Korean Wave

6 Alasan Mengapa ‘River Where the Moon Rises’ Bukan Drakor Sejarah Biasa

Drama bergenre sejarah ini sebuah tontonan bermutu untuk para feminis penggemar drakor.

Avatar
  • June 9, 2021
  • 6 min read
  • 2486 Views
6 Alasan Mengapa ‘River Where the Moon Rises’ Bukan Drakor Sejarah Biasa

Cukup berbeda dengan sinetron Indonesia yang cenderung meromantisasi penderitaan dan pengorbanan perempuan, industri drama Korea Selatan banyak mengangkat isu-isu yang relevan dengan dinamika kehidupan perempuan, termasuk dalam drakor bergenre sejarah. Salah satu drakor sejarah terbaru yang sangat layak untuk ditonton, terutama karena kisahnya berpusat pada kehidupan tokoh utama perempuan adalah River Where the Moon Rises.

Terlepas dari kontroversi terkait penggantian aktor utama yang terlibat kasus kekerasan masa sekolah di saat awal penayangannya, yang sempat menjadikan drama ini topik pembicaraan populer di kalangan penggemar drama Korea domestik dan internasional, ada beberapa poin yang menjadikan drama ini sebuah tontonan bermutu untuk para feminis penggemar drakor (catatan: spoilers ahead).

 

 

 

1. Drakor ‘River Where the Moon Rises’ Bukan Cerita (Cinta) Putri Biasa

 

Cerita River Where the Moon Rises ditulis berdasarkan kisah rakyat populer dari Dinasti Goguryeo mengenai Ondal (diperankan Na In Woo) dan Putri Pyeonggang (Kim Sohyun) dari catatan sejarah kuno Babad Tiga Kerajaan (Samguk Sagi). Putri Pyeonggang, yang merupakan anak perempuan Raja Pyeongwon, adalah simbol istri setia. Kisah cintanya dengan Jenderal Ondal dianggap sebagai kisah fenomenal perempuan bangsawan dengan laki- laki rakyat jelata.

Baca juga: Drakor ‘Mr. Queen’, Aset Negara dan Bentuk ‘Soft Power’ Korea Selatan 

Premis ini lalu dikembangkan oleh drakor River Where the Moon Rises dengan sedikit berbeda. Alih- alih seorang putri raja cengeng yang ditakut-takuti oleh ayahnya untuk menikahi sosok pemuda jelata jelek dan bodoh bernama Ondal (di Korea dikenal sebagai “pabo Ondal” atau Ondal si bodoh), sosok Putri Pyeonggang di drama ini adalah seorang perempuan yang kuat dan ambisius. Memiliki ibu seorang ratu yang berkarakter pemimpin (Ratu Yeon, juga diperankan oleh Kim Sohyun), Putri Pyeonggang bercita-cita menjadi kaisar perempuan pertama Goguryeo. 

Sayangnya, cita- cita ini harus kandas karena tragedi berlatar belakang politik yang memaksa Pyeonggang untuk meninggalkan kehidupan istana serta menjalani hidup yang penuh liku. Takdir kemudian mempertemukannya dengan Ondal, putra seorang jenderal bersahaja yang jauh dari kehidupan politik. Mereka pun saling jatuh cinta.

Berbeda dari kebanyakan kisah cinta putri tipikal dengan premis damsel in distress, drama River Where the Moon Rises ini justru menggambarkan sosok putri ksatria yang tidak perlu menunggu untuk diselamatkan oleh laki-laki. Putri Pyeonggang dikisahkan memiliki kapasitas untuk memilih pasangan hidup serta jalan hidupnya sendiri, seorang ikon feminis pada zamannya.

 

2. Power Couple dalam Drama Korea

 

Catatan klasik dari Babad Tiga Kerajaan mengisahkan bagaimana Putri Pyeonggang membantu suaminya, Ondal, menjadi seorang jenderal hebat di Goguryeo. Hal ini pun digambarkan secara apik dan lebih heroik dalam River Where the Moon Rises. Di drama ini, Putri Pyeonggang turun tangan melatih suaminya untuk bela diri serta belajar strategi militer. Sang putri juga bergantian memimpin pertempuran bersama suaminya untuk membela kerajaan mereka dari serangan musuh dari Zhou Utara (China) dan Kerajaan Silla. 

Kita disuguhi adegan peperangan apik, yang meski merupakan hasil syuting ulang namun tidak mengurangi kualitasnya, dengan berbagai aksi laga impresif yang dilakukan sendiri oleh Kim Sohyun dan Na In Woo. Mereka adalah power couple pada zamannya, yang saling mendukung dan melindungi. 

 

3. Pentingnya Allyship yang Mutual 

 

Jika berbicara soal perjuangan keadilan sosial, termasuk perjuangan perempuan, kita tidak bisa mengesampingkan salah satu aspek penting, yaitu allyship alias persekutuan atau kerja sama antar pihak yang memiliki privilese dengan kelompok-kelompok yang termarginalisasi. 

Pada drama River Where the Moon Rises, hal ini tercermin dari hubungan antara Pyeonggang dengan Ondal dan klannya, suku Sunno yang diasingkan karena dituduh sebagai pengkhianat bangsa. Pyeonggang menggunakan privilese politiknya sebagai seorang putri untuk membantu Ondal dan suku Sunno untuk mendapatkan kembali hak mereka sebagai anggota lima suku pendiri kerajaan. Sebaliknya, Ondal beserta sukunya menjadi pendukung utama Pyeonggang, seorang perempuan yang pada saat itu dianggap tidak mumpuni seperti laki- laki, untuk bisa menjadi seorang pemimpin. 

Baca juga: 5 Drakor dengan Karakter Perempuan yang Anti-Stereotip

Ondal pun dengan tegas menyatakan bahwa ia akan mendukung Pyeonggang jika sang putri memilih naik takhta menjadi kaisar perempuan pertama di Goguryeo. Begitu pula dengan para tetua suku Sunno serta kedua sahabat Pyeonggang, si kembar Tara Jin dan Tara San yang merupakan “imigran” dari suku nomaden Göktürk yang percaya pada kapasitas Pyeonggang sebagai pemimpin.

 

4. Tokoh-tokoh Perempuan Kuat dan Problematika Perempuan 

 

Yang menarik dari drakor sejarah River Where the Moon Rises selain mengenai kehidupan tokoh utama Putri Pyeonggang, adalah penggambaran beberapa tokoh perempuan kuat lainnya beserta problematika masing-masing. 

Yang pertama adalah Ratu Yeon, ibunda sang Putri, yang memiliki karakter ksatria yang mirip dengan Pyeonggang, namun sialnya memiliki suami yang pencemburu. Ada pula Hae Moyong, imigran dari Silla yang menjadi anak angkat salah satu tetua suku. Meski cenderung antagonistis di awal, terkesan oportunistis dan bucin terhadap Jenderal Go Geon (pewaris suku Gyeru, musuh utama Putri Pyeonggang dan Ondal), Moyong adalah perempuan pebisnis ulung yang berhasil bertahan hidup di zaman di mana perempuan banyak tidak diuntungkan. 

Sosok-sosok perempuan kuat lainnya adalah Tara Jin, yang beralih dari seorang pembunuh bayaran menjadi prajurit pengikut Pyeonggang, dan Nyonya Sa, ibu pengasuh Ondal, yang setia membesarkan Ondal meski memiliki keterbatasan fisik.

5. Happy Ending Bukan Sebuah Dosa!

Twist cantik di akhir diberikan oleh sutradara dan penulis naskah, sebagai “hadiah” untuk para penggemar setia drama ini. Meski terlihat klise karena mengarah pada penggunaan teknik plot ‘Deus Ex Machina’, alias pemakaian peristiwa yang tak diduga-duga, drama ini memberikan alternatif kebahagiaan yang pantas didapatkan oleh perempuan mana pun. Kebebasan untuk memilih jalan hidup yang diinginkan bersama orang-orang yang dicintainya, terlepas dari standar yang berlaku.

6. Ensemble Cast yang Luar Biasa

Meski banyak yang menyangsikan kelanjutan drama ini setelah permasalahan serius pergantian aktor yang menimpanya, drama ini dapat mempertahankan rating penayangan cukup tinggi hingga akhir karena kualitas akting dan komitmen jajaran pemerannya yang luar biasa. 

Baca juga: Racun Mitos Kisah Cinta Fantasi dalam Drama Korea

Kim Sohyun dan Na In Woo mendapatkan nominasi aktor terbaik pada ajang penghargaan bergengsi di Korea, yaitu Baeksang Arts Awards 2021. Selain itu, Kim Sohyun terkenal sebagai aktor yang sering memilih karakter perempuan kuat untuk diperankannya. Na In Woo pun pernah berperan di web drama bertema feminisme untuk anak muda, berjudul It’s Okay to be Sensitive. Tidak heran jika keduanya dapat menggambarkan dinamika Pyeonggang dan Ondal yang revolusioner di drama ini, sehingga menjadikan drama ini tontonan yang sangat layak untuk diapresiasi. 

Lola Devung adalah seorang feminis interseksional yang memiliki ketertarikan pada dunia budaya pop, terutama yang berkaitan dengan Hallyu Wave.



#waveforequality


Avatar
About Author

Lola Devung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *