Kasih Sayang yang Diajarkan Bersama: Membaca ‘Genie, Make a Wish’ lewat Lensa Pengasuhan Kolektif
*Artikel ini mengandung spoiler
Bagi sebagian orang, akting Bae Suzy sebagai Ka Young dan Kim Woo-bin di Genie, Make a Wish cukup mengocok perut. Serial Netflix yang tayang pada (6/10) ini berhasil mencuri perhatian penonton lewat genre fantasi dan komedi romantis. Apalagi ditambah kehadiran Song Hye Kyo sebagai cameo yang mengerek popularitas serial tersebut.
Selain menyoroti kisah cinta unik antara setan dan manusia, drama ini juga membawa isu menarik tentang pengasuhan kolektif. Diceritakan, Ka Young merupakan anak yang memiliki masalah kepribadian psikopat dan dibuang ibunya untuk tinggal bersama sang nenek di desa.
Baca Juga: Kematian Ibu di Bandung: Utang, Kemiskinan, dan Beban Tak Terlihat Perempuan
Ka Young tidak memiliki rasa bersalah, sedih, dan empati seperti anak seusianya. Bahkan guru di sekolahnya menyerahkan Ka Young pada nenek. Mereka frustrasi menghadapi Ka Young yang enggak menurut. Upaya nenek mengajarinya agar bisa hidup tanpa menyakiti orang lain pun kandas. Ka Young memang cenderung menyakiti bahkan membunuh orang tanpa merasa bersalah.
Cerita kian menarik saat nenek memutuskan Ka Young diasuh oleh warga desa, berdasarkan cara masing-masing. Warga desa inilah yang akhirnya mengajarkan Ka Young tentang rasa takut, waspada, hingga kasih sayang.
Dengan begini nenek Ka Young tidak memikul beban pengasuhan sendirian. Warga desa saling bantu mengajari Ka Young menjadi manusia yang tidak menyakiti orang lain. Pengasuhan warga desa berhasil dan Ka Young tumbuh menjadi anak yang berani dan pekerja keras. Meski kecenderungan menyakiti orang lain masih ada, ia bisa menahan diri berlandaskan pelajaran yang telah ia terima dari warga desa.
Pengasuhan kolektif warga desa terhadap Ka Young nyatanya memang jadi bagian kebudayaan masyarakat di berbagai daerah, terutama Asia. Enggak hanya di Korea Selatan, budaya ini juga eksis di Indonesia sejak era baheula.
Hal tersebut tertuang dalam penelitian antropolog Hildred Geertz dalam bukunya The Javanese Family: A Study of Kinship and Socialization in Modjokuto (1961). Geertz menemukan pola pengasuhan masyarakat tradisional Indonesia, khususnya Jawa, yang komunal dan kolektif. Artinya, tanggung jawab anak tidak hanya milik orang tua saja tapi juga komunitas. Misal, tetangga di sebelah rumah hingga tokoh masyarakat di daerah setempat.
Selain di Jawa, budaya tersebut juga diterapkan oleh suku lain di Indonesia. Minangkabau memiliki sistem kekerabatan matrilineal yang bikin pengasuhan anak jadi tanggung jawab bersama keluarga besar dari pihak ibu. Anak-anak tidak hanya dibimbing ibu, tetapi juga mamak (paman dari pihak ibu). Tak heran jika dalam sistem ini, anak tumbuh dengan banyak figur panutan, dari tanggung jawab, kerja keras, dan hubungan sosial.
Pola serupa juga bisa ditemukan di Bali. Di sana ada sistem banjar yang bukan hanya mengatur kegiatan adat, tetapi juga jadi wadah solidaritas sosial antarwarga. Ketika ada anak yang kesulitan atau keluarga yang sedang menghadapi masalah, warga biasanya turun tangan membantu. Entah dalam bentuk tenaga, waktu, maupun perhatian.
Semangat pengasuhan kolektif tersebut masih dapat ditemukan hari ini. Misal pada kisah yang dialami oleh Devit Febriansyah, remaja asal Nagari Malalak Timur, Kabupaten Agam, Sumatera Barat yang dinyatakan lolos masuk Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui jalur prestasi. Namun karena keterbatasan ekonomi, Devit merasa pesimis untuk bisa pergi kuliah ke Bandung.
Ayahnya hanya pekerja kuli angkut kayu manis, ibunya menyisir kulit kayu manis untuk dijual. Namun, warga di kampungnya tidak membiarkan Devit menyerah. Mereka berinisiatif mengumpulkan uang patungan untuk membantu biaya keberangkatan dan kebutuhan kuliah Devit.
Uang itu dikumpulkan dari pendapatan warga. Mereka juga menyumbang makanan, peralatan, bahkan tenaga untuk membantu persiapannya merantau.
Inisiatif warga menjadi bukti pengasuhan kolektif masih hidup di tengah masyarakat Indonesia hari ini, meskipun dalam bentuk yang baru. Warga kampung menjadi “orang tua kedua” bagi Devit, memastikan bahwa beban pendidikan tidak hanya dipikul keluarganya, tetapi menjadi tanggung jawab bersama.
Namun, kisah Devit nyatanya hanya terjadi di daerah pedesaan. Sebab, di kota-kota besar masyarakat umumnya tak lagi punya waktu dan tenaga untuk bisa melakukan pengasuhan kolektif bagi anak di sekitarnya. Sistem kapitalisme memaksa warga kota bekerja tanpa henti demi memenuhi kebutuhan dasar, seperti membayar kontrakan, cicilan, biaya sekolah, dan kesehatan.
Sosiolog David Harvey menyebut sistem kapitalisme modern menciptakan kondisi “alienasi sosial”. Kondisi yang membuat hubungan antar-individu melemah karena semua hal diukur dengan nilai tukar dan produktivitas.
Hal ini juga berdampak pada pola pengasuhan: Anak-anak dibesarkan oleh lembaga formal seperti sekolah dan daycare. Sementara orang tua bekerja dari pagi hingga malam. Tanggung jawab sosial yang dulu milik komunitas perlahan bergeser menjadi tanggung jawab privat, bahkan transaksional.
Baca juga: ‘Ratu Ratu Queens: The Series’ dan Collective Care yang Menyelamatkan Mereka
Padahal, dalam konteks budaya Indonesia, pengasuhan kolektif tidak cuma berarti “membantu mengasuh anak orang lain,” tetapi juga membangun jaringan solidaritas sosial yang melahirkan rasa aman dan saling percaya di tengah masyarakat. Ketika nilai-nilai ini memudar, yang hilang adalah kebersamaan dan kemanusiaan.
Genie, Make a Wish menjadi pengingat manusia memang tidak bisa hidup sendirian. Sering kali ikatan sosial ini membantu kehidupan kita jadi lebih mudah dijalani. Setidaknya ini terbukti di diri Ka Young.
Pesan tersebut terasa hangat jika ditelisik lebih jauh, dan relevan di tengah masyarakat yang mulai kehilangan ruang bersama. Sebab hari ini, sejauh apa kita mengenal tetangga di sekeliling rumah, sebaik apa hubungan kita dengan masyarakat sekitar. Karena pada umumnya, hari ini setiap keluarga hanya berlomba mengejar stabilitas ekonominya sendiri tanpa sempat menoleh ke sekitar. Hal itu membuat kehidupan terasa dingin dan menimbulkan perasaan kesepian bagi individu yang tinggal di dalamnya.
















