Pengalaman ‘Pro Player’ dengan Disabilitas: Bukan Sekadar Bertahan tapi Berpikir
“Bagaimana kuliahmu?”
“Kalau pergi-pergi, kamu bagaimana?”
Pertanyaan-pertanyaan ini sering muncul dengan niat baik. Namun di baliknya tersembunyi asumsi bahwa kuliah atau bepergian adalah hal paling sulit bagi orang dengan disabilitas seperti saya. Pertanyaan itu menempatkan saya di posisi pasif, seolah hidup saya hanyalah rangkaian kesulitan yang perlu disayangkan.
Padahal, saya menyebut diri saya pro player. Bukan karena saya pemain gim profesional, tapi karena saya sudah menghadapi hidup dengan disabilitas low vision selama lebih dari dua dekade. Sebuah periode yang penuh strategi, jatuh-bangun, dan pembelajaran. Dalam dunia gim, pro player bukan soal kemampuan teknis semata, tapi daya tahan, kesabaran, dan kemampuan membaca situasi. Dalam hidup saya, menjadi pro player berarti bertahan dalam sistem sosial yang belum sepenuhnya inklusif.
Karena itu, bagi saya, “bantuan” tidak boleh berhenti pada hal-hal permukaan.
Baca Juga: Saya Ngobrol dengan Empat Jurnalis Disabilitas: Media Perlu Libatkan Mereka di Redaksi
Bantuan yang sejati: Dari teknis ke substansi
Saat menulis skripsi, saya sering mendapatkan tawaran dari teman untuk mengeditkan naskah saya. Niat mereka baik, tentu saja. Tapi saya selalu bertanya, apakah ini bantuan yang benar-benar saya butuhkan?
Mengoreksi tulisan memang membantu di permukaan, tapi tidak menyentuh inti. Saya tidak butuh tangan yang mengedit, tapi saya butuh pikiran yang mau berdialog. Yang saya perlukan adalah teman diskusi yang berani menantang logika saya, mengkritik ide saya, dan menemani proses berpikir yang kadang berantakan. Yang saya butuhkan adalah bantuan yang memperkuat kapasitas berpikir, mendampingi proses pengembangan ide, dan membuka ruang sosial agar saya bisa berkontribusi sebagai subjek penuh—bukan objek yang harus “dibantu” secara instan.
Bantuan teknis itu level ampas, sementara bantuan sejati membantu saya naik level dalam berpikir.
Selain itu, sebagai orang dengan disabilitas yang memiliki otak cenderung mirroring—mudah meniru atau menormalisasi perilaku sekitar—saya sering terjebak menganggap yang umum sebagai yang benar. Orang berbicara seenaknya, saya anggap biasa. Orang berperilaku semaunya, saya ikut menyesuaikan. Padahal, tidak semua yang umum itu pantas.
Di sinilah saya butuh bantuan berbeda. Bukan tangan untuk menarik saya, tapi pikiran yang menuntun. Saya butuh orang yang bisa menunjukkan batas antara kebiasaan sosial dan moralitas, antara normalitas dan kepantasan.
Bantuan jenis ini jarang diberikan karena tidak kasat mata. Tidak terlihat heroik dan tidak bisa diunggah di media sosial. Tapi justru di situ letak nilainya.
Baca Juga: Representasi Kelompok Difabel dalam Riset Masih Minim
Disabilitas sebagai subjek, bukan objek
Kita perlu mendefinisikan ulang makna membantu. Bantuan bukan mengambil alih tugas seseorang atau memberi solusi cepat. Membantu adalah memberi ruang agar seseorang bisa belajar menghadapi kompleksitas hidupnya sendiri. Bantuan sejati membuat seseorang lebih tahan terhadap kesulitan, bukan lebih bergantung pada orang lain.
Ini berlaku untuk semua manusia, bukan hanya orang dengan disabilitas. Siapa pun bisa menjadi pro player dalam hidupnya jika dikelilingi orang yang lebih suka menemani daripada mengatur.
Sayangnya, masyarakat kita masih menilai empati dari yang tampak di permukaan. Mengeditkan skripsi, menjemput, atau menawarkan tumpangan terasa mulia karena cepat, kelihatan, dan bisa dipamerkan. Padahal, membantu seseorang memahami struktur pikirnya atau mengasah kepekaan sosial jauh lebih menantang dan tidak selalu mendapat tepuk tangan.
Bantuan sejati menuntut kesediaan hadir, berpikir, dan bersabar. Itu bukan bantuan yang manis, tapi yang membentuk karakter.
Menjadi orang dengan disabilitas bukan berarti hidup saya hanya berputar di seputar keterbatasan. Saya ingin dikenal bukan karena kekurangan saya, melainkan karena kontribusi saya. Saya ingin dikenal sebagai seseorang yang berpikir, menulis, dan berdialog dengan dunia, bukan sebagai orang “inspiratif” karena mampu bertahan hidup.
Saya butuh lingkungan yang melihat saya sebagai subjek penuh: manusia dengan kehendak, dengan daya, dengan kesalahan dan pembelajaran.
Maka, lain kali ketika seseorang ingin bertanya tentang kuliah atau bepergian, mungkin pertanyaan itu bisa diubah menjadi: “Apa yang sedang kamu tulis?” atau “Bagaimana saya bisa membantumu mengembangkan ide?”
Baca juga: Menggugat Standar Cantik bagi Perempuan dengan Disabilitas Netra
Pertanyaan semacam itu sederhana, tapi mengandung pengakuan bahwa saya adalah manusia yang berpikir, bukan hanya bertahan.
Pada akhirnya, menjadi orang dengan disabilitas bukan tentang kemampuan berjalan atau menulis, melainkan tentang kesempatan untuk tumbuh sebagai manusia yang utuh. Dan dalam hidup ini, setiap pro player tahu: yang paling kita butuhkan bukan penonton yang bersorak, tapi rekan seperjuangan yang mau bertarung di arena yang sama.
Annas Iqwal Perkasa adalah penulis dan pengamat sosial yang percaya bahwa empati sejati bukan dari belas kasihan, melainkan keberanian berpikir bersama.

















