#DaruratIsuPerempuan: Perlindungan Perempuan dan Anak Terancam Imbas Efisiensi Anggaran
Inikah kado terindahmu untuk kami di Hari Perempuan Internasional (IWD) 2025, Pak Presiden?

“Anggi”, staf Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), prihatin atas pemangkasan anggaran yang terjadi di tempatnya bekerja. Dampak penyunatan anggaran ini cukup serius, karena membuat berbagai program pencegahan dan penanganan terpaksa disesuaikan atau bahkan disetop. Anggi cemas, jika kondisi ini berlanjut, semakin banyak kasus tak tertangani dan program penting berakhir mangkrak.
“Ini kan seperti fenomena gunung es. Sebenarnya, pasti banyak masyarakat yang kena kasus (kekerasan seksual) contohnya. Namun banyak yang enggak melapor. Kalau seperti ini (anggaran dipotong), pasti akan berpengaruh ke depan,” ujarnya pada Magdalene, (7/3).
Hal senada disampaikan Andy Yentriyani, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Andy menuturkan, pemangkasan anggaran berpengaruh besar pada kelangsungan berbagai program yang sudah berjalan. Bahkan sebelum ada efisiensi, alokasi anggaran untuk Komnas Perempuan masih belum mencukupi. Kini situasinya berlipat-lipat lebih sulit.
“Komnas Perempuan hampir selalu bekerja dalam keterbatasan sejak dibangun. Baru dua tahun ini proporsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) membaik, tapi dengan efisiensi maka betul-betul hanya bertumpu di hibah,” kata Andy, (5/3).
Pemangkasan anggaran drastis terjadi setelah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, yang mewajibkan seluruh kementerian dan pemerintah daerah meninjau anggaran atas nama penghematan. Berdasarkan laporan Berita Satu, beberapa kementerian mengalami pemotongan hingga 70 persen dari anggaran belanja yang sudah ditetapkan sebelumnya. Di KPPPA, pemangkasan mencapai 50 persen dari anggaran awal, dengan total pemotongan Rp146 miliar. Anggaran yang tersisa, Rp153 miliar, akan diprioritaskan untuk gaji dan operasional dasar. Sementara program lainnya, wallahualam.
Komnas Perempuan juga merasakan dampak serupa. Andy menjelaskan lembaganya terpaksa mengurangi biaya operasional hingga 50 persen. Dari pengajuan anggaran sebesar Rp47,7 miliar, kini Komnas Perempuan hanya menerima Rp28,9 miliar untuk seluruh layanan dan programnya.
Baca juga: #IndonesiaGelap: 6 Dampak Buruk Efisiensi Anggaran Pendidikan
Keamanan dan Perlindungan Perempuan yang Semakin Sulit Digapai
Pemotongan anggaran di kementerian dan lembaga yang mengadvokasi hak perempuan dan anak ini tentu memengaruhi pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Salah satu dampak paling terasa adalah berkurangnya kemampuan operasional layanan yang selama ini menjadi tumpuan korban kekerasan.
Di Komnas Perempuan, dampak efisiensi ini terlihat jelas pada Sistem Pidana Terpadu untuk Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT PKKTP). Meski pencatatan pelaporan kini dialihkan ke lembaga layanan daerah, penguatan kapasitas lembaga tersebut—termasuk pelatihan—terancam terhenti.
“Penguatan kapasitasnya dalam bentuk training juga (perlu) dukungan anggaran. (Kalau ada efisiensi) ini semuanya tidak bisa dilakukan,” jelas Andy.
Sementara itu, di KPPPA, layanan pengaduan melalui call center SAPA 129 masih dapat berjalan. Namun, layanan lanjutan seperti pendampingan, penjangkauan, dan rehabilitasi korban kini tidak dapat dilaksanakan karena keterbatasan anggaran.
Anggi mengonfirmasi ketiadaan anggaran membatasi lembaganya hanya pada penerimaan pengaduan saja. Untuk langkah lanjutan seperti penjangkauan ke lokasi atau pemberian santunan kepada keluarga korban, semua kandas.
“Untuk penjangkauan keluar itu tidak ada, Mbak, karena anggarannya pun memang tidak ada,” katanya.
Selain itu, pemotongan anggaran juga memengaruhi advokasi kasus kekerasan. Di luar Jakarta, mendatangkan saksi ahli menjadi krusial dalam penyelesaian perkara. Namun, dengan efisiensi anggaran, perjalanan untuk pemantauan lapangan dan pemberian keterangan ahli pun terancam hilang.
“Padahal kawan-kawan yang membutuhkan biasanya tidak punya anggaran untuk mendatangkan ahli ke daerah, sementara tidak semua proses bisa dilakukan secara online,” ungkap Andy.
Program pengarusutamaan gender yang dijalankan KPPPA juga terancam mandek akibat pemotongan anggaran. Program yang bertujuan untuk mencegah kekerasan ini kini terbatas pada penyuluhan dan edukasi terbatas. Anggi menjelaskan minimnya dukungan teknis dan fasilitas membuat mereka kesulitan melatih gender champion yang dapat membantu melaksanakan program di daerah-daerah.
Baca juga: 6 Dampak Efisiensi Anggaran Prabowo: PHK Massal hingga Riset yang Mandek
“Pada program-program pengarusutamaan gender, itu kita tidak bisa menjangkau langsung. Karena ada pengurangan signifikan di dukungan teknis dan fasilitas dalam pelaksanaan, kita enggak bisa melatih gender champion yang ada di sana (luar ibu kota),” jelasnya.
Keterbatasan anggaran juga berdampak pada penyusunan database laporan pengaduan, salah satu tugas utama Komnas Perempuan. Laporan ini berfungsi sebagai dasar advokasi kebijakan dan pengambilan keputusan. Tanpa dukungan anggaran yang memadai, pengumpulan data yang tepat dan terpilah akan semakin sulit dilakukan.
“Ke depan akan sulit kita menghimpun data yang tepat dan terpilah untuk advokasi kebijakan. Database ini mempermudah penyusunan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan,” tambah Andy.
Keterbatasan dana juga mengancam penelitian dan kajian yang dilakukan Komnas Perempuan. Kajian ini penting untuk memberikan rekomendasi kebijakan berdasarkan temuan dari komunitas penyintas dan pendamping, yang sangat bergantung pada partisipasi langsung. Tanpa dana yang cukup, penelitian ini akan sulit dilaksanakan, yang tentu berpengaruh pada proses advokasi di masa depan.
Baca juga: Anggaran Pendidikan dan Riset Dibabat Habis, Mimpi Negara Maju Cuma ‘Omon-omon’
Mencari Jalan Keluar
Dengan keterbatasan anggaran yang ada, kementerian dan lembaga yang aktif mengadvokasi perlindungan perempuan dan anak ini terus berusaha mencari jalan keluar. Komnas Perempuan, misalnya, kini lebih bergantung pada hibah untuk membiayai kegiatan mereka. Namun, hal ini juga bukan perkara mudah, mengingat situasi ekonomi global yang tidak mendukung. Beberapa negara besar bahkan menarik mundur kebijakan untuk lembaga-lembaga kemanusiaan, yang menjadi tantangan tersendiri bagi Komnas Perempuan.
“Sekarang kami masih menghitung alokasi dana dan mengadvokasikan anggaran kepada para pemangku kebijakan,” ujar Andy. Komnas Perempuan berharap Komisi XIII dapat mendukung usulannya agar kontribusi efisiensi di lembaga ini berkurang dari Rp18,7 miliar menjadi Rp12,6 miliar.
KPPPA juga terus berusaha menyesuaikan program-program mereka agar tetap berjalan meskipun dengan anggaran sekadarnya. Anggi mengungkapkan beberapa program penjangkauan kini dilakukan dengan pertemuan daring. Namun, hal ini tak sepenuhnya efektif karena masalah sinyal dan perangkat yang kurang memadai di beberapa daerah.
“Nanti mungkin akan banyak Zoom tapi kan ini sudah bukan pandemi lagi ya, orang-orang punya kegiatan di luar. Belum lagi persoalan sinyal. Ini yang mungkin akan jadi persoalan,” jelas Anggi.
Selain itu, KPPPA juga memperkuat kolaborasi dengan mitra-mitra strategis, seperti The United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women (UN Women) dan United Nations Development Programme (UNDP). Anggi menegaskan bahwa kolaborasi akan menjadi kunci untuk memastikan program-program di KPPPA tetap berjalan.
“Sistemnya titip isu gitu. Jadi kita akan kolaborasi dengan menyinkronkan tujuan dan misi mereka dengan program yang ada di KPPPA,” pungkas Anggi.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
