Dari Donat, Nasi Berkat, hingga Norma Gender: Apa Kabar Program Desa Prima?
Pagi belum terlalu terang ketika sekelompok perempuan di Desa Grogol, Kabupaten Gunungkidul, sudah sibuk menata dagangan. Di atas meja-meja sederhana Lapak Prima, tersusun donat, kue pasar, gorengan, hingga nasi berkat. Aktivitas ekonomi ini lahir dari Program Desa Prima (Desa Perempuan Indonesia Maju dan Mandiri), inisiatif pemerintah yang menyasar pemberdayaan perempuan desa lewat pendampingan usaha mikro. Program ini dijalankan bersama dengan pendampingan pemerintah daerah melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2).
Melalui program ini, DP3AP2 berharap dapat membalikkan paradigma pembangunan yang sebelumnya bersifat top-down menjadi bottom-up dengan meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan menjembatani program perlindungan anak dan keluarga berencana. Karenanya, program Desa Prima ini tidak hanya berpusat pada pemberdayaan ekonomi melalui pengarusutamaan gender saja, namun juga dibarengi dengan berbagai program pemberdayaan melalui peningkatan kapasitas seputar upaya perlindungan perempuan dan anak.
Baca juga: Luka Tak Terlihat Para Perempuan Adat
Di permukaan, program ini tampak menjanjikan. Beberapa pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), seperti Weni dan Hartini, mengaku terbantu. Weni kini memiliki mixer untuk produksi kue keringnya, yang dibeli melalui skema cicilan ringan dari dana desa. Hartini, yang membuat kerajinan tangan, merasa jejaring antarperempuan pelaku usaha makin kuat. Namun, ketika ditelisik lebih dalam, tak semua pelaku usaha merasakan hal serupa.
“Ada yang konsisten, ada juga yang berhenti di tengah jalan,” kata Maryunani, ketua kelompok Desa Prima Grogol. Tantangannya beragam, mulai dari kendala modal dan beban rumah tangga, sampai kurangnya waktu dan pengetahuan untuk berinovasi.
Desa Prima mengasumsikan semua perempuan punya kapasitas dan kebutuhan seragam. Padahal, realitasnya jauh lebih rumit. Misalnya, perempuan kepala keluarga yang harus mengurus anak seorang diri, jelas sulit mengikuti pelatihan atau terlibat aktif dalam produksi. Kelompok pra-sejahtera juga sering tak punya cukup modal atau waktu untuk menjalankan usaha secara berkelanjutan.
Akibatnya, program justru cenderung menjangkau mereka yang sudah relatif siap dan punya dukungan. Yang paling rentan malah berisiko makin tersingkir karena dianggap “tidak kompeten”, padahal sistemlah yang tak cukup fleksibel mengakomodasi keragaman kondisi.
“Program ini masih satu pola untuk semua, padahal kondisi lapangan jauh dari seragam,” kata salah satu pendamping lokal.
Baca juga: Panggung Tanpa Suara: Ketika Konferensi Pemberdayaan Perempuan Tak Terjangkau Akar Rumput
Beban ganda tak kunjung usai
Di luar tantangan teknis, satu hal yang belum tersentuh program ini adalah norma sosial yang masih menempatkan perempuan sebagai penanggung jawab utama urusan domestik. Dalam wawancara dengan sejumlah warga laki-laki, muncul anggapan bahwa usaha ekonomi boleh saja dijalankan perempuan, selama tak mengganggu tugas rumah tangga.
Narasi seperti ini membuat perempuan terjebak pada beban ganda: mencari nafkah sekaligus mengurus rumah. Beban ganda ini membatasi ruang gerak perempuan dan menimbulkan inkonsistensi dalam keberlanjutan partisipasi mereka, baik dalam aktivitas ekonomi maupun program-program pelatihan, pendampingan usaha, dan kegiatan komunitas terkait. Tak sedikit yang akhirnya memilih mundur dari aktivitas usaha karena kewalahan. Artinya, kehadiran Desa Prima belum cukup menggoyang norma patriarkal yang selama ini membatasi ruang gerak perempuan di desa.
Meskipun dimulai dari ruang ekonomi, pemberdayaan perempuan tak bisa lepas dari transformasi sosial. Jika ingin menyentuh akar persoalan, program seperti Desa Prima perlu disertai upaya dekontruksi norma gender di tingkat keluarga.
Salah satu caranya adalah dengan melibatkan laki-laki dalam edukasi kesetaraan peran. Di saat yang sama, pemerintah daerah bisa memperkuat dukungan struktural: layanan penitipan anak, waktu pelatihan yang fleksibel, hingga akses modal yang adil.
Lebih jauh, penting pula membuka ruang bagi perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan di tingkat desa. Dengan begitu, mereka tidak hanya diposisikan sebagai penerima manfaat, tapi juga sebagai pengarah arah pembangunan.
Baca juga: Krisis Iklim, Perempuan Terlupakan: Di Mana Perspektif Gender dalam Kebijakan Daerah?
Desa Prima bukan tanpa arti. Ia memberi ruang awal bagi banyak perempuan untuk bangkit dan berkumpul dalam semangat kemandirian ekonomi. Namun, pemberdayaan sejati tak bisa hanya berhenti di pelatihan atau bantuan alat produksi. Ia perlu mengganggu pola lama, menyasar akar diskriminasi, dan membuka jalan bagi kesetaraan yang lebih substansial.
Agar tidak berhenti di lapak kue atau meja pelatihan, program seperti ini perlu terus dievaluasi untuk melihat siapa yang tertinggal, siapa yang paling diuntungkan, dan apa yang masih belum disentuh. Dengan begitu, desa tidak hanya punya perempuan yang mandiri secara ekonomi, tapi juga setara dalam ruang publik dan domestik.
Arsy Mahanani adalah mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional yang memiliki ketertarikan pada isu pemberdayaan perempuan. Artikel ini ditulis sebagai bentuk program kerja Kuliah Kerja Nyata yang bertujuan untuk menyorot upaya pemberdayaan di Desa Grogol, Kapanewon Paliyan, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi DI Yogyakarta.
















