December 6, 2025
Issues Opini Politics & Society Safe Space

Penerapan UU TPKS Jalan di Tempat, Di Mana Peran Pemda? 

Ketika pusat lambat menyelesaikan aturan pelaksana UU TPKS, daerah bisa memulai perubahan dari bawah.

  • August 4, 2025
  • 4 min read
  • 1666 Views
Penerapan UU TPKS Jalan di Tempat, Di Mana Peran Pemda? 

Di Papua, khususnya Papua Tengah, kekerasan seksual bukan lagi isu tersembunyi. Itu terjadi di sekolah, asrama, bahkan rumah sendiri. Di 2021, Kompas melaporkan lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Angkanya tak main-main, dan yang lebih mengkhawatirkan, sebagian besar terjadi di lingkungan yang semestinya jadi tempat aman, seperti rumah dan sekolah. 

Perwakilan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Papua, Nur Aida Duwila mengonfirmasi hal ini. Dalam wawancara dengan media yang sama, Maret 2021, ia bilang, pelecehan seksual terhadap anak mengalami tren peningkatan dari 2019 hingga 2021. Ini termasuk kekerasan terhadap 25 anak yang dilakukan seorang pembina sekolah asrama di Mimika. 

Kita tidak sedang bicara soal statistik semata. Di balik tiap angka, ada trauma yang membekas seumur hidup, ada korban yang berjuang dalam sunyi. Dan dalam konteks ini, menunggu pusat menyelesaikan tujuh peraturan pelaksanaan UU TPKS terasa terlalu lambat. Pemerintah daerah tidak punya kemewahan untuk menunggu. Mereka harus bergerak karena kekerasan seksual tidak mengenal tenggat birokrasi. 

Namun sayangnya, respons dari pemerintah setempat justru minim. Padahal, sejak Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan, harapan besar muncul: Negara akan hadir untuk para korban. Dua tahun berlalu, janji itu belum sepenuhnya ditepati. Pusat lambat menuntaskan peraturan pelaksana, sementara daerah masih menunggu komando. 

Faktanya, dari tujuh aturan turunan UU TPKS, baru empat yang diselesaikan. Dua di antaranya—tentang penguatan layanan dan akses keadilan korban—masih sangat dinanti. Namun kekerasan seksual tak menunggu. Ia terus terjadi setiap hari, dari rumah tangga, sekolah, pabrik, hingga ruang publik. Di sinilah pemerintah daerah semestinya mengambil peran aktif. Tanpa perlu menunggu lengkapnya petunjuk teknis pusat, daerah bisa menjadi lokomotif pelaksanaan UU TPKS. 

UU ini memang produk hukum nasional. Namun keberhasilannya akan lebih ditentukan oleh keberanian lokal. Contoh penting bisa dilihat pada Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Inisiatif seperti ini harus ditiru daerah lain. Keberpihakan kepada korban tidak bisa ditunda. 

Daerah Jadi Lokomotif Perubahan 

Feminisme Pancasila bisa jadi kerangka pendekatan. Ini bukan ide asing, melainkan tawaran yang berpijak pada nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan ketuhanan. Dalam perspektif ini, kekerasan seksual bukan sekadar tindak pidana, tapi pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan itu sendiri. Maka, sikap netral justru berbahaya. Dalam ketimpangan relasi kuasa, netralitas berarti membiarkan korban sendirian. 

Pemerintah daerah harus menyusun aksi konkret. Pertama, membentuk Tim Terpadu Penanganan TPKS yang melibatkan semua sektor: Dinas PPA, Kesehatan, Pendidikan, Sosial, penegak hukum, komunitas, dan tokoh masyarakat. Pendekatan partisipatif dan interseksional wajib diadopsi agar tak ada korban yang tertinggal. 

Kedua, integrasi UU TPKS dalam kebijakan lokal sangat penting. Ini bisa melalui penyusunan Perda baru atau revisi Perda Perlindungan Perempuan dan Anak yang sudah ada. SOP dan protokol layanan harus dibuat berbasis perspektif korban. Anggaran pun harus disiapkan melalui APBD. Ini bukan semata urusan perempuan, tapi layanan dasar publik sebagaimana diatur dalam PP Nomor 2 Tahun 2018. 

Inovasi daerah bisa dilakukan melalui mekanisme sosial, seperti bantuan komunitas atau dana tanggap darurat. Pendidikan publik juga penting. Pelatihan bagi kader posyandu, guru, tokoh agama, dan kepala desa dalam deteksi dan respons awal bisa menjadi ujung tombak. Untuk konteks lokal, materi kampanye bisa diterjemahkan ke bahasa daerah agar lebih membumi. 

Meski aturan soal sistem pelaporan yang aman belum tersedia, bukan berarti daerah harus pasif. Mereka bisa mengadopsi praktik baik dari wilayah lain—misalnya layanan berbasis komunitas, kanal digital yang menjamin kerahasiaan pelapor, atau hotline lokal yang mudah diakses. 

Gotong-Royong Menghapus Kekerasan Seksual 

Provinsi dan kabupaten/ kota yang progresif seharusnya jadi wajah baru Indonesia. Ini menjadi indikator bawa negara berpihak pada korban, bukan menormalisasi kekerasan. Negara tak cuma diwakili pemerintah pusat, tetapi justru daerah karena tindak kejahatan dan pelayanan untuk para korban ada di daerah.  

Kita perlu belajar dari daerah-daerah seperti DKI Jakarta, Bali, Yogyakarta, atau NTT yang mulai mengembangkan layanan terpadu atau membentuk pusat krisis layanan TPKS. Keberanian mereka membuktikan pelaksanaan UU TPKS bukanlah beban, melainkan investasi peradaban. 

Memang banyak pemda merasa tidak punya cukup dana atau tenaga untuk menjalankan semua itu. Namun justru di sinilah nilai Gotong Royong Pancasila menemukan relevansinya. Keterbatasan dana bisa dijawab dengan kolaborasi lintas sektor: LSM, perguruan tinggi, CSR. 

Terkait permasalahan kurangnya tenaga profesional bisa diisi dengan menyelenggarakan kaderisasi lokal dan pelatihan komunitas. Kekhawatiran akan adanya resistensi sosial bisa diatasi dengan pelibatan tokoh agama dan adat setempat. Dengan demikian, pelaksanaan UU TPKS bukan sekadar amanat birokrasi, melainkan gerakan kolektif membangun peradaban yang lebih adil. 

Sudah saatnya daerah memimpin, bukan karena diperintah pusat, tetapi karena sadar: kekerasan seksual adalah darurat kemanusiaan yang harus diatasi bersama. Dengan keberanian daerah, gotong royong masyarakat, dan jiwa keadilan Pancasila, Indonesia bisa jadi rumah yang aman dan beradab bagi semua penduduknya.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Eva Kusuma Sundari

politisi, enthusiast Feminisme Pancasila, pendiri Institut Sarinah dan konsultan SDGs, gender and development,