Issues

Kelaparan dan Kematian karena Krisis Iklim: Sudah Waktunya Indonesia Serius

Krisis iklim punya dampak serius. Sayang, negara kita masih menganggapnya dengan bercanda.

Avatar
  • September 30, 2022
  • 4 min read
  • 94 Views
Kelaparan dan Kematian karena Krisis Iklim: Sudah Waktunya Indonesia Serius

Koaksi Indonesia bersama Yayasan Indonesia CERAH meluncurkan laporan sintesis dampak krisis iklim di seluruh sektor kunci di Indonesia, September 2022. Target dari laporan ini adalah untuk membangun kesadaran publik agar dapat memahami krisis iklim dan dampaknya. Pun, dapat menjadi referensi bagi media dalam mengembangkan laporan mendalam.

Kesimpulannya sudah jelas: Sejumlah riset konsisten bilang, ekonomi Indonesia termasuk yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Rumah tangga berpenghasilan rendah dan kelompok marjinal akan lebih banyak menjadi korban.

 

 

Verena Puspawardani, Direktur Program Koaksi Indonesia mengungkapkan kepada Magdalene, “Indonesia masih punya kesempatan untuk melakukan aksi iklim yang lebih ambisius sebelum dampak perubahan iklim makin buruk menimpa sektor-sektor strategis di Indonesia, seperti pangan, infrastruktur, ekonomi, dan tenaga kerja.”

Sebuah penelitian pada 2021 menyebut, pada 2050 Indonesia bisa kehilangan 30-40 persen produk domestik bruto (PDB) jika berada di tingkat emisi sedang hingga tinggi. Padahal, Indonesia bisa “hanya” kehilangan PDB maksimum 4 persen jika mampu menjaga suhu jauh di bawah 2°C.

Penelitian tersebut sejalan dengan temuan di 2015 yang mengungkapkan, dalam skenario emisi tinggi, PDB Indonesia bisa merosot 31 persen pada pertengahan abad, dan terjun bebas hingga 78 persen pada akhir abad 2100.

Ada lagi riset yang menyoroti dampak pemanasan global pada ekonomi Indonesia yang sangat besar kecuali emisi dipangkas sesegera mungkin. Diffenbaugh dan Burke pada 2019 menyebut, “PDB Indonesia per kapita mungkin sudah 15 persen lebih rendah ketimbang yang bisa tercapai tanpa pemanasan yang disebabkan ulah manusia sejak 1991.”

Baca juga: Bencana hingga Kematian di Depan Mata, Kenapa Kita Masih Cuek pada Krisis Iklim?

Pertanian dan Infrastruktur Terdampak

Panas ekstrem merupakan salah satu dampak krisis iklim yang sangat nyata di Indonesia. Hawa panas ini menurunkan hasil panen dan pangan di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam riset Kinose pada 2020. Dalam skenario tinggi emisi, merujuk pada penelitian ini, Pulau Jawa dan wilayah utara Sumatera akan mengalami penurunan panen beras sampai 20-40 persen pada 2040.

Penelitian lain di 2018 mengatakan, kenaikan suhu berdampak langsung pada penurunan panen kakao di Indonesia. Jika suhu mencapai 27-27,5°C maka hasil panen bakal merosot 67 persen dan bahkan sering mencapai nol. Selain kakao, beras dan kopi juga akan terdampak dari kenaikan suhu dan penurunan curah hujan.

Azis Kurniawan, Manajer Riset dan Pengembangan Koaksi Indonesia berkomentar, “Kompilasi data dan proyeksi dari berbagai laporan ini dapat menjadi basis bagi aksi iklim bersama oleh berbagai pihak, terutama pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil, agar target-target pembangunan Indonesia menuju ekonomi hijau dapat tercapai.”

Dampak krisis iklim juga dialami sektor infrastruktur. Riset Stone pada 2021 menunjukkan, peningkatan hawa panas membuat permintaan pendingin udara lebih besar, artinya menambah beban pada jaringan listrik. Gangguan pada jaringan listrik penyedia jasa pendinginan saat terjadi gelombang panas dapat menimbulkan korban jiwa. Sejumlah penelitian juga mengungkapkan panas ekstrem akan menurunkan fungsi pembangkit listrik tenaga termal, sehingga mengganggu pasokan listrik.

Selanjutnya, mengacu penelitian Dobney pada 2008, rel kereta bisa melengkung dan rusak jika suhu melampaui rancangannya. Tak hanya itu, riset Smoyer-Tomic dan tim di 2003 mengatakan, suhu tinggi bisa menyebabkan jalan-jalan meleleh dan menempel pada ban kendaraan. Efektivitas pendinginan mesin kendaraan juga akan berkurang dan menambah kemungkinan pecahnya ban, artinya kemungkinan kecelakaan menjadi lebih tinggi.

Berbagai bukti potensi dampak hawa panas terhadap infrastruktur ini memberikan pertanyaan: Apakah perencanaan pembangunan infrastruktur kita sudah dan akan mempertimbangkan potensi dampak krisis iklim?

Baca juga: Konferensi Iklim Didominasi Laki-laki, Saatnya Tingkatkan Keterlibatan Perempuan

“Jika kita memperhitungkan potensi dampaknya, kita sangat dapat melakukan penghematan APBN secara signifikan melalui transisi dari kegiatan ekonomi yang menghasilkan emisi tinggi ke arah ekonomi hijau,” kata Wira Dillon, periset senior Yayasan Indonesia CERAH.

Dipublikasikannya laporan KOAKSI sendiri bertepatan dengan rilis dokumen “Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) Republic Indonesia 2022” pada (23/9). Dokumen NDC terbaru ini menjanjikan peningkatan target penurunan emisi menggunakan sumber daya dan kemampuan sendiri dari 29 persen menjadi 31,89 persen serta peningkatan dari 41 persen menjadi 43,2 persen bila mendapatkan dukungan internasional.

Tentu saja masih banyak aspek yang perlu ditingkatkan untuk menyelaraskan peningkatan upaya menurunkan emisi yang disampaikan dalam NDC versi terkini dengan pembangunan Indonesia agar selaras dengan skenario perubahan iklim di bawah 1,5°C. Harapannya, laporan ini dapat menjadi referensi bagi aksi iklim yang lebih ambisius di masa mendatang dan terukur pencapaian targetnya.


Avatar
About Author

Magdalene