December 5, 2025
Issues Politics & Society

Kami Turun ke Jalan karena Kami Marah: Inklusif di Tengah Gempuran Rezim Opresif

Massa aksi aliansi perempuan Indonesia mengingatkan kita, semua orang–dari segala lapisan masyarakat sedang marah, dan tetap inklusif di tengah gempuran rezim opresif.

  • September 8, 2025
  • 6 min read
  • 3569 Views
Kami Turun ke Jalan karena Kami Marah: Inklusif di Tengah Gempuran Rezim Opresif

“Negara lupa, bahwa yang ia makan pajak LGBT juga!” ucap Echa Waode, dari atas mobil komando, saat menghadiri Aksi Protes Perempuan Indonesia: Perempuan Melawan Kekerasan Negara, di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (3/9).

Mengenakan kaos pink sebagai tanda perlawanan, Wakil Ketua dan Sekretaris Umum Arus Pelangi itu mengkritik pemerintah, yang menikmati fasilitas mewah dari pajak yang dibayar masyarakat. Sementara masyarakat berada di situasi terhimpit untuk bertahan hidup. Belum lagi dunia kerja yang diskriminatif terhadap queer, membuat mereka semakin sulit mencari pekerjaan karena perusahaan menghakimi identitas gender dan orientasi seksual, bukan menilai keahlian bekerja.

“Setelah putus sekolah dan nggak punya uang, aku kerja sebagai pekerja rumah tangga. Cuma dibayar Rp60 ribu per minggu,” cerita Echa pada Magdalene.

Pengalaman Echa saat berusia belasan tahun itu, memotivasinya untuk berorganisasi dan aktif menyuarakan hak-hak queer agar tak ditinggalkan. Salah satunya lewat aksi, termasuk yang digelar oleh Aliansi Perempuan Indonesia (API) ini.

Aliansi yang terdiri dari 94 organisasi dan media itu, menuntut berbagai kebijakan pemerintah dan perilaku pejabat yang tak sesuai dalam menjalankan konstitusi negara. Di antaranya kebutuhan hidup semakin tinggi dengan upah yang semakin rendah, pemangkasan anggaran, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak. Kemudian anak-anak yang keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG), besarnya tunjangan DPR, polisi yang melindas Affan Kurniawan, dan perilaku represif oleh aparat penegak hukum.

Aksi massa tersebut dihadiri oleh ratusan masyarakat dari berbagai latar belakang: Perempuan, minoritas gender dan seksual, orang disabilitas, pekerja kampus, masyarakat adat, dan buruh. Di bawah terik matahari, mereka mengungkapkan kemarahan terhadap kondisi negara.

Baca juga: SEAblings: Saat Kirim Makanan Jadi Simbol Solidaritas Warga Asia Tenggara

Kemarahan Masyarakat terhadap Negara

Setibanya di depan Gedung DPR RI, Dhede, 37, menuju ke sisi kiri mobil komando yang terletak di depan barisan. Area tersebut merupakan ruang yang disediakan API untuk orang disabilitas, agar lebih aman dan bisa saling melindungi. Salah satu panitia juga menghampiri Dhede, memberikan pita berwarna biru untuk diikatkan di lengan, sebagai identifikasi bagi orang disabilitas.

“Disabilitas itu kan nggak semuanya kelihatan. Ada disabilitas intelektual dan mental—kayak aku. Jadi pita ini memudahkan penyelenggara aksi untuk mendeteksi,” tutur Dhede.

Selama menghadiri aksi, Dhede merasa bisa mengekspresikan tuntutannya dengan lantang dan nyaman, karena orang disabilitas diberikan ruang untuk bersuara. Ia menyampaikan kekecewaan terhadap pemerintah, yang memangkas anggaran Komisi Nasional Disabilitas (KND) menjadi Rp500 juta, sedangkan anggota DPR menerima tunjangan sekitar Rp100 juta.

Padahal, dampaknya orang disabilitas terhambat dalam memberikan penanganan kasus kekerasan. Akses terhadap psikolog, psikiater, dan untuk visum pun terbatas. Belum lagi, saat ini mereka sedang berupaya untuk mendapatkan konsesi—pembebasan harga untuk mengakses pendidikan, transportasi, sembako, perumahan, dan utilitas perumahan.

Dhede pun menegaskan, kesejahteraan masyarakat tak akan terwujud selama negara masih menggelontorkan dana, untuk kepentingan segelintir pihak: Pejabat, oligarki, dan aparat penegak hukum. Keuntungan milik penguasa ini membuat Dhede geram dan berusaha memperjuangkan haknya. Apalagi, negara merespons kritik dari masyarakat dengan membungkam dan mengkriminalisasi warga—seperti terjadi pada Direktur Lokataru Foundation Delpedro Marhaen, awal pekan ini.

Baca juga: Angkat Sapumu, Saatnya Bersih-bersih Negara yang Kotor

Kemarahan terhadap tindakan represif juga dialami Ajeng, 25, yang turut hadir dalam aksi massa yang diselenggarakan API. Sebagai kelas menengah, Ajeng merasa hidupnya semakin terimpit di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, karena tekanan dari berbagai sisi: Sempitnya lapangan kerja, biaya hidup yang semakin tinggi, dan represi terhadap kebebasan berekspresi.

“Rezim ini maskulin banget, sangat militeristik, dan menggunakan kekerasan. Kebutuhan kelompok rentan jadi nggak pernah diperhatikan,” tuturnya. 

Lebih dari itu, Ajeng khawatir akan kehilangan pekerjaan, apabila pemerintah terus bertindak represif. Sebab, pekerjaannya berkaitan dengan isu ruang sipil. Sementara Ajeng harus memenuhi kebutuhan hidup yang mencapai 60 persen dari penghasilan.

Lain lagi dengan Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos. Kegeramannya hari ini merupakan akumulasi sejak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020. Kemudian penerapan social distancing selama pandemi Covid-19 yang tak mempertimbangkan buruh industri padat karya, rencana kenaikan pajak menjadi 12 persen, rendahnya pendapatan yang diterima masyarakat, dan pemerintah yang tak mendengarkan rakyat.

“Makanya pas orasi, saya mendesak pemerintah supaya menjawab kritik masyarakat dengan perbaikan. Bukan mengkriminalisasi,” kata Nining.

Ia teringat pada Senin, (25/8) lalu. Sekitar pukul dua siang, Nining yang melewati Slipi, Jakarta Barat, melihat polisi menembakkan gas air mata pada masyarakat yang melakukan aksi. Nining juga mengkritisi respons DPR yang kesannya terbuka dengan aspirasi masyarakat, tetapi realitasnya masyarakat justru menerima ancaman.

“Jadi yang bikin kerusuhan siapa? Wakil rakyat. Perilaku mereka merendahkan masyarakat, padahal menikmati fasilitas dari pajak kita. Gimana masyarakat nggak marah?” lanjut Nining.

Melihat respons pemerintah yang belum menyikapi tuntutan masyarakat dengan serius, Nining berharap pemerintah kembali menjalankan mandatnya sesuai konstitusi negara dan tak bersikap antikritik.

Sedangkan Ajeng lebih berharap pada masyarakat ketimbang negara. Ia menekankan pentingnya solidaritas dan saling jaga, seperti yang selama ini dilakukan, dalam menghadapi rezim yang bebal.

Solidaritas itu Ajeng rasakan selama menghadiri aksi massa bersama API. Ia merasakan bagaimana sesama masyarakat dan penyelenggara saling menjaga, untuk memastikan keamanan. Misalnya penyediaan pos laporan kekerasan seksual, membuat zona bebas rokok, menyusun mitigasi risiko, dan koordinator lapangan yang rutin keliling untuk mengingatkan penjagaan barisan.

“Ini yang bikin aksinya kondusif banget dan aku merasa aman,” ucap Ajeng.

Baca juga: Dear Pak Prabowo, Hukum Kita Tidak Mengenal Aturan Demo Harus Izin Karena…

Pentingnya Aksi Massa yang Inklusif

Menghargai keragaman merupakan prinsip bagi API, karena isu perempuan adalah isu interseksional. Perempuan juga bagian dari masyarakat adat, queer, disabilitas, dan kelas pekerja. Ketua Serikat Pekerja Kampus Dhia Al Ayun menuturkan, keragaman ini kondusif dan inklusif.

“Semua kalangan diberikan kesempatan berbicara. Ini menunjukkan bagaimana masyarakat seharusnya didengar, karena setiap orang punya aspirasi,” ujar Dhia.

Hal itu yang disadari Echa dan Dhede—yang terlibat sebagai tim keamanan dan tim substansi aksi massa tersebut. API menyadari pentingnya inklusivitas dalam menyelenggarakan aksi, sehingga memperhatikan hak setiap kelompok. Contohnya menyediakan Juru Bahasa Isyarat (JBI) untuk teman Tuli, area untuk orang disabilitas fisik, dan masyarakat yang ikut aksi massa pun bebas mengekspresikan gendernya.

Sayangnya, belum semua pihak yang mengikuti aksi massa memahami hal tersebut. Echa menceritakan ada pihak yang kecewa dengan API karena melibatkan queer. Padahal, hak orang queer termasuk yang diakomodasi dalam isu perempuan.

Melihat kejadian ini, Echa menganggap, masyarakat perlu kembali belajar tentang makna inklusif. Ia pun menyadari bahwa mengadvokasi hak-hak masyarakat adalah perjalanan panjang. Namun, Echa tetap optimis perjuangannya bersama API akan membuahkan hasil bagi masa depan negara yang lebih baik.

Ketika ditanya apa yang membuatnya masih punya harapan, Echa menjawab, “Aku tahu advokasi prosesnya panjang, tapi banyak teman-teman yang punya cinta kasih terhadap sesama manusia. Jadi aku optimis (situasinya akan lebih baik).”

About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.