Dampak Sunyi Serangan Israel ke Palestina: Cemari Lingkungan dan Rusak Hutan
Serangan Israel ke Palestina dapat memaksa orang-orang meninggalkan rumah. Ini memunculkan persoalan pencemaran plastik, emisi senjata, dan sampah lainnya. Sebuah langkah mundur dalam merespons krisis iklim.
Penderitaan akibat perang tak berhenti saat pertempuran usai. Setelah warga kehilangan rumah dan penghasilan, dampak lebih serius mengintai mereka. Perang juga merusak lingkungan. Serangan artileri, roket, dan ranjau darat mencemari lingkungan, membinasakan hutan, dan membuat lahan pertanian tak bisa digunakan lagi.
Satu dari enam orang di seluruh dunia telah terpapar konflik tahun ini, mulai dari perang sipil di Sudan, perang Rusia di Ukraina, hingga yang terbaru serangan Israel ke Hamas dan warga Palestina. Saat kita bergulat dengan persoalan korban jiwa, kita juga tak bisa berpaling dari akibat perang lainnya: Dampak sunyinya bagi lingkungan.
Baca juga: Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui tentang Isu Palestina-Israel
Apa Saja Kerusakan Lingkungan Akibat Perang?
Konflik bersenjata meninggalkan jejak panjang kerusakan lingkungan. Semuanya dapat memperburuk kesehatan kita dan spesies lainnya.
Senjata kimia dan polusi dari senjata akan berada di lingkungan kita sebagai warisan racun. Bahan peledak memuntahkan polutan seperti depleted uranium atau uranium terdeplesi ke tanah, sementara bentang lahan dapat hancur akibat pergerakan prajurit dan bangunan yang roboh.
Kerusakan ini dapat bertahan lebih lama dari yang kita kira. Pertempuran Verdun di Perancis dalam Perang Dunia II mengontaminasi lahan pertanian yang subur. Hingga seabad kemudian, tak ada seorang pun yang dapat menghuni Red Zone di Verdun karena ancaman bom yang tak meledak.
Seiring berlanjutnya perang Rusia-Ukraina, pencemaran udara parah, deforestasi, dan degradasi lahan juga semakin parah.
Konflik turut menyebabkan kehilangan habitat dan penurunan biodiversitas. Selama 1946 – 2010, kehidupan liar menurun di negara-negara Afrika akibat konflik bersenjata.
Ranjau darat juga berdampak buruk, karena didesain untuk berada di suatu tempat hingga terinjak. Jauh setelah perang berakhir, ranjau masih bisa membinasakan manusia atau hewan. Ranjau juga merusak lahan dan membatasi akses masyarakat atas lahan yang aman, sehingga berujung pada eksploitasi berlebihan di kawasan lainnya.
Ranjau juga muncul karena sapuan banjir. Ini terjadi di Libia, Ukraina, Libanon, dan Bosnia Herzegovina.
Banyak senjata meledak yang dirancang untuk bertahan dalam periode panas intens yang singkat. Ketika temperatur tinggi bertahan lama, bom yang diam pun dapat meledak. Saat suhu dunia memanas, kita dapat melihat lebih banyak ledakan, bukan hanya dari sisa-sisa bom, tapi dari timbunan amunisi.
Situasi tersebut terjadi di Timur Tengah yang tengah mengalami pemanasan cepat atau fast-heating. Di Irak, enam gudang senjata meledak selama gelombang panas intens pada 2019 – 2019. Di Yordania, gelombang panas dituding menjadi penyebab ledakan fasilitas serupa pada 2020.
Kala perang berakhir, senjata kerap dibuang begitu saja ke laut. Sejak Perang Dunia I sampai dekade 70-an, amunisi kedaluwarsa dan senjata kimia di Inggris dibuang ke laut.
Pembuangan ini tampak seperti solusi gampang, tapi bom-bom tersebut belum hilang. Lebih dari sejuta ton sampah amunisi berserakan di dasar palung laut alami antara Irlandia Utara dan Skotlandia. Amunisi ini terkadang meledak di bawah air, sementara senjata kimia dapat terdampar di pantai.
Selama Perang Dunia II, pertempuran intens juga berlangsung di Kepulauan Solomon. Sampai hari ini, orang-orang meninggal ataupun terluka setiap tahun akibat bom-bom yang tak terlindungi meledak. Para nelayan juga harus berhati-hati dengan bom di dalam air.
Eksploitasi lingkungan seperti pembalakan ilegal ataupun penambangan permata dapat meningkat saat perang. Keuntungannya digunakan untuk membeli senjata untuk mengobarkan lebih banyak pertempuran.
Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa, setidaknya 40 perang perang sipil dan konflik internal selama 1946 – 2006 berhubungan dengan sumber daya alam seperti kayu jati dan emas.
Sumber daya alam kadang kala menjadi sasaran tembak, seperti penembakan membabi buta ke sumur minyak di Kuwait ataupun penghancuran bendungan Kakhovka di Ukraina. Taktik bumi hangus itu menyebabkan kerusakan tak terperi bagi lingkungan.
Baca juga: Kelaparan dan Kematian karena Krisis Iklim, Sudah Waktunya Indonesia Serius
Bagaimana Hubungan Perang dengan Perubahan Iklim?
Perang berkepanjangan di kawasan Darfur di Sudan disebut-sebut sebagai perang perubahan iklim pertama di dunia karena bermula dari kekeringan dan krisis ekologi.
Memang sulit menghubungkan iklim yang berubah dengan konflik bersenjata. Namun, setidaknya perubahan iklim dapat menjadi pemicu tak langsung yang dapat memperparah penyebab konflik bersenjata lainnya seperti sosial, ekonomi, maupun lingkungan.
Sebaliknya, konflik memperburuk kerusakan akibat perubahan iklim karena menghambat kemampuan masyarakat untuk merespons ataupun bertahan dari guncangan iklim.
Perang dan cuaca ekstrem sama-sama dapat memaksa orang-orang meninggalkan rumah. Pada akhir 2022, jumlah pengungsi di negara mereka sendiri mencapai angka tertinggi. Ketika orang-orang dipaksa untuk pindah, efek bagi lingkungan dapat bertambah parah karena munculnya persoalan pencemaran plastik dan sampah lainnya.
Perang yang berkobar dapat akan perhatian suatu pemerintah. Walhasil, perang dapat membatasi upaya suatu negara mengurangi emisi ataupun beradaptasi dengan perubahan iklim.
Bencana dapat diperparah oleh perang. Longsor besar di Kolombia pada 2017 menyebabkan 300 jiwa melayang. Mengapa begitu mematikan? Sebagian karena banyak orang yang pergi ke kota terdampak, Mocoa, untuk menghindari perang dan membuat rumah sementara yang tidak memiliki perlindungan terhadap bencana.
Kita juga mengetahui bahwa kematian akibat bencana meningkat di negara-negara yang dilanda konflik bersenjata.
Sektor militer adalah pengguna bahan bakar fosil global yang intens. Sektor ini bertanggung jawab atas 5,5 persen emisi global. Jika seluruh militer dunia berkumpul menjadi satu negara, maka kelompok ini merupakan penyumbang emisi terbesar keempat setelah Cina, Amerika Serikat, dan India.
Kita tak bisa lagi mengabaikan dampak berganda perang dan kerusakan lingkungan, termasuk perubahan iklim. Perang memperburuk kemampuan adaptasi iklim kita, dan kerusakan lingkungan akibat konflik akan memperburuk perubahan iklim.
Stacey Pizzino, PhD Candidate, The University of Queensland; Jo Durham, Senior Lecturer in Disaster Risk Management and Health, Queensland University of Technology, dan Michael Waller, Senior Lecturer Biostatistics, The University of Queensland.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.