Corat-Coret di Dinding Afghanistan: Bisakah Mural Bicara Saat Kritik Dibungkam?
Kekuasaan Taliban adalah kiamat untuk seniman. Karya mural yang mereka ciptakan sebagai pemberdayaan inspiratif masyarakat, dihilangkan begitu saja.
Sudah lebih tiga bulan seniman mural dan aktivis Omaid Sharifi meninggalkan Afghanistan dan pindah ke Turin, Italia. Tak cuma kampung halaman yang ia lupakan, Sharifi juga meninggalkan barang dan karya seninya. Dia hanya membawa satu pakaian yang ia kenakan saat Afghanistan jatuh di tangan Taliban. Sharifi mengatakan, kembalinya Taliban adalah kiamat untuk perempuan dan seni. Pasalnya, organisasi ekstremis tersebut menilai karya seni, lukis, patung, maupun musik sebagai sesuatu yang dilarang oleh Islam.
Maka dari itu, seniman pun termasuk kelompok yang ada dalam daftar hitam milik Taliban. Tidak sedikit pula seniman yang menghancurkan karya yang mereka hasilkan bertahun-tahun karena rasa takut akan jadi korban persekusi.
“Saya terpaksa meninggalkan negara asal saya. Mural, gaaleri, dan ratusan orang terpaksa pergi dan nyawanya terancam hanya karena melukis. Mereka (Taliban) tidak percaya pada keberagaman,” ujarnya pada diskusi ‘Berebut Dinding: Kebebasan Berkesenian di Dinding Indonesia dan Afghanistan” secara daring yang dilaksanakan Koalisi Seni (10/11).
Organisasi itu memang mengaku akan bersikap jauh lebih toleran, termasuk kepada perempuan. Karenanya, seniman maupun musisi juga memiliki pilihan: Meninggalkan Afghanistan atau beralih profesi, seperti pekerja medis. Omaid berujar, sebagian dari seniman memilih untuk mengungsi ke negara lain.
Seniman perempuan Negina Azimi, misalnya, terpaksa harus meninggalkan karya-karya yang dicintainya dan mengungsi di Eropa. Ia sendiri kerap menciptakan karya yang sarat akan suara pemberdayaan perempuan Afghanistan yang menolak dianggap lemah. Akan karena hal itu juga, Azimi takut Taliban akan menangkapnya.
“Kami mendengar Taliban akan melakukan razia dari rumah ke rumah. Saya takut karena saya tinggal di pusat kota and setiap kamar dihiasi dengan karya seni yang tidak akan disukai Taliban,” ujarnya kepada The Guardian.
Baca juga: Zarifa Ghafari, Wali Kota Perempuan Termuda Afghanistan yang Diancam Taliban
Ketakutan itu juga dirasakan Aryana Sayeed, penyanyi perempuan paling sohor di Afghanistan. Dia merasa putus asa dan berhasil keluar adalah sebuah mukjizat. Meski demikian, tidak semua seniman berhasil meninggalkan Afghanistan. Ada yang tetap tinggal bahkan dieksekusi. Fawad Andarabi, musisi folk dibunuh Taliban karena musik telah diharamkan.
“Taliban tidak berubah meski telah ‘berjanji’. Kalau berubah, maka bukan Taliban karena mereka bergerak atas ideologi yang membatasi seni dan perempuan di Afghanistan,” ujarnya.
Seni Mural Sebagai Medium Kritik Sosial
Sharifi masih mengingat rezim Taliban pada 1996-2001, saat itu dia masih anak-anak. Taliban menghancurkan berbagai karya seni bahkan warisan budaya yang membuat Afghanistan jauh lebih berwarna. Karenanya, ia mengatakan, tidak ada perbedaan dengan rezimnya yang terjadi saat ini. Tetap saja melarang musik, seni, dan segala keindahannya padahal Afghanistan memiliki berbagai seniman dan musisi yang sangat berbakat.
Setelah Taliban berhasil disingkirkan dua dekade lalu, Afghanistan bangkit kembali. Pada 2014, Sharifi bersama teman-teman senimannya yang lain membangun ArtLords, sebuah kolektif seniman akar rumput yang ingin menciptakan percakapan interaktif atau mengajak langsung masyarakat untuk terlibat lewat seni mural. Azimi juga salah satu anggotanya.
Ia mengatakan, sengaja memilih seni visual lewat mural untuk menyampaikan kritiknya karena lebih mudah dipahami dan menarik perhatian masyarakat.
“Orang Afghanistan tidak bisa menulis dan membaca karena tidak diberikan kesempatan oleh Taliban saat mereka berkuasa pada kurun ‘90-an sampai awal 2000-an. Kami ingin mencari alat yang efektif. Bisa televisi, tapi tidak ada impact. Jadi kami merasa seni visual gambar di dinding sangat efektif.
Karya-karya organisasi tersebut digambarkan di atas tembok beton atau blast walls yang disebut melindungi warga dari serangan teroris. Meski demikian, ujar Sharifi, tembok itu lebih untuk melindungi rumah elit dan kantor pemerintahan.
Baca juga: Janji Tinggal Janji, Kemenangan Taliban Musibah bagi Perempuan Afghanistan
Muralnya fokus pada isu sosial, seperti kritik akan pemerintah yang korup dengan gambar mata disertai tulisan “We Are Watching You”, perang oleh warlords, sampai yang memberikan harapan kalau Afghanistan bisa bangkit lebih kuat meski berada di situasi darurat. Beberapa mural yang menonjol ialah wajah George Floyd yang dibunuh polisi di AS dan Tetsu Nakamura, dokter dan kepala Peace Japan Medical Services yang dibunuh di Jalalabad, kota di Afghanistan.
Penghapusan Mural
Mural itu menjadi jalan seniman Afghanistan dan masyarakat menggambarkan peristiwa yang terjadi di sekitar mereka. Hal senada disampaikan Anggraeni Widhiasih, seniman dan Pemimpin Redaksi Visual Jalanan di diskusi yang sama.
“Jika melihat concern street artist, mereka menggambarkannya dengan isu di Palestina, korupsi, dan terbaru tentang Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Perkantoran (PPKM) ,” ujarnya.
“Seni adalah medium yang paling mudah digunakan untuk membicarakan suatu masalah, seperti mural dan grafiti. Menulis juga cara komunikasi yang paling cepat untuk disampaikan ke publik,” lanjutnya.
Meski demikian, berkaca dari peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu, seni yang mengkritik pemerintah dihilangkan dengan alasan mengganggu ketertiban. Selain itu, senimannya juga bisa dituntut menggunakan Undang-undang Informasi dan Transaksi dan Elektronik (UU ITE) atas nama pencemaran nama baik.
Baca juga: Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui tentang Isu Palestina-Israel
“Penghapusan” mural semacam itu juga terjadi di Afghanistan. Taliban menghapus atau menggantinya dengan slogan kemerdekaan, kemenangan, dan bendera organisasi, ujar Sharifi. Azimi juga merasa terpukul dengan dihancurkannya mural yang juga menggambarkan kekuatan perempuan Afghanistan.
“Saya tidak bisa mengekspresikan rasa sakit ketika melihat di media sosial kalau Taliban telah menghapus mural orkestra perempuan Afghanistan, karya pertama saya dengan ArtLords,” ujarnya dikutip The Guardian.
Meski demikian, Sharifi tidak ingin patah semangat dan mengatakan, meskipun Afghanistan kembali tidak berwarna tanpa seni, dia masih akan tetap berjuang dengan kolaborasi dengan seniman lain di seluruh dunia untuk membahas isu tersebut.
“Ada juga media sosial yang bisa digunakan sebagai wadah menyampaikan seni juga untuk semakin memperkuat bahwa kami, orang Afghanistan, masih berjuang,” tandasnya.