Lifestyle

Charles & Keith, Netizen Julid, dan Standar Kemewahan yang Tak Sama

Belakangan, netizen merundung Zoe Gabriel, perempuan asal Singapura yang posting kebahagiaannya punya tas Charles & Keith. Padahal, standar kemewahan bersifat subjektif.

Avatar
  • January 17, 2023
  • 6 min read
  • 672 Views
Charles & Keith, Netizen Julid, dan Standar Kemewahan yang Tak Sama

Ketika membagikan kebahagiaannya di media sosial, Zoe Gabriel, 17 justru dirundung netizen. Awalnya Zoe mengunggah video di TikTok, tentang tas baru bermerek Charles & Keith yang dibelikan sang ayah. Zoe menyebutkan, tas seharga 79,90 dolar Singapura–kurang lebih 900 ribu rupiah–tersebut adalah tas mewah pertamanya.

Baca Juga: Pamer Rumah Mewah Tak Empati di Tengah Pandemi

 

 

“My first luxury bag,” tulis Zoe dalam video.

Kemudian, netizen ramai-ramai berkomentar, Charles & Keith bukanlah merek mewah. Berbeda dengan Louis Vuitton, YSL, dan Celine. Seperti netizen dengan handle @cressy yang mengatakan, “Who’s gonna tell her?”

Membaca komentar @cressy, Zoe menanggapinya lewat video khusus. Dalam video tersebut, Zoe menceritakan latar belakang keluarganya. Ia menggambarkan kondisi finansial mereka, dan menjelaskan mengapa Charles & Keith dikategorikannya sebagai tas mewah.

“Uang jadi topik pembicaraan yang bikin aku enggak nyaman, karena aku tumbuh di keluarga yang enggak punya banyak uang,” tutur Zoe.

Lalu, Zoe mengatakan, sewaktu kecil ia hanya sesekali membeli barang baru–termasuk roti–karena bagi keluarganya termasuk kemewahan.

“Buat kamu, tas seharga 80 dolar bukan barang mewah. Tapi buatku dan keluargaku, itu mewah banget,” kata Zoe. “Aku bersyukur banget, ayahku bisa membelikannya. Dia bekerja keras untuk itu.”

Tanggapan Zoe menandaskan, kemewahan merupakan sesuatu yang bersifat subjektif. Seseorang dengan latar belakang ekonomi menengah ke atas, mungkin akan menganggap sebuah barang tidak begitu bernilai tinggi–bila dibandingkan dengan yang berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah.

Lantas, apakah ada indikator lain yang dapat mendefinisikan kemewahan?

Kemewahan Bersifat Subjektif

Jika melihat industri brand mewah, mereka mengartikan kemewahan sebagai sesuatu yang eksklusif atau sangat langka. Pasalnya, ketika barang tidak lagi eksklusif, merek-merek mewah akan kehilangan kemasyhurannya.

Penulis Erwan Rambourg mengklasifikasikan barang mewah ke beberapa kategori. Dalam The Bling Dynasty: Why the Reign of Chinese Luxury Shoppers Has Only Just Begun (2014), ia menentukannya berdasarkan aksesibilitas dan harga produk.

Pertama, everyday luxury, yakni barang-barang di bawah US$100 dolar atau Rp1,5 juta. Misalnya Swatch dan Charles & Keith. Kedua, affordable luxury, barang-barang seharga US$100-300–kisaran Rp1,5 juta-4,5 juta. Misalnya, Coach, Tory Burch, dan Marc Jacobs.

Ketiga, accessible core, dengan harga US$300-1.500–atau Rp4,5 juta-22,6 juta. Contohnya adalah Tod’s, Prada, Gucci, dan Louis Vuitton. Keempat, premium core, yaitu barang-barang dengan harga jual US$1.500-5.000, atau berkisar Rp22,6 juta-75 juta. Misalnya Bulgari, Tag Heuer, dan Chopard.

Kelima, super premium, yakni seharga US$5.000-50.000. Setara dengan Rp75 juta-755 juta. Hermès, Bottega Veneta, dan Patek Philippe termasuk dalam kategori ini.

Namun, secara harfiah, kemewahan menggambarkan kehidupan yang nyaman dan serba berlebih. Jika merujuk pada barang, ini adalah sesuatu yang memberikan kesenangan dan kenyamanan tapi tidak diperlukan, sebagaimana didefinisikan Merriam-Webster.

Penjelasan itu semakin memperkuat, tidak ada tolok ukur untuk mendefinisikan kemewahan. Ketika tinggal di luar negeri, menemukan tempe mungkin enggak semudah di Indonesia, membuat makanan itu jadi sesuatu yang mewah. Sementara bagi pekerja, memiliki waktu luang untuk me time mahal harganya. Terutama di tengah gempuran hustle culture dan berbagai hal yang perlu diprioritaskan.

Artinya, setiap orang memiliki definisi kemewahan yang berbeda, termasuk dalam mengategorikan barang. Ini dilatarbelakangi oleh situasi dan pengalaman yang berbeda. Tidak setiap orang mampu membeli barang yang sama, ataupun merasakan kebahagiaan dengan memiliki barang tersebut.

Namun, ada juga yang menilai barang mewah sebagai kebutuhan. Dari segi elastisitas pendapatan, permintaan barang mewah akan meningkat seiring bertambahnya penghasilan.

Berdasarkan klasifikasi Rambourg, enggak salah kalau Zoe menyebutkan tas Charles & Keith miliknya sebagai barang mewah. Lagi pula, ia menyebut brand tersebut mewah bukan berdasarkan hierarkinya dalam industri, melainkan subjektif dari latar belakang ekonomi keluarga.

Peristiwa itu seharusnya mengingatkan kita, untuk setop mengklasifikasikan kemewahan dan memaksakan standar terhadap orang lain.

Baca Juga: Aku Pamer, Maka Aku Ada: Koar-koar Dahulu, Prestasi Kapan …

Di Balik Netizen yang Salty dengan Kebahagiaan Orang Lain

Selain subjektivitas, ada alasan lain yang melatarbelakangi komentar salty netizen di postingan Zoe. Salah satunya adalah sudut pandang materialistis yang dimiliki manusia.

Tak dimungkiri, sebagian orang membangun dan mengekspresikan identitasnya dengan materi. Hal itu direpresentasikan dengan berupaya memiliki barang-barang merek tertentu, yang dinilai dapat membentuk citra ideal di masyarakat dan melambangkan kesejahteraan.

Dalam riset Material and Consumer Identities (2011), peneliti asal Inggris, Helga Dittmar menyebutkan, sejumlah orang menggunakan barang atau materi, untuk memperluas identitas diri. Sebab, barang tertentu bisa membuat seseorang relate dengan lingkungan sekitarnya. Sekaligus membantu mempertahankan identitas, ketika melalui perubahan dalam hidup.

Hal itu kemudian menciptakan standar diri, dalam mengategorikan kemewahan. Alhasil, ketika orang lain menunjukkan barang mewah versinya, mereka menyanggah lantaran tidak sesuai dengan tolok ukurnya.

Selain itu, terdapat emotional invalidation yang berperan dalam cara netizen menanggapi konten Zoe. Emotional invalidation merupakan istilah ketika mengabaikan atau menghakimi perasaan, pikiran, perilaku, dan emosi seseorang. Dalam hal ini, netizen menghakimi kebahagiaan Zoe, seolah alasannya untuk bahagia tidak tepat, hanya karena menurut mereka Charles & Keith bukanlah barang mewah.

Dalam tulisannya di Psych Central, penulis Brittany Carrico menjelaskan, emotional invalidation memiliki dampak bagi seseorang. Di antaranya memengaruhi aktivitas, merasa tidak berharga dan irasional, self-doubt, meragukan dan menyembunyikan emosinya, hingga memiliki masalah kesehatan mental.

Penjelasan Carrico mengingatkan saya dengan Zoe, ketika merespons komentar @cressy lewat sebuah video. Ia terlihat sedih dan tertekan, yang juga disampaikan Zoe dengan kalimat: “Komentarmu menunjukkan betapa ignorant-nya dirimu karena kekayaanmu. Aku enggak percaya, dibenci karena tas yang sangat aku sukai.”

Sedikit banyak, nyinyiran netizen berdampak bagi Zoe, sampai ia harus menjelaskan kondisi finansial keluarganya. Namun, perlu diketahui netizen yang nyinyir juga melontarkan komentarnya bukan tanpa alasan.

Dalam artikel yang sama, Carrico menyebutkan emotional invalidation terjadi karena seseorang tidak dapat merespons emosi lawan bicaranya. Ini dapat disebabkan ketika ia memiliki permasalahannya sendiri, atau tidak tahu bagaimana harus merespons.

Baca Juga: Kado Tepat untuk Si Dia: Beratnya Tekanan Belanja demi Asmara

Sementara alasan lainnya, adalah tidak dapat berempati dan memahami orang lain. Situasi ini juga bisa terjadi, ketika seseorang menganggap emosi yang dirasakan orang lain membuatnya tidak nyaman, lantaran ada kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi.

Jika mengembalikan konteks pada netizen yang julid dengan Zoe, mungkin sebagian dari mereka memang tidak bisa berempati. Atau tidak senang melihat kebahagiaan yang Zoe rasakan, sehingga menginvalidasi emosi perempuan 17 tahun tersebut.

Terlepas dari alasan netizen, tidak seharusnya kita menghakimi kebahagiaan orang lain, hanya karena tidak sesuai dengan standar yang dimiliki.  Rasanya tepat meminjam kalimat yang diucapkan Taylor Swift, dalam wawancaranya di BBC Radio 1 Live Lounge Month pada 2019, untuk menentang netizen yang salty dengan perbedaan standar kemewahan.

“I don’t think you should ever have to apologize for your excitement. Just because something is cliche, doesn’t mean it’s not awesome. The worst kind of person is someone who makes someone feel bad, dumb, or stupid for being excited about something.”


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *