July 14, 2025
History Issues Opini Politics & Society

Benarkah Feminisme Pancasila Jawaban untuk Perempuan Indonesia? 

Gerakan perempuan tak harus selalu meniru teori Barat. Feminisme Pancasila adalah jalan alternatif yang lahir dari sejarah, spiritualitas, dan solidaritas khas Indonesia.

  • June 12, 2025
  • 5 min read
  • 472 Views
Benarkah Feminisme Pancasila Jawaban untuk Perempuan Indonesia? 

Pada 1955, Indonesia berdiri di panggung dunia sebagai penggagas jalan ketiga lewat Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung. Konferensi ini mendorong gelombang kemerdekaan di banyak negara jajahan. Sebab, setidaknya 20 dari 29 negara peserta kemudian berhasil memerdekakan diri. Tokoh-tokoh dunia, seperti Nelson Mandela di Afrika Selatan dan Ayatollah Khomeini di Iran pun merujuk Sukarno dan semangat KAA dalam perjuangan mereka. KAA adalah simbol pembebasan, dan Pancasila jadi semangat ideologis yang melandasinya. 

Dasa Sila Bandung yang dirumuskan dalam KAA mengukuhkan nilai-nilai Pancasila sebagai prinsip internasional: Penghormatan atas kedaulatan bangsa (Sila ke-3), penyelesaian sengketa secara damai (Sila ke-4), serta kesetaraan dan penolakan terhadap kolonialisme (Sila ke-2). Nilai-nilai itu menjadikan Pancasila lebih dari sekadar ideologi nasional. Ia adalah “bahasa dunia” yang melintasi batas negara dan ideologi. 

Hari ini, ketika dominasi ideologis Amerika Serikat merosot akibat intervensi militer dan standar ganda dalam kebijakan luar negerinya, dunia kembali mencari standar moral baru. Feminisme Pancasila (FP) muncul sebagai alternatif penting, terutama bagi negara-negara Selatan yang jengah pada tatanan dunia tak adil—termasuk terhadap pembiaran penjajahan dan genosida seperti di Palestina

Baca Juga: Bagaimana Feminisme Diterapkan di Negara-negara Asia

Feminisme Pancasila: Jalan Hidup dari Selatan 

Di tengah krisis global—mulai dari ekstremisme, kapitalisme predator, kehancuran lingkungan, hingga kekerasan berbasis gender—Pancasila menjadi jawaban visioner. Dalam pidato 1 Juni 1945, Sukarno telah merumuskan prinsip-prinsip universal: Ketuhanan yang menghargai kemanusiaan, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan tanpa dominasi, Demokrasi yang berakar pada musyawarah mufakat, dan Keadilan sosial yang inklusif. 

Pancasila lahir dari pengalaman konkret bangsa Indonesia sebagai korban kolonialisme. Maka, nilai-nilainya sangat relevan bagi masyarakat Negara-negara Selatan yang mengalami trauma serupa. Feminisme Pancasila tidak hadir untuk menegasi aliran feminisme Barat, melainkan sebagai artikulasi khas yang berakar pada sejarah gerakan perempuan Indonesia, nilai-nilai Pancasila, dan budaya Nusantara. Ini adalah posisi etis dan politis, yakni pembebasan perempuan yang tak bisa dilepaskan dari keadilan sosial, solidaritas, dan spiritualitas. 

Sejumlah pemikir feminis seperti Chandra Talpade Mohanty (2003) dalam bukunya Feminism Without Borders: Decolonizing Theory, Practicing Solidarity telah mengkritik dominasi narasi feminisme Barat yang gagal menangkap konteks negara-negara berkembang. Dalam semangat serupa, FP menolak individualisme yang menjadi fondasi kapitalisme dan kolonialisme—nilai yang justru menciptakan keterasingan, penindasan, dan kerusakan alam. 

Feminisme liberal cenderung menekankan pencapaian individu dan otonomi pribadi. Sebaliknya, FP menegaskan pentingnya gotong royong, kolektivitas, dan spiritualitas. Transformasi dari ego-centrism ke eco-centrism, sebagaimana ditulis oleh Vandana Shiva (2014) dalam Staying Alive: Women, Ecology and Development, adalah proses spiritual—dan Pancasila mengakomodasi jalan spiritual ini. 

FP juga berpihak pada perempuan akar rumput, bukan pada elitisme akademik yang sering mewarnai diskursus feminisme postkolonial. Karena nilai musyawarah dan persatuan dalam Pancasila, relasi gender dalam FP bersifat harmonis, bukan antagonistik. FP menolak pandangan radikal yang memosisikan laki-laki sebagai lawan; ia lebih menekankan kerja sama demi keadilan bersama. 

Kritik terhadap FP menyebutnya terlalu “kompromistis.” Namun justru di situlah kekuatannya: Membangun perubahan dari dalam budaya dan sistem, tanpa kekerasan epistemik. FP adalah seruan untuk berpikir dari posisi kita sendiri, bukan sekadar mengimpor teori dari luar. 

Baca Juga: Feminis Radikal dan Gagasan-gagasan tentang Seksualitas Perempuan

Feminisme yang Sejalan dengan SDGs 

Di tengah tekanan neoliberalisme dan politik identitas global, FP menawarkan pendekatan yang membumi, inklusif, dan transformatif—mirip dengan semangat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). 

SDGs sendiri mengakui pentingnya transformasi nilai dan spiritualitas, seperti dalam Target 16 (perdamaian, keadilan, dan kelembagaan inklusif) dan Target 17 (kemitraan global). Target-target ini menyokong upaya pelestarian lingkungan (target 11–15), serta pembangunan manusia yang berkelanjutan (target 1–10). Dalam konteks ini, FP bukan hanya relevan, tetapi urgen sebagai kerangka ideologis gerakan perempuan dunia dari Selatan. 

Baca Juga: 10 Pemahaman Keliru tentang Feminisme

Menempuh Jalan Kita Sendiri 

Feminisme Pancasila, seperti halnya Pancasila itu sendiri, terbuka untuk berdialog dan berkolaborasi dengan aliran feminisme global lainnya—selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa. Ia adalah feminisme berbasis kemanusiaan universal. 

Tugas utama FP saat ini bukan untuk membandingkan aliran-aliran feminisme, tetapi merumuskan teori dan praksis pembebasan yang sesuai dengan konteks Indonesia: ketimpangan gender yang mengakar dan krisis lingkungan yang saling menguatkan. Seperti yang diungkapkan Maria Mies dan Veronika Bennholdt-Thomsen (1999) dalam The Subsistence Perspective: Beyond the Globalized Economy, pendekatan feminisme harus selalu kontekstual dan membumi. 

Namun, seperti halnya Pancasila yang diagungkan namun minim implementasi, FP pun menghadapi tantangan serupa. Ia belum dikenal luas di kalangan aktivis perempuan, birokrat, maupun akademisi. Program studi gender di perguruan tinggi masih mendominasi dengan wacana feminisme Barat—liberalisme, radikalisme, sosialisme, eco-feminisme, postmodernisme, bahkan feminisme berbasis agama. FP nyaris absen dari perbincangan akademik maupun kebijakan publik. 

Ironisnya, meskipun Indonesia adalah penggagas Gerakan Non-Blok, peran kepemimpinannya dalam geopolitik global kini lemah. Sistem kapitalisme liberal lebih dominan daripada nilai-nilai Pancasila. Seperti diingatkan Sukarno, tanpa menjalankan prinsip Trisakti—berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan—Indonesia akan terus menjadi pengikut dalam percaturan global. Maka, FP yang sejatinya menawarkan solusi ketimpangan gender dan ekologis pun tidak terdengar gaungnya, baik di tingkat nasional maupun internasional. 

Kita memerlukan keberanian kolektif untuk mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam praktik feminisme dan kebijakan publik. Seperti kata orang Bali: “Pergilah ke mana saja, berinteraksilah dengan siapa saja, tapi jadilah diri sendiri yang sejati.” Maka saat Nyepi, semua dipaksa diam dan merenung—sebuah bentuk spiritualitas yang lahir dari lokalitas namun berbicara pada kemanusiaan universal. 

Eva K. Sundari adalah pendiri Institut Sarinah, Entusiast Feminisme Pancasila, aktivis gerakan perempuan dan parpol Nasdem. Anggota Board Asean Parliamentarian for Human Rights (APHR), Partnership for Governance Reform (Kemitraan) dan International Cooperative Alliance (ICA). Hobby menulis dan travelling. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality
About Author

Eva K Sundari