Dear Mama-mama Mahasiswa S2 dan S3, Kamu Hebat, Kamu Tak Sendiri
Riset kami menawarkan solusi untuk ibu-ibu yang tengah menempuh pendidikan S2 dan S3 tapi masih tersandera beban domestik.
Jamak dipahami, menempuh pendidikan master dan doktoral bisa membantu meningkatkan karier perempuan. Tak hanya itu, mereka yang memutuskan untuk sekolah lagi diyakini mampu mendorong perubahan dalam masyarakat, mulai dari perlindungan hak asasi manusia, pelestarian lingkungan dan kesetaraan gender hingga solidaritas agama, ras dan budaya.
Namun, mahasiswa perempuan yang memiliki anak menghadapi tantangan khusus ketika harus menempuh pendidikan tinggi.
Riset yang dilakukan di Uni Emirat Arab pada 2017 menjelaskan, peran ganda seorang ibu dan mahasiswa menambah kompleksitas dalam studi karena mereka harus memastikan peran mereka sebagai orang tua, mahasiswa, bahkan perempuan karier seimbang.
Penelitian terbaru kami tahun lalu mengonfirmasi temuan ini.
Survei kami melibatkan 406 ibu-mahasiswa yang menempuh pendidikan pascasarjana (S2 dan S3) baik di Indonesia maupun di luar negeri. Kami menemukan tantangan sama yang harus dihadapi oleh para perempuan ini. Mereka harus menjalankan peran sebagai seorang mahasiswa sekaligus pengasuh utama bagi anak-anak seperti yang diharapkan dalam masyarakat.
Namun riset kami juga menawarkan solusi.
Baca juga: Pendidikan Perempuan untuk Siapa?
Tantangan bagi Ibu-Mahasiswa
Tantangan yang dihadapi oleh ibu-mahasiswa sangat mirip dengan yang dihadapi oleh akademisi perempuan atau perempuan pekerja kantoran.
Para ibu-mahasiswa ini menghadapi tugas-tugas akademik yang sangat memakan waktu dan tenaga sekaligus tanggung jawab untuk merawat dan membesarkan anak.
Tugas-tugas ini bahkan lebih menantang bagi mereka yang menempuh pendidikan di luar kota atau di luar negeri yang menempatkan mereka jauh dari sistem dukungan yang selama ini mereka dapatkan. Dukungan ini berasal dari orang-orang terdekat seperti pasangan, orang tua, teman, atau anggota keluarga besar.
Kurangnya dukungan dapat menyebabkan kelelahan mental dan fisik karena perempuan masih harus menghadapi hegemoni maskulinitas dan patriaki dalam sistem pendidikan tinggi.
Dalam sistem patriarkis, akademisi perempuan cenderung menghadapi diskriminasi pekerjaan, yang menempatkan mereka pada posisi yang tidak setara dengan kolega lelaki mereka.
Perlunya Penitipan Anak yang Terjangkau
Temuan penelitian kami menggarisbawahi pentingnya sistem dukung untuk membantu ibu-mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana.
Responden kami melaporkan, pasangan mereka memegang peran signifikan dalam kesuksesan studi mereka. Bantuan mereka dapat berupa berbagi tanggung jawab pengasuhan anak atau berpartisipasi dalam relokasi untuk studi lanjut.
Meskipun demikian, tidak semua ibu-mahasiswa ditemani oleh pasangan mereka. Jadi, mereka menghadapi pilihan sulit untuk menjadi orang tua tunggal atau berpisah dari keluarga mereka. Kedua pilihan tersebut tidaklah mudah.
Untuk mengatasi permasalahan ini, para ibu-mahasiswa dapat memanfaatkan jasa pelayanan penitipan anak atau childcare.
Baca juga: Benarkah Perempuan Berpendidikan Lebih Tinggi Selalu Susah Menikah?
Namun, jasa ini cenderung sangat mahal, khususnya di luar negeri. Biaya penitipan anak dapat mencapai hingga lebih dari Rp10 juta per bulan.
Sebagian besar dari responden kami melaporkan bahwa mereka tidak mampu membayar biaya ini karena biaya pengasuhan anak tidak termasuk dalam komponen tunjangan beasiswa mereka. Akibatnya, sebagian besar ibu-mahasiswa harus menggunakan dana tabungan pribadi atau bekerja sambilan, karena sebagian besar dari responden memiliki penghasilan keluarga di bawah Rp100 juta per tahun.
Solusi Potensial
Riset kami merekomendasikan pendekatan terintegrasi yang melibatkan universitas, penyedia beasiswa dan negara tujuan studi untuk membantu para ibu-mahasiswa.
Pertama, kampus tujuan perlu memastikan prosedur dan panduan kebijakan kampus yang ramah ibu.
Sebagai contoh, responden kami yang studi di luar negeri melaporkan bahwa dosen dan supervisor sudah cukup empatik dan memahami peran ganda para ibu-mahasiswa, namun hal ini masih dianggap langka di Indonesia.
Ketersediaan fasilitas childcare dan fasilitas ramah ibu dan anak yang terjangkau dan memadai di kampus, khususnya di Indonesia, juga dianggap sangat minim.
Kedua, pemberi beasiswa perlu memperhitungkan komponen biaya layanan childcare sebagai bagian dari tunjangan khusus ibu-mahasiswa. Hal ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengasuhan anak yang sering tidak terjangkau.
Pemberi beasiswa juga perlu memperpanjang batasan umur dalam proses melamar beasiswa untuk perempuan yang mengalami interupsi karier karena hamil dan melahirkan.
Ketiga, negara tujuan studi perlu mengidentifikasi kebutuhan unik ibu-mahasiswa, misalnya cuti hamil dan cuti melahirkan.
Baca juga: Beban Timpang antara Ibu dan Ayah dalam Pendampingan Belajar dari Rumah
Universitas, pemberi beasiswa, dan pemerintah negara tujuan studi juga perlu memastikan bahwa subsidi terhadap fasilitas childcare bisa didapatkan oleh semua ibu-mahasiswa, apapun jenis beasiswanya. Kebijakan standar dan inklusif perlu dirumuskan untuk memastikan keringanan biaya bagi pengasuhan, sekolah, dan layanan kesehatan anak.
Pendekatan terintegrasi bagi ibu-mahasiswa penting untuk menciptakan kesetaraan di ranah riset, pendidikan tinggi dan pembuatan kebijakan bagi akademisi perempuan.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Ilustrasi oleh Karina Tungari