Dear Cowok, Setop Budaya Julid pada Fangirl!
Susahnya jadi perempuan, demi bahagia menikmati karya idola saja masih harus dapat sindiran dari laki-laki.
Awal 2021, beranda Twitter saya dipenuhi oleh kekesalan teman-teman ARMY (fans BTS). Penyebabnya gara-gara cuitan lelaki yang nyinyir soal hobi perempuan yang mengoleksi photocard idol alias kertas ganteng. Laki-laki ini bilang, ngapain sih perempuan harus merogoh kantong lebih dalam sampai ratusan ribu cuma demi beli kertas yang enggak ada gunanya? Kenapa enggak memilih untuk mencetaknya sendiri?
Tak hanya perihal koleksi photocard idol, sebagai fangirl, saya kesal melihat mereka mengomentari perempuan hobi beli album idol K-Pop. Para lelaki ini berujar, “Buat apa, sih beli album mahal-mahal? Mending duitnya ditabung buat naik haji atau umroh.”
Sungguh lucu ya para laki-laki ini. Lucu karena mereka punya energi berlebih untuk sinis pada perempuan yang menghabiskan uangnya untuk membahagiakan diri sendiri. Saya yakin, tanpa perlu dikuliahin ndakik-ndakik soal financial planning dan hitung-hitungan matematis versi mereka, para fangirl sudah punya pertimbangan sendiri. Yang lebih kocak, mereka enggak paham, membeli album idolanya adalah salah satu cara fangirl untuk menghargai karya musiknya secara legal.
Baca juga: Fanatisme atas K-Pop dan Opresi terhadap Perempuan
Standar Ganda Masyarakat
Contoh ilustrasi kasus di atas membuat saya makin yakin, masyarakat memiliki standar ganda soal antusiasme perempuan dan laki-laki. Perempuan penggemar apalagi dalam fandom, lebih rentan dihakimi dan dicemooh dibanding fanboy. Ini bukan pepesan kosong. Setidaknya ada sejumlah indikasi kenapa saya mengklaim hal tersebut.
Pertama, saya melihat ada tuntutan agar semua kesenangan perempuan bisa bermanfaat dan menyenangkan semua orang. Dalam konteks ini, saya sudah sering melihat bagaimana laki-laki mempertanyakan manfaatnya fangirl yang memuja idolanya, seperti BTS misalnya. Biasanya, para lelaki ini akan membawa narasi-narasi besar, termasuk, jika gandrung pada idola Korea, memang apa untungnya untuk negara? Ketika ada problem sosial politik, fangirl pula yang dikambinghitamkan untuk bergerak mencari solusi. Seolah-olah, eksistensi mereka tak ada gunanya jika tak berbuat sesuatu untuk selain menyenangkan dirinya.
Seorang teman bercerita pada saya, ketika ia mengajar mahasiswa soal aktivisme penggemar, ia diberondong pertanyaan, seperti, apa kontribusi ARMY untuk negara? Haduh, malih, saya jadi enggak habis pikir, memang kalian para lelaki yang mengagungkan maskulinitas dengan olahraga yang menurut kalian macho seperti bola, apa sumbanganmu buat negara? Kalau mau mengkritik, harus seimbang dong. Jangan melulu fangirl saja yang jadi bulan-bulanan.
Kedua, kesenangan perempuan memang ajek dihakimi seenak jidat oleh sebagian lelaki. Saya punya pengalaman pribadi soal ini. Pada (10/6) lalu, saya diundang menjadi pembicara di salah satu acara TV yang ngomongin heboh BTS Meal (kerja sama McD dan BTS). Dalam sesi tanya jawab, saya ditanya apakah menunggu berjam-jam sebelum antre membeli BTS Meal. Ketika saya menjawab, saya menunggu sekitar kurang lebih 15 menit, penyiar (laki-laki) berkata, “Oh sebentar ya” dengan nada kecewa. Responsnya ini relatif aneh buat saya, seakan-akan dia tak percaya fans garis keras seperti saya tak melakukan hal-hal yang mengarah pada fanatisme dan histeria.
Dari situ pertanyaan-pertanyaan lain yang menyudutkan saya terus dilontarkan, mulai dari seperti apa yang membuat BTS Meal berbeda hingga memicu histeria di Indonesia, bagaimana respons saya melihat bungkus BTS Meal yang dikoleksi dan dijual kembali dengan harga fantastis. Tak hanya itu, saya juga dipojokkan seolah-olah berburu BTS Meal membuat nasionalisme saya sebagai warga negara Indonesia otomatis terkikis.
Baca juga: BTS ARMY: Perempuan Cuma Ingin Bebas Berekspresi
Pertanyaan besar di kepala saya, kenapa cuma perempuan yang dipojokkan atas antusiasme mereka. Sementara laki-laki tidak. Mirip seperti kasus kehebohan McD dan Traviss Scott Meal. Sebagai informasi, bungkus dari Travis Scott Meal juga dijual kembali dengan harga fantastis, bahkan para penggemar Travis Scott ini sempat berulah. Ada yang mencuri baliho Travis Scott di gerai McDonald serta bikin gaduh. Pasalnya, para fans Travis Scott sengaja berkerumun antre membeli Travis Scott Meal tanpa persetujuan dari Wali Kota Downey kala kasus COVID-19 sedang meningkat.
Namun, dengan mayoritas penggemar laki-laki, antusiasme mereka tidak begitu dihakimi oleh masyarakat dan dilihat sebagai sebuah kewajaran. Buktinya, jika kita mengecek kata kunci hysteria di Google untuk Travis Scott Meal, jumlahnya jauh lebih sedikit dengan pemberitaan media lokal mengenai BTS Meal yang selalu disematkan dengan kata yang sama.
Perempuan Punya Selera Rendahan (Menurut Laki-laki)
Sebagai born to be fangirl, saya sudah melalang buana ke berbagai fandom. Saya sudah mencicipi bagaimana rasanya berada dalam fandom mayoritas laki-laki (band Rock dan manga/ anime shounen) dan mayoritas perempuan (boyband). Namun satu hal yang selalu membuat saya tidak habis pikir adalah dimanapun perempuan berada, mereka selalu diposisikan lebih rendah dari para laki-laki penggemar. Mereka dilihat tidak mengerti apa-apa dan menyukai sesuatu dengan alasan yang dangkal.
Di komunitas penggemar manga/ anime shounen saja misalnya, saya bahkan pernah mendapatkan komentar merendahkan dari laki-laki dalam fandom manga/anime Jujutsu Kaisen. Laki-laki ini mengatakan, saya dan perempuan lain yang menyukai Jujutsu Kaisen pasti mengikuti manga/ anime ini hanya karena karakternya ganteng-ganteng saja dan kami horny melihat ketampanan mereka.
Baca juga: Magdalene Primer: Perbedaan Misogini dan Seksisme
Di lain kesempatan, saya mendapatkan komentar lain tentang bagaimana perempuan tidak akan pernah mengerti kedalaman cerita manga/ anime shounen. Laki-laki ini berpikir perempuan itu cuma bisa paham anime/ manga ringan yang tidak mempunyai plot kompleks atau anime/ manga shoujo yang cheesy dan dikhususkan buat perempuan. Soal ini, teman perempuan saya yang penggemar Star Trek pernah dikata-katai oleh sesama Trekkie laki-laki bahwa ia buta dan sekadar ikut-ikutan jadi fangirl.
Pengalaman saya dan teman saya ini menarik karena pernah diteliti oleh Stephanie Orme, akademisi dari Emmanuel College. Dalam tulisannya, Femininity and fandom: the dual-stigmatisation of female comic book fan (2016), ia menyebutkan perempuan penggemar dalam fandom mayoritas laki-laki semuanya pernah distigma sebagai fake geek girl. Mereka dilihat tidak memiliki cukup pengetahuan untuk memahami dan menghargai komik, karenanya dianggap menyukai komik karena alasan yang dangkal.
Sama halnya dengan bagaimana laki-laki suka nyinyirin perempuan yang suka boyband. Sudah hafal sekali saya bahan nyinyiran mereka tidak akan jauh-jauh dari “Emang lo pada paham apa yang mereka nyanyiin apa? Paling cuma karena fisiknya aja.”
Kalau sudah ketemu komentar seperti itu, rasanya saya cuma mau balas berkomentar, “Ini sudah abad ke-21, lo enggak tau tinggal cari di Google. Enggak butuh jadi lelaki untuk dianggap serba tahu semua hal.”
Kelak di masa depan, saya berharap para lelaki ini bisa belajar untuk tak menghakimi kesenangan perempuan. Sebab, apa yang mereka lakukan adalah bentuk misogini terselubung yang kadang tak disadari. Semoga.