Saya Ngobrol dengan Edo, Bapak-bapak Depok yang Sulap Sampah Popok jadi Pot
Pandawara Group kembali jadi sorotan setelah mengunggah video aksi bersih-bersih sungai di media sosial pada (21/7) lalu. Dalam video tersebut, salah satu anggota kelompok terlihat mengangkat tumpukan sampah popok sambil menyindir pihak yang dianggap bertanggung jawab.
“Bunda-bunda jangan pada jorok dong,” tulis Pandawara dalam pembuka video, sambil memamerkan popok bekas yang mereka temukan di aliran sungai.
Pernyataan ini memicu perdebatan publik, terutama karena menyasar kelompok ibu-ibu tanpa mempertimbangkan konteks lebih luas tentang pengelolaan limbah domestik.
Namun berbeda dengan pendekatan Pandawara, Edo, 60, warga Kampung Rawageni, Depok, memilih jalur lain dalam menangani masalah limbah popok. Ia tidak menyalahkan satu pihak tertentu, melainkan melihat permasalahan ini sebagai tanggung jawab bersama.
Sejak beberapa tahun terakhir, Edo aktif mengolah popok bekas menjadi pot tanaman yang bisa digunakan kembali.
“Limbah popok bayi ini tidak bisa sembarangan. Jadi saya berupaya memilah dan memanfaatkan (limbah popok) sesuai dengan fungsinya,” ujarnya pada Magdalene.

Di Indonesia, penggunaan popok diperkirakan menyentuh 17,44 juta per hari. Dari catatan Badan Pusat Statistik (BPS) di 2023, potensi penggunaan tersebut diperkirakan bisa menciptakan limbah popok sebanyak 3488 ton per hari.
Menyadur laman resmi Badan Riset dan Inovasi Indonesia (BRIN), Lies Indriati, periset Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih (PRLTB) bilang, hal ini diperparah dengan belum adanya regulasi pengolahan limbah popok yang memadai di Indonesia.
“Masalahnya klasifikasi sampah produk penyerap higienis ini belum ada. Padahal risiko pencemaran lingkungan muncul dari bahan-bahan baku penyusunnya,” kata Lies.
Baca juga: Dari Kompos ke Komunitas: Perempuan Petani Kota Menanam Harapan di Tengah Beton
Apa Motivasi Edo?
Sebagai warga Depok, Edo bilang pengelolaan limbah popok di daerahnya masih jauh dari harapan. Karena itu, ia pun mulai memilah sampah popok yang ada di sekitar rumahnya.
“Jadi setor aja ke pegiat lingkungan di tiap RT baru ke saya,” kata Edo.
Edo sadar butuh waktu lama untuk mengolah limbah popok supaya bisa terurai sempurna. Dari hal ini, ia pun berupaya mencari cara untuk mengubah limbah popok, yang mayoritas bahannya dari poliester, menjadi sesuatu yang punya nilai pakai lagi.
“Saya memikirkan bahwa bagaimana nih limbah sampah ini, khususnya popok bayi, bisa saya jadikan sesuatu untuk mengurangi residu. Karena kan ini popok bayi ini kan tidak lunak selama ratusan tahun lamanya. Jadi saya berinisiatif nih untuk membuat kemasan pot tanaman dari limbah popok bayi,” jelas Edo.
Bahan-bahan yang Edo gunakan dalam menyulap limbah popok antara lain adalah semen, air, dan juga aneka warna cat untuk tahap finishing. Sebelum mencampur sampah popok dengan semen dan air, Edo secara telaten memisahkan dahulu bahan luaran popok dengan kandungan gel yang ada di dalamnya.
“Setelah dipakai berarti kan ada dua varian yang pup dan pipis. Kalau yang pup ini kita sisihkan dulu untuk dibuang ke kloset pupnya. Kemudian kita keluarkan itu gelnya,” jelas Edo.

Setelah memilah sampah popok dan mengeluarkan kandungan gel-nya, Edo tidak serta merta membuangnya. Namun ia sisihkan untuk kemudian dijadikan pupuk pada tanaman yang ia miliki di sekitar rumah.

Baca juga: Aeshnina Azzahra: Aktivis Lingkungan Muda yang Kritik Sampah Plastik
Bukan Perkara Mudah
Meskipun berdampak positif bagi lingkungan, perjalanan Edo mengolah limbah popok jauh dari kata mudah. Di awal inisiatif, ia kerap menghadapi tatapan heran dan komentar julid dari warga sekitar. Popok bekas masih identik dengan limbah yang kotor, bau, dan tidak layak diolah.
“Mulanya sih saya banyak dicemooh sama masyarakat yang kurang paham tentang apa yang saya lakukan. Enggak pakai kata-kata kasar sih, cuma guyonan aja. Bahasanya adalah ‘Pak Edo mau-mauan sih bikin itu kan bau kotor jorok’, begitu,” ujarnya.
Namun cibiran tersebut tidak memadamkan semangatnya. Edo percaya persoalan sampah popok perlu dihadapi dengan solusi kreatif dan berkelanjutan. Ia memilih untuk membuktikan lewat hasil, bukan sekadar penjelasan. Sedikit demi sedikit, ia mulai mengumpulkan popok bekas dari warga yang bersedia menyetorkan, meskipun jumlahnya belum stabil.
Tantangan lain adalah rendahnya kesadaran masyarakat untuk memilah sampah popok. Karena tidak memiliki anak kecil dan tidak menghasilkan popok bekas sendiri, pasokan bahan baku untuk inovasinya sepenuhnya bergantung pada kemauan warga.
“Padahal sebetulnya disetor aja, dikirimin nih ke pegiat lingkungannya masing-masing. Kan ibadah juga tuh,” tambahnya.
Baca juga: Dari Wibu4Planet, Kita Belajar Anak Wibu Ternyata Peduli Bumi
Meski terkendala suplai, Edo menunjukkan ide ini bisa direplikasi siapa saja. Dengan modal hanya sekitar Rp3.000 untuk membeli semen, ia sudah bisa membuat lusinan pot tanaman berdiameter 15 cm. Pot tersebut tahan banting, memiliki tampilan menarik setelah diberi cat warna, dan tentu saja mengurangi volume limbah yang berakhir di TPA.
Lebih jauh lagi, metode ini tak hanya terbatas pada popok bayi. Edo menjelaskan, teknik yang sama juga bisa digunakan untuk mengolah limbah pembalut perempuan, yang memiliki kandungan bahan serupa dan sama-sama sulit terurai. Dengan begitu, inovasinya berpotensi memberi solusi untuk dua jenis limbah rumah tangga yang paling sulit dikelola.
Bagi Edo, semua ini kembali pada kemauan bersama untuk menjaga lingkungan. Ia percaya, selama ada niat baik dan sedikit kreativitas, tantangan sebesar apa pun bisa diubah menjadi peluang untuk memberi manfaat.
















