Relationship

‘Dating Down’: Saat ‘Bibit Bebet Bobot’ Jodoh Tak Jadi Soal

Bagi sebagian orang, relasi beda kelas ekonomi-sosial mendatangkan petaka. Namun, tak selamanya begitu.

Avatar
  • May 12, 2022
  • 5 min read
  • 1395 Views
‘Dating Down’: Saat ‘Bibit Bebet Bobot’ Jodoh Tak Jadi Soal

“Misalnya ada yang naksir lo, terus penampilannya tipe lo banget, tapi dia dari kelas menengah ke bawahLo bakal pertimbangin, enggak?” tanya salah satu user kepada TikToker @bella.sungkawa, yang tampaknya berasal dari kelas menengah. Dengan mantap, ia menjawab, pilih relasi dengan seorang yang “setara” dengannya. Spontan, banyak warganet yang mengamini pendapatnya.

Dari @bella.sungkawa saya menarik kesimpulan sementara, ternyata perbedaan cara berpikir, prioritas finansial, sampai ketimpangan sosial kerap dianggap menyabotase hubungan antarkelas. Tak heran jika banyak orang, termasuk TikToker itu, enggan berelasi dengan orang dari kelas ekonomi-sosial lebih rendah (dating down).

 

 

Berkencan dengan pasangan yang tak setara secara finansial, kata mereka, berpotensi gesekan. Pendapat mereka tak keliru juga, toh saya pernah sepakat dengan opini itu. Namun, setelah lima tahun lebih menjalani hubungan dating down, nyatanya kekhawatiran orang-orang soal gesekan itu tak terjadi. Sebaliknya, ada banyak hikmah yang bisa saya petik dari relasi ini.

Baca JugaJangan Dulu Alergi, Ini 7 Keuntungan Pacaran dengan Feminis

Pola Pikir yang Efisien

Tumbuh di keluarga berada sempat menjadikan saya seseorang yang serba instan. Penghasilan orang tua yang selangit pun menghasilkan pola pikir “money solves everything”.

Dulu, papa saya, sang ATM berjalan, sering memanjakan anak-anaknya dengan berbagai kemewahan—bahkan saat tidak betul-betul diperlukan. Sebelas dua belas, mama pun kerap memanfaatkan uang untuk menyelesaikan masalah, seperti menangani jahitan celana lepas dengan memesan celana bermerek baru, alih-alih menemui penjahit kompleks yang berjarak tidak lebih dari 100 meter dari rumah misalnya.

Apakah masalahnya terpecahkan? Mungkin. Namun yang jelas, metode penyelesaian masalah semacam itu tidak efisien. Tanpa disadari, mereka telah memupuk kebiasaan boros kepada saya dan adik, serta mindset bahwa uang selalu bisa menyelesaikan masalah.

Kebiasaan ini mulanya sempat jadi duri dalam hubungan romantis saya. Seringkali pasangan tepok jidat melihat kebiasaan saya yang sering menghamburkan uang demi makan di café bergengsi ketimbang masak sendiri atau beli di warung makan murah. Pun, saat saya gelap mata membeli baju-baju mahal yang berakhir di gantungan lemari, padahal baju layak pakai saya masih bertumpuk.

Sementara itu, berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja mengajarkan pasangan saya untuk selalu efisien menggunakan uang. Selain itu, tempaan kehidupan pesantren juga membuat ia berpikir dan bertindak efisien.

Jujur, dulu saya sering kesal saat dinasihati oleh pasangan saya untuk berpikir efisien. Namun setelah memahami keuntungan jangka panjangnya, saya sangat bersyukur.

Baca JugaBeri Uang Saku ke Pacar Bukan Standar Hubungan Ideal

Empati adalah Kunci

Salah satu problematika umum kelas menengah-atas adalah kurangnya empati. Bak terperangkap dalam gelembung yang melambung tinggi, banyak orang dari kategori kelas ini ogah mempedulikan problem-problem dari kelompok akar rumput misalnya. Bisa kita lihat hobi para influencers bermasalah yang doyan blunder saat mengomentari isu-isu sosial yang sensitif.

Indra Kenz salah satunya. Influencer yang kini ditahan kepolisian atas kasus skema ponzi tersebut sempat menyulut amarah publik, saat bilang menjadi miskin adalah privilese. Sayangnya, saya pernah menjadi orang yang serupa—walaupun tidak sampai melakukan kejahatan demi kekayaan juga, sih. Namun, harus saya akui betapa tak pekanya saya terhadap keadaan dan perasaan orang lain.

Beberapa tahun silam, saya bertengkar dengan pasangan perkara uang goceng. Singkat cerita, saya hampir memesan tiket bioskop untuk kami berdua di akhir pekan. Sialnya, kelalaian saya terhadap concern pasangan mengenai selisih Rp5.000 harga tiket weekdays dan weekend, membuat ia tersinggung berat. Kalau dipikir-pikir, apa yang salah dengan selisih harga goceng? Namun mengingat kondisi keuangan pasangan saya saat itu yang sedang anjlok-anjloknya, saya jelas kurang empatik. 

Baca JugaDukung dan Dengar Pasangan itu Baik, tapi Kita Bukan Terapisnya

Merendahkan Hati

Tahun 2018 adalah momen di mana saya pertama kali dikenalkan ke keluarga pasangan. Rasa cemas akan dipandang sebagai anak kota congkak oleh mereka pun tak terhindarkan. Ini mengingat keluarga pasangan saya berasal dari etnis Sunda totok yang sederhana dan kekeluargaan.

Bertolak belakang dengan mereka, keluarga saya bisa dibilang agak hedonis. Alih-alih berkumpul penuh canda-tawa sembari ngabotram di saung, quality time kami biasa dihabiskan dengan berekreasi ke pusat-pusat perbelanjaan besar ibu kota, diikuti makan malam di restoran mewah.

Alhasil, saya pun sempat menjadi kikuk saat berhadapan dengan kesederhanaan dan kehangatan keluarga pasangan. Bagaimana tidak? Saya sendiri hampir tidak pernah menjalin komunikasi yang berarti setiap menghabiskan quality time bersama keluarga.

Saya tidak menampik pengalaman memiliki latar belakang ‘kelas atas’ memang menguntungkan di satu sisi. Namun, ternyata esensi berelasi justru saya dapat setelah masuk ke lingkar sosial pasangan.

Dari kelompok pertemanan, keluarga, hingga kolega pasangan, saya belajar hal-hal terbaik dalam hidup terkadang justru jauh dari harta duniawi. Mungkin terdengar klise, tapi saya mengalaminya sendiri, dan saya menyimpulkan, yang saya perlukan justru adalah kesederhanaan dan kerendahan hati.

Memang betul, hubungan yang sehat idealnya tidak serta-merta mengubah saya menjadi orang yang berbeda total. Saya tidak perlu meninggalkan gaya hidup fancy yang familier, pun pasangan tak usah memaksa diri buang-buang uang demi memantaskan diri.

Pada akhirnya, semua kembali kepada kemauan masing-masing pasangan untuk saling belajar, bertoleransi, dan berkompromi. Sebab, bagi saya, hubungan yang baik adalah hubungan yang saling membangun dan memajukan.

Lagipula, saya dan pasangan saya masih bisa menyeimbangkan gaya hidup, seperti hangout ke mal sambil mengendarai motor, lalu makan di warung tenda kok.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jeje Bahri

Jeje Bahri adalah seorang ilustrator dan desainer yang senang melamun dan menghabiskan waktu memandangi lingkungan sekitarnya.