Screen Raves

Di Balik Cap “Film Lebaran”: Saat Hari Raya Jadi Ladang Jualan

Sejak kapan cap “Film Lebaran” muncul di Indonesia? Kenapa genrenya cuma drama, komedi, dan horor?

Avatar
  • March 26, 2025
  • 7 min read
  • 7657 Views
Di Balik Cap “Film Lebaran”: Saat Hari Raya Jadi Ladang Jualan

Tempo hari, di salah satu ruas jalan utama di Yogyakarta, saya melihat papan reklame Qodrat 2 dengan jargon berwarna mencolok, ditulis besar-besar: “Kalahkan Iblis, Rayakan Lebaran.”

Saya tertawa kecil. Bukan karena filmnya tampak buruk, tetapi karena ada yang ironis dalam cara film ini dipasarkan sebagai “Film Lebaran.” Sejak kecil, kita diajarkan bahwa Idulfitri adalah hari kemenangan, hari ketika semua yang baik menang—dengan implikasi, bahwa yang buruk dan jahat dikalahkan. 

 

Dalam konteks itu, tagline tersebut sebenarnya masuk akal: Qodrat 2 adalah film horor yang mengisahkan pertarungan seorang ustaz melawan kekuatan jahat. Tetapi, tetap saja terasa tergelitik melihat film horor yang dipenuhi adegan kekerasan eksplisit, diposisikan sebagai tontonan khas Lebaran, yang biasanya bernuansa hangat dan wholesome. Billboard ini, selain sebagai strategi pemasaran, juga menjadi bukti bahwa konsep “Film Lebaran” terus berkembang seiring dengan perkembangan pasar.

Lebaran 2025 sendiri akan diramaikan banyak film. Genrenya beragam. Selain Qodrat 2, ada Pabrik Gula dari ranah horor. Lewat tema keluarga dan drama, ada Norma: Antara Mertua dan Menantu, Keluarga Besar, Surga di Telapak Kaki Bapak, dan Komang. Ada pula Jumbo, film animasi produksi Visinema yang disutradarai Ryan Adriandhy. 

Selain dipotret sebagai film animasi karya anak bangsa, banyak media juga memotretnya sebagai “Film Lebaran”.

Jumbo (Foto: IMDB)

Baca juga: Bisakah Film dengan Tema Islam Lebih dari Sekadar Dakwah?

Hari Besar Sebagai Ladang Memanen Penonton

“Film Lebaran” adalah istilah yang merujuk pada film-film yang dirilis bertepatan dengan perayaan Idulfitri—momentum tempat berkumpulnya keluarga. Budaya itu yang kemudian dimanfaatkan pembuat film dan distributor untuk menarik penonton dalam jumlah besar. 

Meskipun belum ada catatan pasti mengenai kapan istilah “film lebaran” pertama kali digunakan, tradisi merilis film saat Lebaran sudah berlangsung sejak era 1980-an. Salah satu film yang memelopori narasi “Film Lebaran” sebagai strategi pemasaran adalah Nagabonar (M.T. Risyaf, 1987), sebuah film komedi yang sukses besar di pasaran. Ia berhasil mendorong tren ini.

Seiring waktu, genre film yang dirilis saat Lebaran mengalami evolusi sesuai dengan selera penonton. 

Pada era 2000-an, film-film drama keluarga seperti Petualangan Sherina (Riri Riza, 2000) dan Laskar Pelangi (Riri Riza, 2008) menjadi primadona. Komedi juga mendominasi, terutama dengan daya tarik nostalgia film-film Warkop DKI dan film seperti Get Married (Hanung Bramantyo, 2007) yang sukses menarik penonton dalam jumlah besar. 

Beberapa tahun terakhir, genre horor mulai mendapat slot rilis Lebaran, dengan film seperti Pengabdi Setan (Joko Anwar, 2017) yang sukses meraup 4,2 juta lebih penonton. Meski dirilis di tengah persaingan film drama keluarga dan komedi. Membuat Joko Anwar dan Come and See—rumah produksi miliknya, memutuskan merilis Siksa Kubur (rilis 11 April) pada pekan pertama lebaran 2024. Film itu juga laku keras, berhasil menjual 4 juta tiket.

Laskar Pelangi (Foto: IMDB)

Baca juga: Pria Saleh Sebagai Fantasi Kolektif: Menilik ‘Trope’ Pria Religius di Film Indonesia

Umur “Film Natal” Lebih Panjang

Di negara-negara Barat, film yang dirilis saat Natal memiliki tradisi panjang—setidaknya, telah berlangsung lebih dari delapan dekade. Film Natal umumnya mengusung tema kehangatan keluarga, kebersamaan, keajaiban, dan kepercayaan terhadap sesuatu yang lebih besar. 

Contoh klasiknya adalah Home Alone (Chris Columbus, 1990), The Polar Express (Robert Zemeckis, 2004), hingga Elf (Jon Favreau, 2003), yang semuanya menonjolkan semangat kebersamaan dalam suasana musim dingin yang magis. Dalam perkembangannya, film Natal juga berkembang dengan tema-tema baru, seperti romansa dalam Love Actually (Richard Curtis, 2003) atau aksi dalam Die Hard (John McTiernan, 1988) yang meskipun tidak konvensional, tetap menjadi bagian dari tontonan wajib di musim Natal. 

Strategi pemasaran “film Natal” sering kali memanfaatkan nostalgia dan kebiasaan tahunan menonton bersama keluarga. Studio besar seperti Disney dan Netflix rutin merilis film bertema Natal untuk memanfaatkan liburan panjang akhir tahun, sering kali dengan promosi besar-besaran di televisi, media sosial, dan rilis eksklusif di platform streaming. 

Selain itu, merchandise seperti mainan, pakaian, hingga dekorasi bertema film Natal juga menjadi bagian dari strategi monetisasi yang lebih luas.

Home Alone (Foto: IMDB)

Di Asia Timur, terutama Tiongkok dan Hong Kong, industri perfilman memiliki tradisi “Film Imlek” yang biasanya dirilis untuk menyambut Tahun Baru Imlek. Berbeda dengan film Natal yang menekankan kehangatan dan keajaiban, film Imlek lebih sering mengusung tema keberuntungan, kemakmuran, dan reuni keluarga. 

Genre yang mendominasi adalah komedi slapstick, film aksi dengan elemen fantasi, serta film keluarga yang penuh humor. Salah satu contoh klasik adalah Kung Fu Hustle (Stephen Chow, 2004), yang memadukan aksi komedi dengan elemen budaya khas Tiongkok. 

Strategi pemasaran film Imlek juga sangat berbeda dengan film Natal dan Lebaran. Industri film Tiongkok secara khusus menargetkan masa liburan panjang Tahun Baru Imlek sebagai waktu puncak untuk merilis film-film blockbuster.

Studio sering menggunakan bintang film besar dan efek visual yang spektakuler untuk menarik penonton ke bioskop. Selain itu, simbol-simbol budaya seperti warna merah, angka keberuntungan, dan astrologi Tiongkok sering digunakan dalam materi promosi. Kampanye pemasaran biasanya dikemas dalam bentuk festival dan acara publik, dengan tujuan membangun hype menjelang perayaan Imlek.

Baca juga: Review ‘Qodrat’: Kembalikan Kejayaan Tokoh Pemuka Agama dalam Film Horor

Tema yang Populer Saat Lebaran: Beragam, tapi Serupa?

Film Lebaran di Indonesia umumnya didominasi oleh drama keluarga, komedi, dan horor. Pilihan genre ini bukan tanpa alasan—drama keluarga dan komedi dianggap sesuai dengan suasana kebersamaan Idulfitri, sementara horor telah membuktikan diri sebagai genre dengan basis penonton besar di Indonesia, bahkan saat musim liburan.

Meski genrenya cenderung terasa beragam, karena tidak terjebak satu genre, film-film Lebaran di Indonesia tetap punya satu tema yang jadi benang merah.

Ia sering kali adalah tema-tema yang berorientasi pada nilai-nilai mayoritas, dengan muatan religi kuat atau narasi yang menekankan harmoni keluarga tradisional. Ini bisa menjadi strategi efektif untuk menarik segmen penonton terbesar, tapi di sisi lain, bisa membuat kelompok minoritas—baik dalam hal agama, gender, maupun struktur keluarga—merasa tidak terwakili dalam narasi arus utama.

Hal ini menimbulkan pertanyaan: Apakah konsep “Film Lebaran” tanpa sadar menjadi bagian dari hegemoni budaya yang mengukuhkan satu jenis pengalaman sebagai norma?

Konsep hegemoni budaya yang diperkenalkan oleh Antonio Gramsci dapat membantu memahami bagaimana ide dominan dalam masyarakat dapat terus diperkuat melalui media, termasuk film. Dalam konteks perfilman Indonesia, penelitian Hana’ Fairuz Akbar Lubis dan Shavira Melanie Putri (2024) mengungkap bahwa budaya populer, termasuk film, sering digunakan sebagai alat untuk memperkuat identitas nasional dan melawan pengaruh budaya asing. 

Namun, di sisi lain, produksi film yang terlalu berfokus pada satu narasi dapat mengesampingkan pengalaman kelompok lain, yang tidak sesuai dengan konstruksi budaya mayoritas.

Jika dibandingkan dengan film Natal di Barat, perbedaan pendekatan dalam tema dan pemasaran menjadi jelas. Film yang dipasarkan sebagai Film Natal memiliki tradisi panjang dalam menampilkan berbagai genre, mulai dari komedi keluarga hingga aksi. Namun, yang menarik adalah bagaimana Natal sering kali diposisikan bukan sekadar sebagai hari raya keagamaan, tetapi lebih sebagai momen kebersamaan yang bersifat universal. 

Home Alone dan Die Hard menunjukkan bahwa film Natal tidak selalu harus menonjolkan aspek spiritual atau ritual keagamaan, tetapi lebih pada atmosfer liburan, reuni, atau bahkan sekadar petualangan yang kebetulan terjadi saat Natal.

Ada beberapa alasan mengapa film Natal bisa memiliki cakupan yang lebih universal dibandingkan film Lebaran di Indonesia. Salah satunya adalah bagaimana perayaan Natal dalam budaya populer global lebih banyak dipandang sebagai bagian dari budaya komersial dan kapitalisme global. Di negara-negara Barat, Natal tidak hanya dirayakan oleh orang Kristen, tetapi juga oleh banyak orang dengan latar belakang agama berbeda yang sekadar menikmati suasana liburan, diskon belanja, dan tradisi tahunan seperti bertukar hadiah. Film Natal pun mencerminkan hal ini dengan cerita yang lebih inklusif dan tidak terlalu mengikat pada nilai religius tertentu.

Di Indonesia, kondisi ini berbeda. 

Lebaran, kendati juga sudah menjadi alat kapitalisme, masih sangat lekat dengan aspek religius. Sehingga film-film yang dirilis pada periode ini pun cenderung mengikuti narasi yang selaras dengan norma mayoritas. Ini menunjukkan bagaimana konstruksi budaya dalam perfilman Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh norma sosial dan nilai-nilai dominan, berbeda dengan bagaimana film Natal di Barat berkembang menjadi fenomena yang lebih universal dan inklusif.

Ke depan, mungkin perlu ada pergeseran dalam cara industri melihat “Film Lebaran.” Alih-alih sebagai produk yang disesuaikan dengan selera pasar arus utama, film-film yang dirilis selama Idulfitri bisa menjadi ruang bagi eksplorasi tema yang lebih luas—yang tidak hanya menampilkan kemenangan dalam bentuk pertarungan spiritual atau rekonsiliasi keluarga, tetapi juga kemenangan dalam bentuk keberagaman pengalaman manusia yang lebih kompleks. 

Jika film Natal bisa berkembang menjadi sebuah fenomena budaya yang lebih luas daripada sekadar perayaan keagamaan, mengapa film Lebaran tidak bisa mengalami hal yang sama?



#waveforequality
Avatar
About Author

Catra Wardhana

Peneliti dan publisis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *