Issues

Digebuk UU ITE, Ironi Narsum Kekerasan Seksual Anak di Luwu Timur

Alih-alih mendapat perlindungan sebagai narasumber dan saksi, “Lydia” malah dikriminalisasi dan ini menunjukkan PR besar institusi kepolisian.

Avatar
  • October 25, 2021
  • 5 min read
  • 306 Views
Digebuk UU ITE, Ironi Narsum Kekerasan Seksual Anak di Luwu Timur

Saya sungguh marah dan tidak menyangka bahwa artikel yang ditulis oleh Eko Rusdianto, seorang wartawan Project Multatuli yang berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan” yang dimuat pada tanggal 6 Oktober 2021, disebut pihak Polres Luwu Timur dalam akun Instagram @humasreslutim sebagai hoaks. 

Dalam konteks jurnalisme, tidak bisa dikatakan secara sepihak bahwa artikel tersebut hoaks apabila belum diuji di Dewan Pers. Harus ada mekanisme sengketa pers ketika ada laporan sebuah artikel yang dinilai tidak berimbang dan diduga menyalahi kode etik. Penyematan “hoaks” merupakan langkah tercepat untuk menangkis pemberitaan yang sifatnya in depth atau sensitif. 

 

 

Label “hoaks” yang disematkan oleh Polres Luwu Timur tersebut perlu mendapat perhatian yang sangat serius dan tidak dapat dinormalisasi oleh institusi kepolisian. Ini merupakan bentuk pencemaran demokrasi pers. Seharusnya, Polres Luwu Timur memberikan klarifikasi secara transparan kepada publik. Bukan haknya untuk memberikan label hoaks yang bukan merupakan kewenangan institusi kepolisian. 

Baca juga: Kasus Pemerkosaan Ketiga Anak Lydia: Aparat Penegak Hukum Bela Siapa?

Polres Luwu Timur Klarifikasi, namun Tidak Merahasiakan Identitas Korban

Sangat disayangkan ketika humas Polres Luwu Timur mengklarifikasi pemberitaan tersebut di akun sosial medianya dengan menyebutkan nama korban dan terlapor secara jelas. Padahal, untuk kasus kekerasan seksual, identitas korban tidak perlu disebutkan dan laporannya sejatinya bersifat rahasia. Sekalipun nama panggilan, wajib inisial nama. Penyebutan nama korban, apalagi di media sosial, akan berdampak trauma terhadap korban. Ia akan mendapat stigma sebagai korban kekerasan seksual hingga ia dewasa. 

Dalam konteks komunikasi atau hubungan masyarakat, sebenarnya tidak layak nama korban disebut dalam press conference atau press release, lengkap dengan kronologi yang detail dan hal sensitif lainnya. Apabila melakukan klarifikasi, pihak berwenang perlu kembali lagi pada prosedural sengketa pers dengan melayangkan hak jawab kepada pihak terkait. 

Baca juga: Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi, Polisi Menghentikan

Kejanggalan dalam Proses Penyelidikan

Saya berkali-kali membaca artikel yang ditulis oleh Eko Rusdianto ini dan saya teringat ketika saya mendampingi korban kekerasan seksual di Kepolisian. Artikel indepth tersebut membuat saya menemukan beberapa clue yang sangat tidak masuk akal sebagai pendamping penyintas kekerasan seksual. Di sana disebutkan, salah satu penyidik menghubungi terduga pelaku dan mengabarkan adanya pengaduan kasus pencabulan. Setelah itu, salah satu penyidik mempertemukan terduga pelaku dengan ketiga korban anak untuk membuktikan apakah mereka trauma atau tidak saat bertemu ayahnya. 

Saya pun terheran-heran, masa ada penyidik dengan dalih sesama aparatur sipil negara saling mengabarkan jika ada laporan? Seharusnya, siapa pun yang jadi terlapor harus diproses tanpa pandang bulu. 

Lalu soal mempertemukan korban dengan terduga pelaku untuk melihat apakah pertemuan tersebut menimbulkan trauma terhadap korban. Hal tersebut sangat tidak masuk akal karena yang semestinya menilai adalah psikolog forensik, bukan penyidik yang tidak mempunyai kapasitas melakukan assessment. Aneh sekali. Bahkan, pertemuan tersebut bisa menjadi pemicu adanya bentuk kekerasan lanjutan, sekalipun korban dan pelaku mempunyai hubungan darah. 

Proses penyelidikan merupakan sebuah proses tindak lanjut pelaporan karena adanya dugaan tindak pidana. Laporan awal tersebut menjadikan dasar adanya peristiwa pidana. Namun, untuk kasus kekerasan seksual yang terjadi di Luwu Timur, penyidik menghentikan penyelidikan atas dasar visum yang memperlihatkan tidak ditemukannya bentuk kekerasan, beranggapan ada motif dendam, dan tidak adanya petunjuk-petunjuk lainnya. Padahal, bukti-bukti awal yang ditemukan oleh penyidik tersebut tidak bisa dikatakan tidak valid, dan yang menguji pembuktian materiil itu bukan di tingkat penyelidikan, melainkan di persidangan. 

Bukannya Usut Kasus, Malah Mengkriminalisasi Narasumber

Kriminalisasi dalam kasus kekerasan seksual bukanlah hal yang pertama terjadi. Baiq Nuril, seorang pegawai sekolah yang menerima pelecehan dari atasannya juga merupakan korban kriminalisasi setelah rekaman pembicaraannya dengan pelaku terungkap. Padahal, rekaman tersebut dibuat untuk dijadikan sebagai alat bukti bahwa ia mengalami pelecehan. 

Dalam kasus “Lydia”, ibu dari tiga anak yang menjadi korban kekerasan seksual di Luwu Timur ini dilaporkan dengan menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU Informasi Transaksi Elektronik. Lydia dapat terancam pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda sebesar Rp400 juta.

Sangat disayangkan, laporan tersebut dibuat oleh mantan suami dan diterima oleh Polda Sulawesi Selatan. Tindakan tersebut merupakan bentuk kriminalisasi narasumber dalam sebuah karya jurnalistik. Apabila dalam karya jurnalistik yang dibuat oleh Project Multatuli tersebut diduga ada pelanggaran secara kode etik, maka penyelesaiannya semestinya menggunakan prosedur sengketa pers di Dewan Pers, bukan melaporkan narasumber secara pidana. 

Lebih lanjut, selain adanya bentuk perlindungan narasumber, saksi maupun saksi korban tidak bisa dilaporkan secara pidana maupun perdata atas kesaksian atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Begitu pula pada tahap penuntutan. Hal ini juga tidak bisa begitu saja dilakukan sehingga penerimaan laporan atas dugaan pelanggaran UU ITE tadi wajib ditunda hingga memperoleh hukum yang tetap dari pengadilan. Ketentuan tersebut juga tertera dalam Pasal 10 UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 

Kasus narasumber Project Multatuli merupakan potret dari satu dari sekian banyaknya kekerasan seksual yang dilakukan baik oleh keluarga, relasi kuasa, bahkan orang lain. Hal ini memperlihatkan betapa sulitnya akses keadilan bagi korban kekerasan seksual, padahal seharusnya setiap warga negara berhak memperoleh rasa aman dan keadilan. 

Di samping itu, kasus ini begitu kompleks: Ketika ia melaporkan kasus yang dialami oleh anak-anaknya, ia kesulitan mendapatkan keadilan, lalu ia membuka suaranya dengan menggunakan media, yaitu Project Multatuli, tetapi setelahnya ia malah dilaporkan dan media tersebut dicap menyebar hoaks oleh kepolisian secara tidak berdasar. 

Tentunya, institusi Kepolisian harus peka dan berperspektif terhadap korban ketika menerima laporan kekerasan seksual dari masyarakat. Seiring dengan itu, pihak legislatif juga perlu segera melakukan pengesahan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual mengingat situasi kedaruratan kekerasan seksual semakin menjadi-jadi. 

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.


Avatar
About Author

Mona Ervita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *