‘Room Tour’ Rumah Nan Mewah di Tengah Pandemi: Tak Sensitif dan Tanpa Empati
Sejumlah orang giat mempertontonkan kemewahan tempat tinggal di saat banyak orang lain berusaha bertahan hidup.
Tak lama setelah acara bincang-bincangnya, The Ellen Show, terhenti akibat pandemi COVID-19, komedian dan pembawa acara Ellen DeGeneres memutuskan mengalihkan program televisi tersebut ke kanal YouTube yang ia garap dari rumah mewahnya.
Dalam videonya, sambil duduk bersantai di ruang tamu, Ellen mengatakan bahwa karantina karena pandemi membuatnya seperti hidup di penjara. Selain tidak bisa ke mana-mana, dia merasa seperti tahanan, memakai baju yang sama sepuluh hari berturut-turut. Ellen juga menyebut hal yang paling kentara baginya adalah karena semua orang di rumahnya adalah gay, seolah ingin menyindir para tahanan di penjara yang berubah menjadi gay karena dikumpulkan dalam satu ruangan dalam waktu yang lama.
Tapi yang dia maksud “penjara” itu adalah rumah nyaman berukuran hektar dengan bangunan megah dan taman nan asri dan luas. Pernyataan yang menyamakan rumah mewah bernilai miliaran dengan penjara memunculkan kecaman dari berbagai pihak. Sebagai tokoh publik, pernyataan Ellen dianggap tidak sensitif dan nir-empati. Banyak orang yang menyayangkan pernyataan tersebut, di saat para tahanan harus bertahan hidup dan menjalani karantina secara berdesak-desakan di penjara tanpa tempat layak, perlindungan memadai, dan terpisah dari keluarganya.
Mungkin Ellen akan lebih kaget lagi jika melihat penjara di Indonesia yang overpopulasi. Jangankan untuk melakukan social distancing, bisa tidur terlentang tanpa bertubrukan dengan badan orang lain pun sudah syukur. Sedangkan Ellen tinggal di “penjara” rasa vila dengan tempat tidur empuk dan beragam fasilitas.
Baca juga: Menikah Saat Pandemi: Adaptasi dan Redefinisi Makna Pesta Pernikahan
Selebgram Pamer Rumah
Kurangnya empati ini juga diperlihatkan oleh Madonna beberapa bulan lalu. Sang diva legendaris itu mengunggah video yang memperlihatkan ia sedang berendam di bak mandi lengkap dengan perhiasan yang menempel di tubuhnya. Ia mengatakan bahwa COVID-19 mengajarkan tentang kesetaraan karena tidak peduli kaya atau miskin, tua atau muda, perempuan atau laki-laki, semuanya berpotensi terinfeksi virus tersebut.
Seperti reaksi terhadap Ellen, Madonna dianggap tidak sensitif karena menyamaratakan risiko semua orang terkena COVID-19. Berbicara dari dalam rumah mewah, ia gagal melihat bagaimana tidak semua orang bisa berdiam di rumah tanpa bekerja. Ada yang terancam mati kelaparan karena tidak punya pekerjaan, ada usaha-usaha kecil yang terancam bangkrut, serta mereka yang tidak punya pilihan selain membahayakan dirinya dengan tetap bekerja keluar rumah selama karantina. Jadi setara dan bebas dari diskriminasi dari mananya?
Sikap Ellen maupun Madonna yang seolah buta melihat privilese yang dimilikinya juga diperlihatkan oleh orang-orang di sekitar kita yang suka pamer di media sosial. Mereka punya rumah bak istana, lengkap dengan taman dan kolam renang, kemudian mengatakan bahwa masa karantina adalah waktunya kita lebih merefleksikan diri dan mendekatkan diri dengan alam. Sayangnya, bagi orang-orang yang tinggal di rumah petak yang saling berimpit satu sama lain, atau di kamar kos sempit, dan hidup dengan ketakutan tak bisa membayar sewa karena kemungkinan kehilangan pekerjaan, narasi “dekat dengan alam” itu sungguh sangat enggak relateable.
Baca juga: Warisan, Kekuatan Sedekah, dan Kita
Entah mengapa, situasi pandemi yang kian hari makin mencekik masyarakat ekonomi kelas bawah ini justru dijadikan momentum oleh para crazy riches untuk memamerkan tempat tinggal mereka. Ini berlaku di banyak negara. Di Cina, misalnya, anak-anak konglomerat tanpa segan memamerkan deretan koleksi mobil mewah yang ada di garasi rumahnya yang mulai berdebu setelah berbulan-bulan tidak dipakai.
Di Indonesia, istilah room tour para anak “sultan” turut jadi tren di TikTok dan Instagram. Konten-konten yang memperlihatkan seberapa besar rumah, atau seberapa mahal bon makanan di restoran mewah jadi hal yang sering dipamerkan. Akun TikTok @SiscaKohl, misalnya, sempat viral beberapa waktu lalu setelah menjelaskan alasannya sering memasak di kamar dibanding di dapur karena rumahnya terlampau besar dan dapurnya kejauhan. Ia sampai mendemonstrasikan jarak antara kamar dengan dapur yang memerlukan waktu beberapa menit untuk sampai.
Lain halnya dengan akun @SetyaNugraha21 yang memperlihatkan perjalanannya mengambil pesanan antar makanan ke rumah menggunakan mobil golf, saking luasnya rumah tempat tinggalnya. Kedua pemilik akun itu sama-sama bersikap seolah-olah pergi ke dapur atau mengambil makanan di gerbang itu sebuah perjuangan.
Situasi pandemi yang kian hari makin mencekik masyarakat miskin dijadikan momentum oleh para crazy riches untuk memamerkan kekayaan mereka.
Tak Sensitif dan Tak Berempati
Di Twitter, dengan audiens yang lebih kritis (baca: kejam), konten-konten semacam itu biasanya mendapat kecaman. Baru-baru ini, ada video TikTok seorang anak miliarder yang terbang ke Singapura hanya untuk membeli tas Louis Vuitton. Setelah belanja, bungkusnya langsung ia buang ke tempat sampah begitu saja. Temannya yang ikut mengantar mengatakan bahwa “teman sultannya” itu unik. Unik atau pelit menghindari pajak cukai ya?
Sialnya, meski banyak yang mengkritik, konten semacam ini digandrungi warganet. Mungkin memang mentalitas feodalistis masyarakat kita masih belum sepenuhnya hilang, buktinya anak orang kaya seringkali disebut sultan dan dielukan banyak orang di media sosial, seraya menambahkan narasi kemiskinan kehidupan mereka sendiri.
Kelihatannya ada semacam kebanggaan ketika menunjukkan betapa kayanya seseorang, apalagi jika dia adalah teman kita sendiri. Orang lebih senang mengakui kesengsaraannya dengan melihat melimpahnya harta orang lain ketimbang mengkritik mereka yang kurang sensitif memamerkan kekayaan di tengah situasi yang serba sulit ini.
Secara psikologis, tidak adanya sensitivitas orang-orang kaya yang suka pamer di media sosial dikategorikan sebagai self-absorption. Menurut Profesor Leon F. Seltzer dari Cleveland State University, Amerika Serikat, secara umum self-absorption ini identik dengan sifat mementingkan diri sendiri, serta mengesampingkan perasaan orang lain atau orang-orang di sekitarnya.
Baca juga: Sialnya Lulus Kuliah Saat Pandemi, Nantikan Pekerjaan yang Tak Pasti
Mereka biasanya enggan menunjukkan empati kepada hal-hal di luar kepentingan mereka, atau hal-hal yang tidak berdampak kepada kehidupan mereka secara personal. Karena itu, orang-orang dengan kecenderungan self-absorption biasanya jarang memikirkan perasaan orang lain. Kalaupun mereka memberikan empati atau simpati, akan dibarengi dengan tujuan tertentu untuk kepentingan diri mereka sendiri, termasuk popularitas di media sosial.
Ketika ada pihak yang menegur mereka dengan sebutan tidak sensitif karena memamerkan kekayaan di tengah kesulitan, alih-alih melakukan refleksi diri, biasanya mereka marah dengan mengatakan bahwa orang bisa bebas tidak melihat apa yang mereka unggah di media sosial. Padahal algoritma media sosial pasti akan menuntun audiens pada hal-hal yang ramai diperbincangkan.
Menurut Seltzer, salah satu cara yang bisa dilakukan agar tak terlalu mementingkan diri sendiri adalah dengan lebih memperhatikan sekitar. Juga sesekali berefleksi, apa yang bisa dilakukan untuk orang-orang di sekeliling kita.
Mungkin sudah saatnya pula kita berhenti mengelu-elukan, atau memberi panggung dan screen time, pada orang-orang yang gembar-gembor soal kekayaan di media sosial. Menjadi orang yang tidak sensitif itu pilihan bukan tuntutan. Penting untuk memiliki empati ketika kita membagikan sesuatu bagi orang di sekitar kita. Saat situasi sedang begini, rasa empati dan menolong besar artinya bagi banyak orang yang sedang berusaha bertahan hidup di tengah kesulitan yang belum jelas akhirnya di mana.