Environment People We Love

Direndahkan karena Kelola Sampah, Cerita Mantan Penakluk Api Jero Sri

Beralih profesi dari pemadam kebakaran ke pengelolaan sampah di TPS3R Bali, Jero Sri hampir tiap hari direndahkan. Namun, ia tak menyerah.

Avatar
  • April 29, 2024
  • 10 min read
  • 821 Views
Direndahkan karena Kelola Sampah, Cerita Mantan Penakluk Api Jero Sri

Pertengahan Maret lalu, saya mengobrol dengan Jero Sri, 51. Ia adalah manajer fasilitas Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R) di Desa Pejeng, Bali. Dalam obrolan virtual itu, Jero bercerita, menjadi pegiat lingkungan tak pernah jadi cita-citanya. Apalagi profesi ini berbeda 180 derajat dari pekerjaan dia sebelumnya sebagai pemadam kebakaran. 

Tekad berkontribusi untuk lingkungan muncul saat melihat Desa Pejeng, tempat tinggalnya, yang merupakan desa wisata. Status sebagai desa wisata, pikir Jero, membuat kampungnya harus selalu bersih. Karena itulah, ia mengusulkan pembangunan TPS3R—yang sebenarnya sudah dibangun sejak 2019 karena desakan pemerintah lewat Peraturan Gubernur Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. 

 

 

Kini Jero berhasil mengajak masyarakat, dan mengepalai 36 kader di Desa Pejeng untuk memilah dan mengolah sampah, supaya bisa dimanfaatkan jadi pupuk kompos. Meski demikian, bukan perkara sederhana untuk membangun kesadaran dan memimpin masyarakat dalam pengelolaan sampah. 

“Kalau jadi pemadam kebakaran tantangannya nyawa. Kalau mengelola kebersihan, kita harus menutup mata tapi melihat, dan menutup telinga tapi mendengar,” kata Jero. 

Kepada Magdalene, Jero membagikan kisahnya. Berikut kutipan obrolan kami. 

Baca Juga: Alasan Ketergantungan Kita pada Plastik 

Sebelumnya Ibu bekerja sebagai pemadam kebakaran. Apa yang membuat Ibu beralih sebagai pengelola TPS3R? 

Saat kembali ke Desa Pejeng, saya merasa desa ini harus bersih. Kalau melihat potensi masyarakat waktu itu, Sumber Daya Manusia (SDM)-nya enggak memungkinkan. 

Lalu kami tukar pikiran dengan pemerintah desa, gimana kalau ada pengelolaan sampah di Desa Pejeng? Ternyata kades (kepala desa) menyambut usulan itu dengan luar biasa. Kata beliau, kita punya bangunannya (TPS3R) sejak 2019, tapi enggak ada yang mengelola. 

Akhirnya saya keliling desa, melihat karakter masyarakat Pejeng. Kira-kira ada kemungkinan enggak untuk pengelolaan? 

Kemudian, kami ajak (masyarakat) milah sampah, sosialisasi di masing-masing banjar (wilayah administratif di desa, setingkat rukun warga). Masyarakat juga menyambut, kades meminta kami mengelola sampah dari nol. Waktu itu diawali dengan pembentukan 36 kader—masing-masing banjar mengirimkan enam orang perempuan dari PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga). Setelahnya ada sharing ilmu tentang pengelolaan dan pemilahan sampah. 

Proses itu dilakukan selama tiga bulan. Kader mengedukasi warga setiap tiga kali seminggu. Akhirnya masyarakat bisa memilah sampah di rumah masing-masing. Ternyata sampai lima tahun pun masih berjalan. 

Fokus awalnya justru pemilahan sampah? 

Iya. Kami punya program bank sampah. Sekitar 2020-2021, warga mulai memisahkan sampah di rumah sesuai kategori. Lalu dikumpulkan di Balai Banjar, berdasarkan jenis organik dan anorganik. 

Tujuannya, sampah yang dibawa ke bank sampah udah terpilah dari pelanggan, bukan dipisahkan di tempat pengelolaan. Kan mengurangi kerja pengepul sampah. Soalnya kalau pengelolaan hanya di TPS, enggak sanggup, (sampahnya) terlalu banyak. 

Setelah beberapa tahun, baru belajar bikin kompos. Ngobrol juga sama orang yang ngerti pengelolaan lingkungan, gimana mengelola kompos yang bagus. Lalu kami didampingi (LSM) Merah Putih Hijau. 

Apakah setelah itu pertanian desa langsung memanfaatkan pupuk kompos? 

Enggak. Para subak (sistem irigasi di Bali) masih enggak percaya kualitas kompos. Mereka mempertanyakan, seberapa hebat kompos mengubah keadaan tanah. Tapi begitu belajar, mendatangkan orang-orang yang paham bidang ini, para subak mulai ngerti. 

Waktu itu kami menggarap satu hektare sawah milik warga selama dua tahun, menggunakan kompos. Ternyata perubahannya luar biasa. Para subak baru percaya di titik panen ketiga, karena hasil panennya enggak anjlok dan tanahnya berkembang. Ini berkat pendampingan selama proses penyemprotan dan pengomposan, jadi struktur tanah lebih gembur dan ekosistem berkembang. Ada capung, kupu-kupu, belut. 

Akhirnya mereka (para subak) percaya, merawat tanah dengan pupuk organik hasilnya luar biasa—walaupun dari segi bisnis enggak seperti yang diinginkan. Hasil padinya juga bagus, nasi enggak akan cepat basi. 

Dari situ, luas sawah yang kami kelola dengan kompos pun bertambah 50 are. 

Baca Juga: Saya Seorang Ibu dan ini Cara Ajarkan Anak Selamatkan Bumi Sejak Dini

Setelah para subak percaya, apakah pemerintah desa mendukung kegiatan TPS3R? 

Iya. Awalnya kami subsidi, mencari donatur. Berhubung sekarang pertanian sudah berdampak positif, kades kami menjadikan program (pertanian organik) sebagai ketahanan pangan. Selain membeli kompos kami untuk suplai petani, petani desa juga menyerahkan program ini pada kami untuk mendampingi petani. 

Dulu (pemerintah) desa belum berani ngajak subak melakukan perubahan, soalnya mereka enggak bisa meyakini bisa melakukan program itu terus-menerus. Takut dana desa enggak menghasilkan apa-apa untuk kegiatan ini. Sekarang kades mulai percaya, petani kan sudah melakukan (pertanian organik) selama dua tahun, kenapa enggak dibantu? 

Berapa harga pupuk kompos yang TPS3R jual ke Pemerintah Desa Pejeng? 

Kami menyalurkannya lewat BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) seharga Rp2.500 per kilogram. Lalu BUMDes menjual Rp3.000 per kilogram ke pemerintah desa. Jadi berbagi hasil. 

Lalu keuntungannya digunakan untuk keperluan TPS3R? 

Dari penjualan kompos digunakan untuk operasional di TPS3R. Soalnya enggak semua kegiatan kami didanai oleh pemerintah desa. Mereka punya ketentuan, apa saja yang bisa digelontorkan untuk TPS3R. Seperti pembelian bahan bakar dan honor tenaga kerja. Kalau fasilitas lain berupa listrik, air, alat tulis kantor, dan Wi-Fi. 

Bisa dibilang pemerintah cukup berkontribusi ya Bu, untuk pertanian organik ini. Kalau petani sendiri bagaimana, apakah mau beralih ke pupuk kompos? 

Memang modal meyakinkan yang harus luar biasa, karena ini urusan kepercayaan. Soalnya, perubahan pupuk kimia ke kompos itu ada penurunan di hasil panen. Sebenarnya enggak signifikan, tapi petani kan terbiasa panen banyak di awal. Pas berkurang jadi kerugian bagi mereka. 

Makanya kami selalu kasih semangat untuk ulang lagi di panen berikutnya. Kami bilang, kalau pakai pupuk kimia kan butuh uang untuk membeli. Kalau kompos dikasih gratis karena pendanaan dari pemerintah desa. Jadi petani cuma perlu membantu melakukan aja. Kami jamin akan ada perubahan lebih baik. 

Peran kami di sini mendampingi, dari awal tanam sampai panen, supaya petani merasa diperhatikan. Apa pun yang mereka butuhkan, kami dampingi. Kami juga memberikan pembelajaran dengan mendatangkan narasumber, waktu itu juga dibantu (peneliti) BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Di situ petani belajar bikin pupuk cair, didanai oleh TPS3R. 

Kalau dari segi pemasaran pupuk kompos, apakah ada kesulitan? 

Dari (pupuk kompos) hasil sampah organik, kami menyediakan lima ton untuk petani. Lalu, kami punya langganan khusus dari dua sekolah internasional di Pejeng. Mereka minta dua ton untuk (kebutuhan) berkebun. 

Tapi karena hanya ada tiga orang di TPS3R yang mengelola kompos, kadang sampai antre dan kami kewalahan. Belum lagi pesanan kompos dari warga yang punya ladang. 

Berarti tiap produksi, pelanggan pupuknya sudah pasti ya. Tapi selain pupuk, apakah TPS3R punya hasil lain dari pengolahan sampah? 

Kami membuat pengelolaan maggot, (sumbernya dari) sampah buah yang membludak. Biasanya yang ngambil (maggot) di sini peternak ayam aduan, dan yang memelihara burung di rumah. 

Selain itu, kami juga berkebun. Hasil dari kebun dijual sesuai kebutuhan warga. Misalnya bunga kenikir untuk canang, sayur-mayur. Nah, kalau posyandu buka, beli sayurnya di kami. 

Pengelolaan maggot dan kebun itu dari kapan, Bu? 

Kalau maggot dari 2003. Sedangkan kebun baru tahun ini karena sebelumnya saya menolak, takut kami enggak bisa mengerjakan karena sedikit SDM-nya. Beberapa tahun kemarin kan kami fokus pendampingan ke desa-desa lain, sekarang stand by di TPS3R. 

Memangnya ada berapa orang staf, Bu, di TPS3R? 

Tujuh orang: pengangkut (sampah) tiga orang, pengelola kompos tiga orang, dan saya manajer fasilitas. 

Lalu apa Bu, tantangannya bersama 36 kader mengelola TPS3R? 

Masyarakat suka melakukan hal berlawanan dari tindakan positif, atau sesuatu yang dilarang. Disuruh memilah (sampah), malah dicampur. Tapi dari situ, kami belajar banyak hal. Memang pendekatan ke warga pelan-pelan sekali. 

Misalnya ada yang bakar sampah, kami tanya, “Kira-kira warga dekat sini sesak enggak (karena asapnya)?” Lewat hal-hal mudah saja, dikasih pembanding. Enggak perlu sesuatu yang (kesannya) jenius. Soalnya, masyarakat enggak mau mendengar kita terlalu pintar, biarkan mereka sadar (dengan perilakunya). Ya itu enggak gampang karena kebanyakan masyarakat mau terlihat tampil di depan kita. 

Kalau hanya melakukan atas nama pekerjaan, mungkin kami enggak sejauh ini. Tapi kalau ingin ada hasil, harus siap mental untuk melakukan lebih (ekstra). Yang penting sabar dan sungguh-sungguh melakukannya. 

Baca Juga: Hal-hal Kecil Ini Bisa Bikin Kamu Lebih Ramah Lingkungan di 2024

Apakah perlakuan itu juga karena ibu dan kader lainnya perempuan? 

Ya istilahnya perempuan dilihat enggak bisa melakukan hal seperti ini. Orang-orang menganggap perempuan lemah ketika mereka bergerak. Saya mau mengubah itu. Perempuan kuat karena kami berkumpul dengan visi misi yang sama. Kami “diangkat” karena melakukan hal positif. 

Mungkin awalnya dianggap enggak bisa melakukan hal sebesar ini karena dibandingkan dengan laki-laki (di Desa Pejeng). Mereka berulang kali melakukan kegiatan ini, tapi cuma bertahan dua bulan. Setelah itu bubar. Makanya setiap melangkah, kami mendengar ucapan, “Oh paling cuma dua bulan terus bubar.” 

Upaya apa saja yang dilakukan bapak-bapak waktu itu, dan membedakan dengan yang Ibu lakukan? 

Mereka mengelola bank sampah di banjar-banjar. Ada juga pemungutan sampah, tapi masih tercampur (enggak dikategorikan berdasarkan jenisnya). Akhirnya pun mandek, lalu karyawannya bubar. 

Permasalahan kecil sebenarnya dari SOP (Standard Operational Procedure) kerja. Saya melihatnya enggak ada acuan program ke depan. Dan SDM itu penting sekali untuk pengelolaan sampah. 

Kalau mental SDM-nya kurang bagus, mungkin enggak bisa berjalan lama. Soalnya sulit mengubah image di masyarakat, bahwa mengelola sampah itu menangani kebersihan lingkungan, bukan orang-orang kotor. 

Bagaimana Ibu melalui situasi itu? 

Imej itu yang berusaha saya ubah lewat TPS3R. Jadi TPS3R enggak harus kotor, tapi rapi dalam penataan, enak dilihat, dan benar-benar apik dalam bekerja. Yang bekerja di sini pun merasakan kedamaian, kepositifan, dan perubahan pola pikir. 

Kemudian menanamkan mental, bahwa kami bukan orang yang bisa dianggap rendah karena melakukan hal yang ada “di bawah”. Saya ingin mengangkat pengelolaan sampah sebagai hal besar, bisa mengubahnya jadi berguna. 

Itu yang saya sampaikan pada kader yang sosialisasi ke warga. Jangan pernah menyerah. Keyakinan saya pun tinggi, makanya yakin pasti bisa. Kalau saya bisa, orang lain bisa. Dan kami berjuang bukan hanya untuk diri sendiri, tapi manfaatnya untuk banyak orang. 

Itu yang mendasari kenapa saya masih kuat di sini. Kami juga biasa dipanggil tukang sampah. Tapi enggak masalah. Apa sih arti sebuah panggilan? 

Ibu kuat sekali menghadapi tantangannya. Apakah kekuatan itu juga berkat support system? 

Dukungan suami dan anak-anak dari awal yang luar biasa. Karena itu, saya sarankan ibu-ibu kader untuk berbicara pada suami dan anaknya, kalau menjalankan kegiatan ini akan jadi bahan ejekan. Tolong berikan pemahaman pada keluarga, yang kami lakukan bukan hal negatif. 

Apa harapan Ibu ke depannya untuk TPS3R? 

Masyarakatnya semakin mau berinovasi dan peduli, untuk mengelola lingkungan dengan hal-hal menarik. Selain itu, mungkin kami (pengelola TPS3R) bisa menjadi pegawai tetap ya. Soalnya selama ini kami tenaga honorer tanpa ikatan pasti. Insentif per bulan Rp150.000. 

Ya mudah-mudahan juga masyarakat enggak memandang kami (pengelola sampah) rendah. Kami ingin pekerjaan ini dianggap berguna, bermanfaat untuk Bumi. 

Kalau ada yang bisa dievaluasi dari pengelolaan TPS3R atau kerja sama dengan petani organik dan pemerintah, ada yang ingin Ibu sampaikan? 

Mungkin ke depannya akan menjadi ancaman, ketika petani lelah mengelola sawah dan ingin menjualnya. Soalnya kalau (sawah) dimanfaatkan jadi bangunan, nilai jualnya lebih tinggi. 

Menurut saya, inovasi ke depannya mungkin butuh peralatan lebih canggih untuk mengelola sawah, sehingga lebih sedikit tenaga yang keluar tapi hasil panennya sama baiknya. Kan kalau ada tenaga mesin, mempermudah pekerjaan para petani. Mereka enggak terbebani. 

Kalau petani senang melakukan pekerjaannya, sawah pun enggak dijual. Tapi hasil panennya pun harus bisa dibeli dengan nngilai tinggi. 


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *