Dua Sisi ‘Wahyu’: Bongkar Kekerasan di Pesantren, tapi Masih Homofobik
*Peringatan pemicu: Homofobia dan kasus kekerasan seksual di pesantren.
Masyarakat sempat dihebohkan dengan kasus kekerasan seksual yang menimpa puluhan santri laki-laki di Agam, Sumatera Barat 2024 silam. Dua pelaku yang berstatus ustaz di pondok pesantren (ponpes) tersebut terbukti melakukan kekerasan seksual sejak 2022.
Selain dilakukan pengurus ponpes, kekerasan seksual lelaki dengan lelaki juga terjadi di kalangan sesama santri. Sejumlah alumni pesantren menceritakan pengalamannya, baik ketika menjadi korban atau saksi.
Hal tersebut juga terlihat dalam penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Jakarta (2025), yang menemukan lingkungan pesantren berisiko tinggi terhadap kasus kekerasan seksual.
Pada penelitian tersebut ditemukan santri laki-laki lebih rentan alami kekerasan seksual ketimbang perempuan. Pemicunya struktur kekuasaan yang hierarkis, kultur kepatuhan mutlak terhadap kyai atau ustaz, serta minimnya ruang aman bagi santri untuk melapor.
Kehidupan di pondok asrama yang tertutup di sisi lain, bikin santri laki-laki lebih sering berinteraksi dengan pengasuh atau santri senior laki-laki. Alhasil, potensi terjadinya kekerasan seksual sesama jenis meningkat.
Selain itu, kuatnya budaya maskulinitas di lingkungan pesantren menyebabkan korban laki-laki enggan bercerita lantaran takut dianggap “tidak jantan. Dalam banyak kasus, pelecehan seksual yang dilakukan oleh sesama santri atau ustaz kerap dibungkam dengan dalih menjaga nama baik lembaga.
Kecenderungan pesantren menjadi tempat terjadinya kasus kekerasan seksual lelaki digambarkan dalam film pendek berjudul Wahyu (2024). Meski durasi film hanya 15 menit, tapi buat saya cukup berhasil mengangkat isu sensitif yang kerap ditabukan.
Film berfokus menceritakan Wahyu, santri baru pindahan di ponpes. Pada awal kepindahannya, Wahyu digambarkan mudah melebur dengan rekan sekamar. Ia juga mengoreksi hapalan temannya, menandakan ilmu dan kemampuan agamanya lebih unggul dari rekan yang lain.
Sementara rekan sekamar wahyu merupakan orang Tuli dan disabilitas wicara, Kholis. Konflik dimulai ketika suatu malam Kholis mendapati Wahyu melakukan tindak kekerasan seksual berupa penetrasi saat rekan lain sedang tertidur.
Sadar Kholis memergokinya, Wahyu mulai mengintimidasi Kholis keesokan hari agar ia tidak membuka mulut. Ancaman itu berhasil. Kholis memilih diam, terjebak antara rasa takut dan ketidakberdayaan.
Di malam lain, Kholis kembali memergoki Wahyu melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap rekan sekamarnya yang tertidur. Tak sanggup menahan rasa bersalah dan ketakutan, ia berlari mencari ustaz untuk melaporkan perbuatan itu. Sayang, keterbatasan komunikasinya membuat laporan tersebut gagal dipahami. Wahyu lolos tanpa konsekuensi.
Tragedi berulang. Pada malam berikutnya, Wahyu mencoba menyerang Kholis yang sedang tertidur. Ia terbangun dan melawan. Perkelahian pun pecah hingga membangunkan ustaz dan para santri lain. Ironisnya, Kholis justru dianggap sebagai pihak bersalah dan akhirnya dikeluarkan dari pesantren karena tak seorang pun memahami alasan di balik tindakannya malam itu.
Film Wahyu tidak hanya menampilkan sisi gelap kekerasan, tetapi juga menyoroti rapuhnya sistem perlindungan di ponpes. Melalui sosok Kholis, penonton diajak melihat bagaimana korban kerap kehilangan suara bukan karena diam, tetapi karena sistem tidak memiliki bahasa untuk mendengarkan mereka.
Film ini memperlihatkan kekerasan bisa terus terjadi bukan semata karena pelaku kuat, tetapi karena sistem yang lemah, menutup mata, dan lebih sibuk menjaga citra ketimbang melindungi korban.
Baca Juga: Saat Muslimah Tahu yang Dimau: Membaca Lagi Adegan Seks dalam ‘Perempuan Berkalung Sorban’
Akar Kekerasan Seksual Lelaki di Pesantren
Rawannya pesantren menjadi tempat kekerasan seksual, sebenarnya menarik perhatian pemerintah. Melalui Kementerian Agama (Kemenag), pemerintah mulai mengambil langkah dengan menerbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Keagamaan.
Regulasi ini mengatur setiap lembaga pendidikan keagamaan, termasuk pesantren, wajib memiliki satuan tugas (satgas) pencegahan kekerasan seksual, mekanisme pelaporan, serta prosedur penanganan korban yang berperspektif perlindungan.
Terbaru, pemerintah juga tengah menyiapkan peta jalan pengembangan Pesantren Ramah Anak yang tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 91 Tahun 2025. Kebijakan ini menjadi kelanjutan dari upaya pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan keagamaan, dengan menekankan pada pembentukan lingkungan pesantren yang aman, inklusif, dan berperspektif hak anak.
Dalam peta jalan tersebut, Kemenag mengatur standar kompetensi ustaz dan ustazah. Tidak hanya dari aspek pedagogik dan profesional, tetapi juga dari segi kepribadian dan sosial, agar pendidik memiliki kepekaan terhadap isu kekerasan dan mampu menciptakan relasi kuasa yang sehat antara pengajar dan santri.
Namun, kedua upaya tersebut nyatanya tidak menyentuh akar dari rawannya pesantren menjadi tempat kekerasan seksual selama jenis. Sebab, tanpa perubahan kultur dan relasi kuasa di lingkungan pesantren, kebijakan formal hanya akan berhenti pada tataran administratif.
Kecenderungan santri melakukan kekerasan tidak bisa dilepaskan dari minimnya pendidikan seksualitas dan perspektif gender di lingkungan pesantren. Isu kekerasan seksual masih dianggap tabu untuk dibicarakan, terlebih jika melibatkan sesama jenis. Padahal, pemahaman yang keliru tentang seksualitas, relasi kuasa, dan konsep persetujuan berperan besar dalam melanggengkan praktik kekerasan di ruang-ruang tertutup seperti asrama.
Selama pesantren tidak membuka ruang bagi pendidikan seksualitas yang komprehensif dan berpijak pada perspektif gender yang adil, kekerasan seksual akan terus berulang dengan pola serupa. Banyak pesantren masih memandang pembahasan seksualitas sebagai hal dosa atau penyimpangan, bukan sebagai bagian dari pendidikan moral dan kemanusiaan. Akibatnya, santri kehilangan kesempatan untuk memahami tubuhnya, mengenali batasan diri, serta belajar menghormati persetujuan dalam relasi.
Maka dari itu, Wahyu bukan hanya menjadi film yang berani membongkar realitas gelap pesantren, tetapi juga sebuah seruan moral agar lembaga keagamaan mulai membuka ruang dialog tentang seksualitas, kekerasan, dan kemanusiaan. Film ini menantang pandangan lama, pembahasan tentang tubuh dan seksualitas adalah hal tabu. Sebaliknya, diamnya institusi atas nama baik dan masyarakatlah yang membuat kekerasan terus terjadi dalam sunyi.
Baca juga: In the Name of Pesantren’s Reputation, Sexual Violence Is Pushed Aside
Homofobik
Meski Wahyu berhasil menyoroti kebobrokan sistem pesantren yang jarang diangkat ke layar, film ini juga meninggalkan persoalan serius karena narasinya masih sarat bias dan homofobik.
Sejak sinopsis awal, penonton langsung dibuat gelisah oleh diksi “penyimpangan seksual” untuk menggambarkan ketertarikan Wahyu terhadap sesama laki-laki. Sinopsis itu bahkan menyebut Wahyu masuk pesantren demi memuaskan hasrat seksualnya. Narasi semacam ini menautkan kekerasan seksual dengan orientasi seksual, sebuah asumsi keliru nan berbahaya.
Padahal, kekerasan seksual tidak pernah soal orientasi, melainkan penyalahgunaan kuasa, absennya empati, dan hilangnya pemahaman tentang persetujuan. Melihat pelaku dari moralitas orientasinya justru menutupi akar masalah sesungguhnya.
Secara visual, film ini juga problematis. Kamera kerap menyorot tubuh laki-laki, baik dada, perut, otot dengan framing yang terkesan mengobjektifikasi. Beberapa adegan eksplisit menampilkan tubuh dengan cara yang lebih menggugah sensasi daripada memperkuat makna cerita. Tanpa eksploitasi visual semacam itu, pesan film tetap bisa tersampaikan.
Representasi ini berisiko memperkuat pandangan keliru bahwa keberagaman gender dan orientasi seksual adalah ancaman moral. Alih-alih membuka ruang empati, film justru menegaskan prasangka yang selama ini membuat kelompok tertentu terus disisihkan.
Pada akhirnya, Wahyu menjadi cermin betapa masyarakat kita masih belum siap menerima keberagaman identitas dan ekspresi gender. Industri film yang mestinya jadi ruang refleksi sosial, masih kerap mereproduksi nilai moral lama yang bias agama dan heteronormatif.
Ketika film seperti ini mendapat ruang tayang luas dan bahkan memenangkan penghargaan, seperti kategori Pilihan Penonton di Jakarta World Cinema 2025, itu menandakan satu hal: Bias terhadap keberagaman masih dinormalisasi di ruang publik.
Membongkar sisi gelap pesantren memang langkah penting dan berani. Namun tanpa perspektif inklusif dan pemahaman mendalam tentang gender serta seksualitas, kritik tersebut berisiko kehilangan arah. Bahkan melanggengkan prasangka baru yang sama berbahayanya.
















