Merariq dan Pernikahan Anak: Di Antara Budaya, Pilihan, dan Perlindungan Anak

Publik baru-baru ini dibuat heboh oleh kabar pernikahan anak di bawah umur yang terjadi di Nusa Tenggara Barat. Kasus ini ramai jadi sorotan setelah Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram resmi melaporkannya ke Polres Lombok Tengah.
Video yang menunjukkan momen pernikahan antara seorang siswi SMP dan pelajar SMK tersebut tersebar luas di media sosial. Banyak netizen menyoroti usia si pengantin perempuan yang masih sangat muda dan belum cukup umur untuk menikah secara hukum.
Dikutip dari Metro News, LPA Mataram melibatkan aparat hukum dengan melaporkan seluruh pihak yang berperan dalam berlangsungnya pernikahan tersebut, mulai dari orang tua hingga penghulu yang menikahkan pasangan ini.
Padahal, pemerintah desa sempat mencoba mencegah pernikahan itu. Sayangnya, usaha pencegahan itu mentok karena kedua keluarga tetap bersikeras menikahkan anak-anak mereka tanpa mengindahkan imbauan dari aparat desa.
“Sejak April 2025 sebenarnya sudah ada tanda-tanda akan digelar pernikahan anak. Pihak desa, kepala desa, sampai Bhabinkamtibmas dan Babinsa sudah berupaya mencegah. Tapi, orang tua tetap bersikukuh untuk melangsungkan pernikahan itu,” jelas Ketua LPA Mataram, Joko Jumadi.
Baca Juga: Pernikahan Anak dalam Perspektif Pendidikan
Kenapa Pernikahan Anak Ini Tetap Terjadi?
Dalam wawancara bersama BBC, Muhanan yang merupakan paman sekaligus kuasa hukum dari pengantin perempuan, menjelaskan bahwa sebelum menikah, pasangan ini sempat menjalani prosesi merariq, yaitu tradisi khas suku Sasak di Lombok, di mana pihak laki-laki “melarikan” calon istri sebagai bagian dari budaya pernikahan.
Muhanan menyebut, sebenarnya si cowok sudah mencoba merariq sejak April lalu. Tapi upaya itu digagalkan oleh keluarga dan pihak desa, sehingga pasangan ini sempat dipisahkan.
“Anak perempuannya bahkan sempat balik ke rutinitas sehari-hari, kembali sekolah seperti biasa,” kata Muhanan.
Namun, situasinya berubah sebulan kemudian. Si pengantin laki-laki membawa kabur anak perempuan itu ke wilayah Sumbawa. Dalam adat setempat, jika sudah “dibawa lari” dan tak kembali dalam waktu 24 jam, maka pernikahan dianggap harus dilanjutkan demi menjaga nama baik keluarga.
“Kalau satu kali 24 jam si perempuan enggak kembali dan ada konfirmasi merariq, ya mau enggak mau harus nikah. Kalau enggak, bisa jadi bahan omongan atau dianggap aib,” jelasnya.
Muhanan juga membantah spekulasi warganet soal kondisi psikologis keponakannya. Banyak yang curiga melihat ekspresi polos si pengantin perempuan dalam video arak-arakan pernikahan (nyongkolan) yang viral di medsos.
“Anak ini memang ekspresif, suka joget kalau dengar musik. Dia anak-anak banget, polos, dan memang usianya masih kecil,” tambahnya.
Fakta lainnya, sang pengantin perempuan masih 14 tahun dan baru lulus SMP, sementara si laki-laki baru 16 tahun dan bekerja serabutan, kadang jadi buruh, kadang jualan tembakau, bawang, atau barang bekas. Mereka juga belum punya rumah tetap dan saat ini tinggal berpindah-pindah ke rumah kerabat.
Muhanan juga menyoroti latar belakang pengantin laki-laki yang hidup sebatang kara sejak kecil. Menurutnya, hal ini turut memengaruhi keputusan mereka untuk menikah muda.
Baca Juga: Semudah Menikah, Semudah Bercerai
Hukum dan Adat: Sama-Sama Tidak Membenarkan Pernikahan Anak
Masih dari BBC, di sisi lain, Ketua LPA Mataram, Joko Jumadi, menyebut bahwa laporan hukum yang mereka ajukan bertujuan untuk mengedukasi masyarakat, bahwa menikahkan anak di bawah umur bukan hanya keliru, tapi juga bisa berujung pidana.
Ia menegaskan, meskipun ada unsur adat seperti merariq, secara hukum adat pun pernikahan anak tetap enggak dibenarkan. Hanya saja, aturan ini sering kali enggak ditegakkan dengan serius.
Dalam kasus ini, LPA mengacu pada Pasal 10 ayat 2 huruf A dari UU TPKS, yang bisa menjerat pelaku dengan hukuman penjara hingga 9 tahun.
“Dengan adanya pelaporan ini, harapannya masyarakat jadi lebih sadar. Mereka harus berpikir rasional, karena pernikahan anak itu lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya,” kata Joko.
Ia juga menyampaikan bahwa saat ini pihaknya sedang berkoordinasi dengan Unit PPA Lombok Tengah untuk memberikan pendampingan pada pasangan anak tersebut. Fokusnya tak cuma rehabilitasi, tapi juga edukasi soal kesehatan reproduksi.
Joko menekankan pentingnya kerja sama lintas lembaga, mulai dari Dinas Kesehatan hingga Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, untuk benar-benar menghentikan praktik pernikahan anak dan menjaga masa depan mereka tetap aman.
Baca Juga: Kawin Tangkap, Kekerasan, dan Tradisi yang Problematik
Dari Mana Asal Tradisi Merariq alias Kawin Culik?
Dikutip dari Kompas, tradisi merariq atau yang sering disebut “kawin culik” sebenarnya merupakan bagian dari kearifan lokal masyarakat Lombok, khususnya suku Sasak. Nama merariq sendiri punya akar dari kata “merarinang” yang artinya “melaiang” alias “melarikan”.
Intinya, tradisi ini menggambarkan proses di mana laki-laki “membawa lari” perempuan yang akan dinikahinya. Tapi tentu saja, bukan tanpa persetujuan. Biasanya ini sudah disepakati diam-diam oleh kedua calon pengantin.
Ada dua versi soal asal-usul tradisi ini. Pertama, katanya merariq memang berasal dari budaya asli Suku Sasak dan sudah dilakukan jauh sebelum Lombok dikuasai oleh Kerajaan Bali di abad ke-18. Versi lainnya bilang bahwa tradisi ini muncul sebagai hasil akulturasi budaya Bali dan Sasak, mengingat Lombok sempat jadi wilayah kekuasaan Bali selama hampir satu abad.
Merariq biasanya dilakukan malam hari, dengan tahapan yang cukup rumit dan penuh makna budaya. Rangkaian dimulai saat calon pengantin laki-laki “menculik” si perempuan dari rumahnya. Tapi tenang, ini biasanya sudah diatur bareng, mulai dari waktu sampai tempatnya. Kesepakatan ini disebut midang, yaitu fase pendekatan atau semacam “PDKT adat” yang dilakukan malam Kamis atau malam Minggu.
Setelah itu, masuk ke tahap utama: merariq, alias membawa lari sang calon istri ke rumah pihak laki-laki. Selanjutnya, ada fase selabar dan majetik, yaitu saat keluarga cowok datang melapor ke pihak kampung si cewek bahwa merariq sudah terjadi dan meminta restu untuk proses selanjutnya.
Proses berikutnya melibatkan banyak tahapan adat, mulai dari ijab kabul, sorong serah (serah terima pengantin), sampai nyongkolan, yaitu arak-arakan keluarga pengantin laki-laki ke rumah pihak perempuan sebagai penutup prosesi.
