Issues

Di Balik ‘Mobile Game’ yang Menguras Dompet dan Menyasar Anak-anak

Anak-anak jadi korban monetisasi agresif permainan gawai. Bukan cuma orang tua yang perlu khawatir, industri game juga harus memikirkan hal ini.

Avatar
  • March 1, 2022
  • 7 min read
  • 608 Views
Di Balik ‘Mobile Game’ yang Menguras Dompet dan Menyasar Anak-anak

“Sumpah baru main aja udah ada sensasi gak mau off bikin ketagihan. Game-nya bagus, tapi sayang pembeliannya mahal. Untuk menyelesaikan tugas di kedai bintang 7 itu harus ngabisin berapa diamond, aku nyoba 1000 diamond bintang 6 aja gak dapet. Padahal sudah keluar uang ratusan ribu rupiah.”

Itulah bunyi komentar pengguna salah satu aplikasi permainan free-to-play (FTP) yang dapat diunduh secara gratis pada situs Google Play. Ribuan aplikasi dan komentar-komentar bernada serupa bertebaran di situs tersebut.

 

 

Meskipun gratis, aplikasi permainan FTP membukukan pendapatan sebesar Rp 480 triliun dari seluruh dunia pada tahun 2017. Pendapatan ini diperkirakan akan tumbuh secara konsisten dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 98% pertahun

Aplikasi permainan ini menghasilkan pendapatan melalui model bisnis in-app purchase atau pembelian dalam aplikasi.

Akan tetapi, penelitian saya menunjukkan bahwa pemain sebetulnya enggan untuk membeli barang dalam permainan. 

Hal ini menimbulkan agresivitas dari penerbit untuk melakukan monetisasi dan memerangkap kelompok rentan, utamanya anak muda, dalam pembelian yang kompulsif. Meskipun proporsi pengguna game yang membayar terhadap pengguna secara total sebetulnya tidak terlalu besar, mereka menjadi tonggak utama bisnis yang menghasilkan ratusan triliun rupiah.

Baca juga: Nyebelinnya Jadi Perempuan Saat Main PUBG

Padahal, dalam pandangan saya, model bisnis yang dilakukan ini tidaklah berkelanjutan, rentan membuat pembeli jenuh, dan sekadar membuat uang pemain melayang.

Persepsi dari Mereka yang Enggan Beli

Penelitian saya mengajukan proposisi bahwa kebanyakan pembelian dalam aplikasi dilakukan secara impulsif tanpa niat sebelumnya. Saya berargumen bahwa ketika pengguna mengunduh aplikasi FTP, mereka berniat menggunakan aplikasi secara gratis. 

Penelitian saya mengidentifikasi bahwa pengguna memiliki beberapa persepsi mengenai monetisasi agresif. 

Pertama, pengguna punya persepsi aplikasi melibatkan upaya manipulasi yang dapat menipu mereka. 

Kedua, pengguna punya persepsi bahwa upaya monetisasi oleh aplikasi bisa membuat mereka ketagihan. 

Ketiga, pengguna berpersepsi bahwa monetisasi oleh aplikasi melanggar privasi dan mengganggu pengalaman bermain. 

Keempat, pengguna berpersepsi standar harga aplikasi tidak wajar atau terlalu mahal. 

Kelima, pengguna punya persepsi bahwa upaya monetisasi oleh aplikasi melibatkan ketidakpastian yang tinggi dan berpotensi mengakibatkan kerugian finansial bagi pengguna. 

Persepsi pengguna terhadap monetisasi yang agresif dari aplikasi FTP berkontribusi signifikan terhadap keengganan pengguna untuk membayar. 

Hal ini berpotensi memicu spiral ke bawah, fenomena ketika monetisasi agresif oleh penerbit memperparah keengganan pengguna untuk membayar yang kemudian membuat penerbit semakin agresif. Hal ini dapat membuat model bisnis pembelian dalam aplikasi menjadi tidak berkelanjutan dalam jangka panjang dan membuat investasi yang telah dibayarkan melayang.

Model Bisnis dan Kontroversi

Sejak awal diperkenalkan, model bisnis pembelian dalam aplikasi telah menuai banyak kontroversi. 

Aplikasi permainan FTP menjual berbagai item atau barang virtual melalui pembelian dalam aplikasi, yang harganya berkisar antara Rp 3.000,00 – Rp 2.999.000,00 per item

Berbagai jenis item virtual ditawarkan melalui pembelian dalam aplikasi berkisar dari mata uang virtual, hingga karakter dalam permainan yang dapat dikoleksi dan memengaruhi estetika permainan.

Baca juga: Kencani ‘Serial Dater’: Ingin Perhatian, Enggan Berkomitmen

Salah satu penawaran yang umum ditemukan pada pembelian dalam aplikasi adalah mekanisme loot box (kotak hadiah atau jarahan) atau gacha (mesin penjual mainan), yang memberikan hasil secara acak dan menyerupai perjudian.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak. Sebagai reaksi, beberapa negara seperti China dan Uni Eropa akhirnya menetapkan regulasi ketat untuk membatasi implementasi mekanisme loot box

Meskipun demikian, mekanisme ini masih banyak ditemukan pada berbagai aplikasi permainan FTP.

Aplikasi juga menawarkan beberapa jenis item virtual yang dapat memengaruhi permainan secara langsung dan memberikan keunggulan tertentu dalam permainan kompetitif. Hal ini membuat pemain yang tidak membeli item virtual tersebut merasa diperlakukan tidak adil dan merasa “dipaksa” untuk ikut membeli agar bisa tetap kompetitif dalam bermain. 

Aplikasi permainan FTP yang dirasa memaksa penggunanya untuk membayar agar bisa tetap kompetitif mendapat label oleh pemain sebagai aplikasi “pay-to-win” atau hanya memenangkan mereka yang membayar.

Monetisasi Agresif dari Penerbit, Konsumen Muda Rentan

Sebetulnya, sebagian besar pengguna aplikasi FTP tidak menyukai pembelian dalam aplikasi. 

Walaupun membukukan pendapatan dan pertumbuhan yang tinggi, FTP hanya berhasil menjaring 5% penggunanya untuk melakukan pembelian. Sisanya adalah pengguna gratis yang enggan untuk membayar ketika menggunakan aplikasi tersebut. 

Keengganan pengguna untuk melakukan pembelian dalam aplikasi ini semakin mendorong penerbit aplikasi FTP melakukan monetisasi agresif untuk memotivasi penggunanya melakukan pembelian dalam aplikasi. 

Pertama, aplikasi FTP seringkali memunculkan berbagai iklan pop-up di sela-sela permainan untuk mendorong pemain untuk melakukan pembelian. 

Kedua, aplikasi permainan juga sering mengadakan berbagai event atau promosi khusus dalam permainan, yang diharapkan dapat mendorong pemain untuk melakukan pembelian.

Ketiga, banyak aplikasi permainan yang melibatkan interaksi antar pemain dalam bentuk guild atau tim dalam permainan. Interaksi ini secara tidak langsung memberikan tekanan sosial untuk mengeluarkan uang, terutama ketika ada sesama anggota guild melakukan pembelian dalam aplikasi. Pemain lain merasakan adanya dorongan psikologis untuk tidak tertinggal dari rekan satu timnya.

Jika benar bahwa kebanyakan pembelian dalam aplikasi adalah pembelian impulsif dan aplikasi FTP melakukan upaya monetisasi secara agresif untuk mendorong pembelian dalam aplikasi, maka model bisnis ini berpotensi memiliki dampak sosial yang besar. 

Pertama, monetisasi agresif oleh aplikasi dan pembelian dalam aplikasi secara impulsif terus-menerus dapat membentuk kebiasaan pengguna dan berpotensi menjadi perilaku yang kompulsif

Pertumbuhan bisnis digital di Indonesia memicu efek samping berupa peningkatan frekuensi belanja daring dan budaya konsumtif. Terlebih lagi, penduduk Indonesia memiliki tingkat literasi keuangan dan kesadaran menabung yang relatif rendah

Kedua, meskipun secara umum pengguna yang melakukan pembelian dalam aplikasi hanya 5%, ternyata 70% dari seluruh pendapatan berasal dari hanya 10% pengguna yang membayar tersebut. 

Hal ini menunjukkan bahwa model bisnis pembelian dalam aplikasi mengandalkan pendapatan dari segelintir pengguna yang rentan terhadap monetisasi agresif. 

Secara umum, pengguna yang memiliki tingkat kendali diri yang rendah menjadi kelompok yang rentan terhadap perilaku penggunaan internet yang bermasalah seperti pembelian impulsif yang berlebih.

Ketiga, monetisasi agresif oleh aplikasi dan pembelian dalam aplikasi secara impulsif memiliki potensi berdampak negatif pada kelompok pengguna yang rentan seperti remaja dan anak-anak. 

Meskipun pengguna permainan FTP berasal dari berbagai kalangan usia, remaja dan anak-anak tetap menjadi segmen pengguna yang cukup dominan. Walaupun monetisasi agresif dari aplikasi tidak secara khusus menyasar remaja dan anak-anak, kedua kelompok ini sangat rawan terpapar pembelian impulsif dalam aplikasi.

Saran untuk Industri

Terkait hal ini, saya memiliki beberapa saran untuk industri. 

Pertama, penerbit aplikasi FTP perlu memahami bagaimana persepsi basis pengguna mereka terhadap strategi monetisasi yang mereka adopsi. 

Baca juga: Ramai-ramai Media Hijarah ke ‘Blockchain’, Mungkinkah Indonesia Menyusul?

Penerbit aplikasi wajib mengelola dengan hati-hati strategi monetisasinya untuk menghindari reaksi negatif dari pengguna. Penerbit aplikasi dapat mendeteksi reaksi pengguna dengan secara aktif memantau situs ulasan pengguna dan media sosial untuk memantau peningkatan komentar negatif, terutama setelah pembaruan yang melibatkan perubahan mekanisme permainan dan memperkenalkan opsi monetisasi baru.

Kedua, penerbit aplikasi perlu menyeimbangkan strategi monetisasi mereka untuk menciptakan ekosistem yang berkelanjutan untuk model bisnis ini.

Monetisasi agresif yang terlalu mengandalkan pendapatan dari pembelanja besar atau “ikan paus” akan mengarah pada model bisnis yang mengasingkan pengguna gratis serta pembelanja kecil dan menengah. Bahkan, pembelanja besar pun bisa jenuh jika penerbit aplikasi terus-menerus memperlakukan mereka sebagai sapi perah. 

Terakhir, saya merekomendasikan penerbit permainan seluler untuk mengadopsi strategi monetisasi jangka panjang untuk memelihara pengguna gratis menjadi pengguna yang membayar dan mengurangi churn atau perginya pengguna yang membayar. 

Strategi ini berarti tidak mengandalkan strategi monetisasi yang menekankan keuntungan jangka pendek melalui monetisasi yang agresif. 

Penekanan berlebihan pada keuntungan jangka pendek oleh penerbit permainan juga dapat menyebabkan perilaku tidak sehat oleh pemain dan menimbulkan risiko bagi kesejahteraan pengguna, seperti kecanduan dan pengeluaran yang berlebihan.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

https://imasdk.googleapis.com/js/core/bridge3.588.0_en.html#goog_155242765

Feminist Festival Indonesia 20171010

0:02/1:49

Tags:

 mobile game mobile legend game mahal kecanduan game

Imam Salehudin adalah anggota pada Klaster Riset Bisnis dan Ekonomi Digital, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia. Imam Salehudin juga menjadi Wakil Ketua pada Divisi Manajemen, Direktorat Kajian Bisnis, Bidang Economic and Business Development, ILUNI FEB UI Kepengurusan 2022-2024.



#waveforequality


Avatar
About Author

Imam Salehudin