June 23, 2025
Issues Safe Space

Tiga Tahun UU TPKS: 4 Pekerjaan Rumah yang Belum Lunas 

Sudah berumur tiga tahun, nyatanya masih banyak korban kekerasan seksual yang belum merasakan manfaat penerapan UU TPKS.

  • May 26, 2025
  • 5 min read
  • 750 Views
Tiga Tahun UU TPKS: 4 Pekerjaan Rumah yang Belum Lunas 

“Antara harapan dan realitas ini jurangnya masih sangat tinggi,” kata Mutiara Ika Pratiwi, Ketua Perempuan Mahardhika, dalam Media Briefing “Menagih Komitmen Negara: Mewujudkan Upaya Pencegahan, Penanganan, Perlindungan dan Pemulihan yang Komprehensif bagi Korban Kekerasan Seksual” (22/5). Ia menilai, penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) masih jauh dari harapan

UU TPKS adalah terobosan penting dalam penanganan kekerasan seksual. Disahkan pada 2022, aturan ini tak hanya menekankan hukuman pelaku, tapi juga mengatur restitusi dan pemulihan korban, serta mewajibkan aparat menjamin perlindungan korban

Namun, tiga tahun berlalu, implementasinya masih jauh dari harapan. Catatan Forum Pengada Layanan (FPL) menunjukkan, kurang dari setengah laporan kekerasan seksual diselesaikan lewat UU ini. Banyak kasus masih diproses menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), atau Undang-Undang Informasi KUHP atau UU Transaksi Elektronik (UU ITE), terutama untuk kekerasan berbasis daring.  

Magdalene merangkum refleksi dan tantangan penerapan UU TPKS selama tiga tahun ke belakang.  

Baca juga: Refleksi Dua Tahun UU TPKS: Gagap APH hingga Terbatasnya Jenis KBGO 

1. “Keengganan Sosial” Aparat Penegak Hukum 

Berdasarkan catatan FPL, APH masih banyak yang enggan menggunakan UU TPKS dalam proses penyelesaian kasus kekerasan seksual. Dari total 511 kasus yang diproses di pengadilan, hanya ada 93 putusan yang diselesaikan dengan UU TPKS.  

Perwakilan FPLIna Irawati dalam acara yang sama menyebut praktik penyelesaian kasus kekerasan seksual tanpa UU TPKS merugikan korban. Hak-hak korban seperti perlindungan sampai pemulihan jadi satu aspek yang terlewat. 

Ajeng Gandini Kamilah, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memaparkan temuan yang sama. Berdasarkan hasil survei ICJR kepada banyak lembaga penyedia layanan pendampingan kasus kekerasan seksual, APH belum menerapkan UU TPKS dalam proses penanganan.  

“Aparat masih banyak yang menggunakan KUHP. Padahal KUHP sendiri itu sudah sangat usang,” ungkap Ajeng.  

Bahkan dalam penyelesaian kasus pembunuhan terhadap perempuan (femisida), UU TPKS juga jarang digunakan. Berdasarkan paparan Anindya Restuviani dari Jakarta Feminist, meskipun pembunuhan terhadap perempuan kian tinggi, pasal yang digunakan untuk menjerat pelaku tidak berasal dari UU TPKS.  

Dari catatan FPL, keengganan APH untuk menggunakan UU TPKS ditengarai terjadi lantaran masih minimnya perspektif korban pada institusi tersebut. Sebagai aktor kunci dalam mengimplementasikan UU TPKS, masih kerap ditemukan APH yang justru melemparkan pertanyaan yang menyudutkan korban kala proses penyidikan.  

Baca juga: Aturan Turunan UU TPKS, PR Besar yang Tak Kunjung Selesai 

2. Aturan Turunan yang Belum Memadai 

Dalam penerapannya, UU TPKS memang membutuhkan aturan turunan guna pemidanaan dan jaminan hak korban dapat terlaksana sempurna. Namun sayangnya, sampai hari ini, dari 7 aturan turunan yang ditargetkan, hanya terdapat 4 aturan turunan yang sudah disahkan. Catatan FPL menyebutkan hal ini menandakan masih lemahnya komitmen pemerintah untuk membangun sinergi multipihak dalam penerapan UU TPKS. Realisasi korban menjadi penyintas pun semakin terhambat. 

Empat aturan turunan yang telah disahkan sendiri antara lain adalah Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2024, tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Kemudian, terdapat pula Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2024 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA), Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2024 tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu dalam Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Tindak Pidana Kekerasan Seksual oleh Pemerintah Pusat.  

Baca juga: Harapan Besar buat UU TPKS: Penegak Hukum yang Berperspektif Korban 

3. Minimnya Lembaga Pendukung 

Penerapan UU TPKS tentu membutuhkan banyak lembaga pendukung. Salah satu lembaga yang kehadirannya sangat dibutuhkan berdasarkan catatan FPL adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).  

Dalam UU TPKS Pasal 76 disebutkan, kehadiran UPTD PPA di setiap provinsi dan kabupaten atau kota seharusnya jadi hal yang wajib untuk dibentuk. Secara praktik, UPTD PPA semestinya dapat mengakomodasi pelaksanaan teknis operasional bagi perempuan dan anak yang mengalami masalah kekerasan, dan juga masalah lainnya.  

Sayangnya, kehadiran lembaga ini masih belum merata di seluruh daerah di Indonesia. Dari temuan FPL bahkan terdapat satu uni UPTD PPA yang harus mengakomodasi 33 cakupan desa sekaligus.   

Selain UPTD PPA, pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) juga masih belum merata dilakukan. Padahal, lembaga ini penting menjadi garda terdepan dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual. FPL menyebutkan edukasi tentang pentingnya pencegahan kekerasan seksual jadi persoalan utama mengapa lembaga ini belum dibentuk di banyak sektor. Intimidasi dan serangan balik bagi anggota Satgas jadi persoalan lain yang membuat lembaga ini tidak berjalan maksimal.  

4. Ego Sektoral Lembaga Persulit Proses Penanganan 

Untuk mewujudkan penanganan kasus kekerasan seksual yang komprehensif, koordinasi antarlembaga jadi hal utama yang perlu dikedepankan. Namun, menurut Dahlia Madanih, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), hal ini masih belum terlaksana.  

Membawa paradigma baru, penerapan UU TPKS sudah semestinya dipikul bersama. “Masing-masing lembaga harus meninggalkan egosentrisme untuk menangani korban,” ungkap Dahlia. 

Dari catatan ICJR, ego sektoral jadi salah satu persoalan yang menghambat proses penanganan kasus kekerasan seksual. Sering kali, keengganan masing-masing lembaga untuk berkoordinasi jadi masalah utama dalam menyelesaikan kasusnya. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal