Environment Issues

Krisis Iklim, Perempuan Terlupakan: Di Mana Perspektif Gender dalam Kebijakan Daerah?

Minimnya perspektif gender dalam kebijakan adaptasi iklim daerah di Indonesia memperparah kerentanan perempuan terhadap dampak perubahan iklim.

Avatar
  • February 4, 2025
  • 7 min read
  • 2911 Views
Krisis Iklim, Perempuan Terlupakan: Di Mana Perspektif Gender dalam Kebijakan Daerah?

Di tingkat nasional, Indonesia telah memiliki berbagai dokumen adaptasi iklim yang mengintegrasikan perspektif keadilan gender dan inklusi sosial. Perspektif ini bertujuan mengurangi kerentanan kelompok rentan, seperti perempuan, anak-anak, lansia, disabilitas, masyarakat adat, korban kekerasan berbasis gender, dan kelompok marginal lainnya, terhadap dampak bencana atau krisis iklim.

Lebih dari sekadar perlindungan, perspektif ini mendorong partisipasi aktif, kolaborasi, dan kepemimpinan individu maupun komunitas dalam merumuskan rencana, agenda, dan kebijakan adaptasi iklim, mulai dari tingkat tapak hingga global. Pengakuan terhadap pengetahuan lokal, dinamika gender,  dan model adaptasi berbasis komunitas menjadi kunci.

 

 

Komitmen ini tertuang dalam kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) Indonesia dan Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim (RAN GPI). Kedua dokumen ini menekankan pentingnya adaptasi perubahan iklim yang adil gender dan inklusif, sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) dan rekomendasi laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (The Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) yang menjadikan gender dan inklusivitas sebagai salah satu faktor kunci dalam agenda adaptasi iklim. 

Namun, sejauh mana komitmen ini tercermin dalam kebijakan di tingkat daerah? Selama tiga bulan, kami meneliti kebijakan dan dokumen terkait adaptasi iklim di Provinsi Jawa Tengah, termasuk peraturan daerah, peraturan kepala daerah, dan dokumen perencanaan adaptasi iklim daerah. 

Hasil penelitian, yang termasuk bagian dari proyek Voices for Just Climate Action (VCA) di Indonesia, menunjukkan absennya diskursus dan perspektif keadilan gender dan inklusi sosial dalam kebijakan adaptasi iklim daerah. Ketiadaan ini menunjukkan keterputusan antara kebijakan lokal dengan agenda nasional, yang pada akhirnya berpotensi meminggirkan partisipasi, aspirasi, dan kepemimpinan perempuan di tingkat akar rumput. 

Baca juga: Perempuan di Tengah Rezim Ekstraktif: Pemimpin Perlawanan untuk Lingkungan

Krisis iklim dan status perempuan

Di awal tahun 2025, Badan Nasional Penanggulanan Bencana (BNPB) mencatat Jawa Tengah sebagai provinsi dengan angka kejadian bencana tertinggi di Indonesia. Hingga 24 Januari 2025, tercatat 31 bencana melanda wilayah ini, termasuk banjir, tanah longsor, air pasang, abrasi, dan cuaca ekstrem. Salah satu contohnya adalah banjir di Kabupaten Demak yang diawali banjir rob di jalur Pantura Semarang-Demak yang menghambat akses transportasi, ekonomi, dan kesehatan. Curah hujan berintensitas tinggi kemudian menjebol dua tanggul di kabupaten tersebut, berdampak pada hampir 10 ribu orang yang kesulitan mengakses air bersih. 

Selain tantangan bencana, Jawa Tengah juga menghadapi berbagai isu gender kritis seperti kekerasan berbasis gender, perkawinan anak, angka kematian ibu, dan kemiskinan struktural pada perempuan. Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2024 menunjukkan, Jawa Tengah menempati urutan ketiga dalam jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan sepanjang 2024, yakni 1.687 kasus.

Krisis iklim memperburuk ketidakadilan gender, membatasi akses perempuan terhadap evakuasi, layanan kesehatan, dan pendidikan, serta meningkatkan risiko perkawinan anak akibat tekanan ekonomi.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Semarang mencatat setidaknya 101 kasus serupa pada 2023, dengan Kabupaten Demak sebagai wilayah dengan kasus tertinggi kedua. Mayoritas kekerasan terjadi dalam lingkup rumah tangga, dengan pelaku adalah pasangan sendiri. 

Perkawinan anak juga masih menjadi persoalan, terutama di wilayah pedesaan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan pada 2024 mencatat 29,12 persen perempuan di pedesaan menikah pada usia 17 tahun atau lebih muda. Sementara itu, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia mencapai 100 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada 2023, menempatkan Indonesia di urutan kedua tertinggi di ASEAN. Secara nasional, perempuan lebih banyak hidup di bawah garis kemiskinan dibandingkan laki-laki, menerima upah lebih rendah, serta lebih banyak terlibat dalam sektor informal dan kerja perawatan tidak berbayar.

Ketidakadilan gender ini semakin diperburuk oleh bencana dan krisis iklim. Dalam situasi banjir, perempuan korban kekerasan mengalami kesulitan untuk mengevakuasi diri dan mengakses layanan hukum karena infrastruktur yang rusak. Perempuan hamil atau yang melahirkan pun menghadapi risiko lebih besar karena akses terhadap air bersih, pangan bergizi, dan layanan kesehatan menjadi terbatas. Hilangnya sumber daya alam akibat bencana juga mengancam pendapatan keluarga, mendorong anak perempuan putus sekolah dan dinikahkan di usia dini untuk mengurangi beban ekonomi keluarga.

Baca juga: Sebab-sebab Tingginya Perkawinan Anak, Krisis Iklim Salah Satunya

Perspektif gender, inklusi sosial masih terpinggirkan dalam kebijakan daerah

Hasil analisis terhadap kebijakan dan dokumen adaptasi iklim di Jawa Tengah menunjukkan bahwa komitmen terhadap keadilan gender dan inklusi sosial masih lemah dan belum sepenuhnya sejalan dengan agenda iklim nasional.

Sebagai contoh, dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 6/2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Tahun 2025-2045, dampak krisis iklim hanya digambarkan sebagai penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan (halaman 11). Aspek sosial ekonomi, terutama isu gender dan inklusi sosial, belum mendapat perhatian dalam konteks rencana pembangunan daerah untuk mengatasi krisis iklim dan penanggulangan bencana. 

Hal serupa ditemukan dalam Perda Provinsi Jawa Tengah No. 8/2024 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2024-2044. Fokus regulasi ini lebih pada pelestarian kawasan lindung dan pembangunan sistem pengendalian banjir. Meski ada dorongan partisipasi masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang (BAB IX), partisipasi tersebut cenderung terbatas pada tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat yang mayoritas laki-laki. Selain itu, tidak ada upaya serius untuk mengadopsi pengetahuan lokal atau mendorong kepemimpinan komunitas dalam tata ruang yang berkelanjutan.

Pergub Jawa Tengah No. 12/2023 tentang Rencana Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2024-2026 juga menunjukkan minimnya integrasi perspektif gender dan inklusi sosial dalam strategi adaptasi iklim. Rehabilitasi dan pengurangan risiko bencana masih berfokus pada pembangunan infrastruktur dan konservasi sumber daya alam (halaman 4, 14, dan 57), tanpa pelibatan aktif perempuan atau kelompok rentan lainnya.

Kebijakan serupa terlihat dalam Pergub Jawa Tengah No. 21/2024 tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah 2025. Arah kebijakan pembangunan gender hanya berfokus pada peningkatan akses ekonomi perempuan, sementara isu perubahan iklim belum dirumuskan secara rinci (halaman 248-251).

Dalam Dokumen Adaptasi Iklim Provinsi Jawa Tengah (2023) ada upaya untuk memasukkan perspektif gender dan inklusi sosial. Disebutkan bahwa Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) harus memperhatikan aspek inklusivitas—kesetaraan gender, penyandang disabilitas, anak-anak, lansia, dan kelompok rentan lainnya—serta kelestarian ekosistem (halaman 18). Namun, dokumen ini tidak merinci secara konkret bagaimana aspek inklusivitas tersebut diterapkan dalam strategi adaptasi iklim. Hanya ada satu kelompok perempuan dari 35 kelompok masyarakat yang terlibat sebagai aktor non-pemerintah dalam pembangunan iklim di Jawa Tengah (halaman 15). 

Kondisi ini menunjukkan bahwa perspektif gender dan inklusi sosial masih sangat minim dalam kebijakan adaptasi iklim daerah. Padahal, Jawa Tengah telah memiliki Perda No. 2/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan, yang bertujuan melindungi perempuan dari kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Pasal 7 huruf a menyebutkan bahwa pencegahan kekerasan terhadap perempuan juga mencakup perlindungan dalam situasi bencana dan konflik sosial. Perda ini seharusnya menjadi modal penting dalam menyusun program adaptasi iklim yang memperhatikan kerentanan perempuan di situasi bencana.

Baca juga: Perubahan Iklim Perparah Ketimpangan Gender di Kawasan Pesisir, Ini Kata Ahli

Mendorong integrasi gender dalam kebijakan iklim daerah

Pengalaman dari Jawa Tengah menunjukkan bahwa masih diperlukan penguatan perspektif dan komitmen nyata untuk mendorong keadilan gender dan inklusi sosial dalam agenda adaptasi iklim daerah. Salah satu langkah kunci adalah memastikan integrasi perspektif ini dalam seluruh proses penyusunan kebijakan, dari tingkat pusat hingga desa.

Komitmen terhadap keadilan gender dan inklusi sosial harus tercermin secara eksplisit dalam kebijakan dan dokumen iklim daerah. Ini mencakup pemberian ruang bagi partisipasi, pelibatan, dan kepemimpinan kelompok yang paling terdampak oleh krisis iklim, seperti perempuan, penyandang disabilitas, lansia, pemuda, masyarakat adat, buruh, korban kekerasan, pekerja sektor informal, dan kelompok rentan lainnya.

Hanya dengan langkah-langkah konkret seperti ini, upaya mewujudkan adaptasi iklim yang inklusif dapat benar-benar dirasakan hingga tingkat akar rumput. Tanpa itu, komitmen terhadap keadilan gender dan inklusi sosial hanya akan menjadi jargon atau pemanis kebijakan di tingkat nasional maupun internasional.

Andi Misbahul Pratiwi adalah mahasiswa PhD dari University of Leeds. Nadia Himmatul Ulya adalah mahasiswa Magister, Monash University. Masnu’ah adalah Ketua Puspita Bahari, Komunitas Perempuan Nelayan di Demak.



#waveforequality


Avatar
About Author

Andi Misbahul Pratiwi, Nadia Himmatul Ulya and Masnu’ah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *