibentuk berdasarkan asumsi—tentang keinginan dan hal-hal yang menjadi kebahagiaan pasangan. Sebab, compersion sekaligus memberikan kepuasan hubungan. Terlebih jika didasarkan pada kepercayaan.

Kalau kamu melihat informasi seputar compersion di internet, enggak sedikit menyebut perasaan ini sebagai antitesis cemburu. Alasannya, compersion mendorong seseorang untuk gembira, dibandingkan mengalami emosi negatif tentang kebahagiaan pasangan.

Padahal, pasangan yang memiliki compersion bukan berarti enggak bisa cemburu—salah satu stereotip dari sudut pandang mononormatif, maupun merasakan kedua emosi itu bersamaan. Kenyataannya, compersion dan cemburu merupakan dua hal berbeda. Penyebab kecemburuan dalam pasangan NME pun sama dengan monogami, terlepas dari consent dan batasan yang disepakati pasangan inti.

“Contohnya tiap ngomongin mantan atau teman kerja, pasangan kelihatan ceria banget. Tetap aja ada perasaan takut kehilangan pasangan inti. ” tutur Zoya.

“Bukan berarti NME relasinya lebih asyik, bisa enggak cemburu. Perasaan itu tetap valid, setiap orang berhak cemburu. Bahkan, kadang-kadang enggak bisa dijelaskan alasannya.”

Masalahnya, ketika cemburu, sebagian orang berusaha merasionalisasi perasaannya, sehingga menjatuhkan orang lain. Yang penting justru berusaha menyampaikan pada pasangan secara asertif. Maksudnya, mengungkapkan perasaan berdasarkan yang dirasakan, bukan dipikirkan.

“Asertif itu kan membela hak tanpa menyakiti orang lain. Coba bilang ke pasanganmu, ‘Aku cemburu lihat kamu begini. Enaknya gimana ya? Kita bisa melakukan apa?’” tambah Zoya.

Bisakah Melatih Compersion dalam Hubungan?

Perihal cemburu menjadi salah satu tantangan tercapainya compersion dalam NME. Ini lantaran seseorang cenderung sulit bahagia, ketika pasangan justru merasakan sebaliknya. Kondisi itu sekaligus menggambarkan tantangan lainnya, menggambarkan individu sedang dalam situasi enggak baik-baik saja. Sama halnya ketika salah satu pihak sedang merasa terpuruk.

Baca Juga:  Apa itu Poliamori: Saat Kamu Mencintai Lebih dari Satu

Zoya menuturkan, ada beberapa tantangan lainnya. Pertama, ketidaksetaraan dalam relasi—pembagian tugas domestik dan patriarki yang menempatkan laki-laki lebih memiliki kuasa. Bukannya empati, yang akan terjadi adalah muncul tuntutan enggak masuk akal dan upaya mengontrol pasangan. Kedua, kondisi saat sedang terpuruk—membuat seseorang enggak bisa berperan lebih dalam hubungan. Ketiga, sulit bahagia apabila pasangan enggak menghargai pasangannya.

Meskipun demikian, bukan berarti compersion dalam relasi romantis enggak bisa dilatih. Salah satunya lewat bahasa cinta, seperti digagaskan penulis Gary Chapman dalam The 5 Love Languages (1992).

“Menurut saya, di situ Chapman mengajarkan compersion. Bagaimana mencintai orang lain sebagaimana mereka ingin dicintai, bukan sebagaimana kita ingin dicintai,” ucap Zoya. 

Ia menilai mempraktikkan love language merupakan cara paling efektif untuk melatih empati dan mencapai compersion—sekaligus menyesuaikan tindakan dengan consent dan batasan, yang disepakati. Bahkan, seharusnya enggak hanya dilakukan oleh pasangan NME, tetapi juga monogami, supaya dapat berempati ketika kebahagiaan pasangan sesuai konteksnya.

“Soalnya tujuan compersion itu jadi individu yang utuh, dan excited dengan kehidupan asmaranya. Bisa bahagia,” ujar Zoya.

Zoya menambahkan, selain dapat meningkatkan kualitas hubungan, compersion juga bermanfaat bagi individual. Yakni melatih kemampuan berempati, dan lebih perhatian dengan memikirkan perasaan orang lain. Sebab, bukan perkara mudah untuk menerima kebahagiaan orang lain, meskipun empati sudah dilatih sejak kecil.

Pada akhirnya, kunci compersion terletak pada belajar bahagia sebagai individu, untuk menerima kebahagiaan pasangan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *