Cyberpunk dan Hobinya Mengobjektifikasi Perempuan
Genre cyberpunk sering menawarkan kritik sosial tajam tentang kapitalisme dan penguasa. Sayang, genre ini tak pernah bisa lepas dari tabiatnya mengobjektifikasi perempuan.
Belum lama ini aku baru saja menyelesaikan serial anime terbaru Netflix Cyberpunk: Edgerunner. Anime yang diadaptasi dari game terkenal Cyberpunk 2077. Cyberpunk: Edgerunners dirilis pada 13 September ini sejak pertama liris memang sudah menarik perhatian banyak orang karena dua hal. Pertama, genre anime ini adalah cyberpunk dengan adegan gore eksplisit yang tak pelit. Kombo mematikan yang memicu adrenalin para penontonnya.
Kedua, sejak pertama kali dirilis anime ini selalu dapat pujian selangit dari para kritikus dan penikmati anime. Di MyAnimeList, gudangnya ulasan anime, misalnya Cyberpunk: Edgerunner mendapatkan skor 8.76 dengan jumlah reviewer sebanyak 155.156 per (6/10). Enggak heran, anime ini pun pun menempati tempat ketiga di daftar Top 10 serial paling laris di Amerika Serikat dengan 29,3 kali lipat permintaan untuk seri rata-rata mingguan di sana.
Gamenya pun jadi semakin laris manis. CD Projekt Red dalam Twitter mereka pada Rabu, (21/9) mengumumkan semenjak anime ini rilis Cyberpunk 2077 telah dikunjungi oleh 1 juta pemain. Hal ini menjadikan Cyberpunk 2077 berada dalam puncak daftar best seller Steam dan game pertama yang meraih angka ini sejak Januari tahun lalu.
Cyberpunk: Edgerunner bukanlah yang pertama. Sebelum anime ini, genre cyberpunk memang telah lama populer. Sudah cukup banyak novel, film, serial TV, anime, dan manga yang mengusung genre ini dan nyatanya laris manis di pasaran. Kita bisa melihatnya dari kesuksesan The Matrix trilogy (1999–2003). Film yang kini telah mejadi bagian ikon dari budaya populer dengan Keanu Reeves sebagai wajah dari trilogi filmnya.
Bahkan sebelum The Matrix rilis, masyarakat dunia telah mengenal dan mengakui genre ini. Utamanya lewat anime Akira (1988) dan Blade Runner (1989). Dilansir dari halaman website The British Film Institute, Akira dan Blade Runner tak hanya dilihat sebagai karya fiksi ilmiah populer di masyarakat dunia, kedua karya ini juga disebut sebagai landasan penting dari genre cyberpunk dan jadi karya fiksi ilmiah paling berpengaruh abad 21.
Baca Juga: Kata Siapa Perempuan Selalu Benar: Kacamata ‘Male Gaze’ dalam Film ‘Selesai’
Apa Itu Cyberpunk?
Melihat kepopuleran genre cyberpunk, tentu kita jadi pensaran dari mana sih sebenarnya genre ini berasal dan sejak kapan mulai dilirik dunia? Untuk menilik sejarahnya kita bisa mengacu pada buku Storming the Reality Studio: A Casebook of Cyberpunk and Postmodern Science Fiction (1991) dan penelitian doctoral Carlen Lavigne, akademisi budaya pop dan studi media kritis yang berjudul Mirrorshade Women: Feminism and Cyberpunk at the Turn of the Twenty-first (2008).
Dari kedua sumber ini dijelaskan genre cyberpunk berakar pada gerakan fiksi ilmiah the New Wave pada 1960-an dan 1970-an. Gerakan yang dicirikan oleh tingkat eksperimentasi yang tinggi dalam bentuk dan isi serta kepekaan “sastra” atau artistik. Dan yang tak kalah penting fokus pada soft science fiction sebagai lawan dari hard science fiction (fiksi ilmiah yang dicirikan oleh kepedulian terhadap akurasi dan logika ilmiah).
Dalam gerakan ini para penulis The New Wave berusaha menghadirkan dunia di mana masyarakat menghadapi pergolakan konstan teknologi dan budaya baru, umumnya dalam rangkulan erat dunia distopia. Dalam hal ini penulis seperti J. G. Ballard, Michael Moorcock, Harlan Ellison, Roger Zelazny, John Brunner, dan Philip K. Dick meneliti dampak budaya narkoba, teknologi, dan revolusi seksual yang pada saat bersamaan mereka mencoba menghindari penggambaran utopis fiksi yang jadi nafas karya fiksi ilmiah gelombang sebelumnya.
Awalnya genre baru ini tak punya nama sampai akhirnya Bruce Bethke memakai nama ini pada 1983. Lalu dipopulerkan oleh artikel Washington Post pada 1985 yang ditulis Gardner Dozois. Dalam artikel tersebut, cyberpunk merujuk pada karya penulis seperti William Gibson (dijuluki Father of Cyberpunk) lewat karya terkemukanya Necromancer (1962).
Sebagai gerakan fiksi ilmiah yang berusaha keluar dari pakem lamanya, cyberpunk memang punya ciri khasnya tersendiri. Pada 1992 Frances Bonner, akademisi studi film dan dan TV misalnya memetakan ciri khas cyberpunk lewat “Four C”. Corporations, computer/cyber space, crime, and corporeality.
Sindikat korporat (corporations) selalu jadi fondasi kritik sosial tentang efek akhir dari kapitalisme global di masa depan. Ia berfungsi sebagai alat yang sangat baik untuk menggambarkan marginalisasi dan jadi awal momentum kemarahan kelas. Individu yang teralienasi dan tercerabut hak-hak dasarnya inilah kemudian memanfaatkan teknologi untuk melawan (computer/cyber space). Teknologi memberikan mereka kekuatan untuk bisa memanipulasi data, menciptakan celah, atau meningkatkan kemampuan mereka.
Akibatnya, angka kriminalitas (crime) pun meningkat tajam. Gangster bermunculan dan jadi produk peradaban urban baru untuk mempolitisasi masalah abadi kapitalisme yang meliputi keterasingan, hutang, keserakahan, kemiskinan, dan pengangguran.
Selain itu kriminalitas juga digambarkan lewat aksi protagonisnya yang kebanyakan adalah peretas. Mereka berjuang melawan korporasi besar atau pemerintah otoriter. Keduanya dimunculkan untuk membuka ruang pembahasan mengenai etika, moral, dan hukum di mana semuanya kabur di dunia distopia ini.
Dalam kelindan terakhirnya, cyberpunk menggarisbawahi corporeality atau jasmani. Melalui komodifikasi tubuh manusia melalui implan dan organisme sibenetik Cyborgs, maka cypberpunk mencoba mengeksplorasi hubungan antara tubuh manusia dan teknologi. Aspek kesadaran dan kemanusiaan dipertanyakan lewat tindakan-tindakan para tokohnya.
Baca Juga: Superhero Perempuan dan Problematika Representasinya
Problematika Cyberpunk
Cyberpunk boleh jadi menawarkan kritik sosial tajam beserta refleksi terhadap ambiguitas moral dan kemanusiaan. Akan tetapi, genre ini sejak kemunculannya tak pernah lepas dari problematiknya sendiri. Banyak feminis melancarkan kritis pedas pada cyberpunk. Terutama dalam masalah representasi dan penggambaran perempuan di dalamnya.
Karen Cadora dalam penelitiannya Feminist Cyberpunk menyebut cyberpunk tak lebih adalah klub khusus laki-laki atau boys club. Genre ini ditulis oleh laki-laki dan untuk laki-laki yang dalam prosesnya mengandalkan hipermaskulinitas dalam penarasian dan penggambaran tokoh-tokohnya. Tak heran, kebanyakan protagonis dalam genre ini adalah laki-laki.
Codora secara spesifik mengidentifikasinya lewat eksistensi cyborg. Cyborg seperti apa yang digambarkan Donna Haraway (feminis ternama yang menulis A Cyborg Manifesto) adalah makhluk di dunia postgender. Haraway menekankan citra cyborg menawarkan jalan keluar dari dualisme tradisional. Perempuan dan laki-laki, feminitas dan maskulinitas, primitif dan beradab, tubuh dan nalar, hingga budaya dan teknologi. Dualisme ini yang memenjarakan perempuan dan menempatkan perempuan di kelas kedua.
Oleh karena itu, eksistensi cyborg ada untuk meleburkan batas-batas ini. Mereka hadir di tengah-tengah. Antara manusia dan mesin, manusia dan hewan serta eksis melampaui batasan gender tradisional. Sayangnya, manifestasi ini jarang sekali terwujudkan dalam genre cyberpunk. Perempuan dalam genre entah mereka selalu terikat dengan tubuh yang terseksualisasi atau tetap dilekatkan dengan peran gender dan feminitasnya. Dalam esai akademik yang diterbitkan oleh The Garden Statuary University of British Columbia penggambaran ini salah misalnya terlihat jelas dalam karya Battle Angel Alita. Manga yang ditulis oleh Yukito Kishiro dan diadaptasi menjadi film pada 2019.
Baca Juga: ‘True Crime Craze’: Ketika Kejahatan Diglorifikasi dan Korban Di-reviktimisasi
Kendati Alita adalah cyborg, Alita tidak hanya diciptakan untuk mewujudkan stereotip perempuan seperti yang dibayangkan oleh pikiran laki-laki. Ia juga jadi simulakrum bagi perempuan sejati yang sebenar-benarnya. Tubuhnya dibentuk dengan pinggul dan payudara yang bulat. Paha dan pantatnya pantatnya diberikan implant seakan-akan seperti kulit perempuan asli (hal yang sama terjadi pada penggambaran cyborg di Ghost in the Shell, franchise Terminator, Nemesis, Altered Carbon, atau Cyberpunk: Edgerunner).
Kita melihat cyborg perempuan telanjang atau ditelanjangi, tapi tidak dengan cyborg laki-laki. Mereka pun ditempeli sifat-sifat gender. Submisivitas ditekankan padanya.
Alita misalnya setelah mendapatkan kembali beberapa hak pilihan atas pilihan hidupnya, identitas Alita tetap terbatas pada batas-batas tubuh perempuannya. Kehadiran Alita di ruang laki-laki sering disambut dengan cat calling, seperti “Ada yang bisa saya bantu nona?” atau “Mengapa kamu memutuskan untuk menjadi pemburu, sayang?” Eksistensi cyborg “perempuan” dalam filmnya ini bahkan tak pernah lepas dari kekerasan berbasis gender, apalagi ketika narasi pembunuh berantai muncul dengan korban terbanyak adalah cyborg “perempuan”.
Hal yang sama terjadi juga pada karakter Molly Millions. Cyborg dalam Neuromancer yang digadang jadi pionir genre ini. Ceylan Ertung dalam penelitiannya menjelaskan Molly diseksualisasi dalam istilah tradisional sebagai perempuan untuk dipenetrasi dan dikendalikan.
Dalam perjuangan bersama melawan invasi dunia maya, Case harus “memasuki” tubuh Molly melalui teknologi “simstim”. Teknologi yang memungkinkan dia untuk mengalami sensasi tubuh Molly meskipun mereka terpisah secara fisik. Pengalaman tersebut digambarkan secara seksual seperti misalnya Molly yang menggerang ketika dimasuki oleh Case.
“Di dalam atau di luar dunia maya, hubungan antara badan yang terhubung secara cyber sering kali menciptakan kembali identitas gender heteroseksual tradisional,” tulis Ertung.
Pada akhirnya sama seperti genre fiksi ilmiah lain, cyberpunk masih lekat dengan penarasian dan penggambaran male gaze. Kritik sosial dan kontemplasi mengenai ambiguitas moral dan kemanusian boleh jadi dieksplorasi, tapi perspektif perempuan yang ramah gender perlu terus didorong. Hal ini tak lain agar kedepannya genre cyberpunk bisa lebih merangkul keberagaman dengan nafas kesetaraan yang tak lagi maskulin heteronormatif.