‘The Eighth Sense’: Trauma yang Jadi Hidangan Utama
Bukan sekadar ‘boy meets boy’ ala BL Asia, trauma dua protagonisnya jadi hidangan utama yang tak sekadar ada.
Meski makin berjamur, masih sulit rasanya menemukan tontonan Boys Love (BL) yang plotnya tidak seragam. Sebagai penghasil serial BL paling aktif, Thailand tampak berusaha memberi varian lebih luas. Misalnya dengan tak melulu mengeksplor kisah cinta boy meets boy di sekolah lagi, tapi coba mengganti-ganti latar pekerjaan dua protagonis utama.
Sayangnya, plot-plot itu tidak terlalu segar jika kita bandingkan dengan cerita-cerita romcom yang ada.
Korea Selatan—salah satu produsen drama terbesar dan terlaris di dunia—beberapa tahun terakhir mulai melihat ceruk pasar BL.
Sejak 2020, produksi BL dari Korea Selatan memang meroket tajam. Tahun itu ada lima judul yang tayang: Color Rush, Mr. Heart, Sweet Munchies, Where Your Eyes Linger, dan Wish You. Di antara Thailand, Filipina, Taiwan, China, dan Vietnam, produksi BL Korsel tentu saja ada di urutan paling bontot dalam urusan kuantitas.
Baca juga: Mari Ngobrol Serius tentang BL Asia: Sebuah Queer Gaze
Pada 2021, produksinya memang meningkat. Ada sembilan BL yang dirilis (Behind Cut, Light on Me, My Sweet Dear, Nobleman Ryu’s Wedding, Peach of Time, The Tasty Florida, Tinted With You, To My Star, You Make Me Dance). Angka ini menunjukkan ketertarikan industri Korsel mengeksplor genre yang tumbuh lebih pesat di negara-negara less-homophobic, seperti Thailand, Taiwan, dan Filipina.
Semantic Error jadi salah satu BL paling sukses. Ia jadi serial nomor satu yang paling banyak ditonton di semua platform layanan streaming, termasuk Netflix. Kesuksesan ini membawa angin segar buat industri hiburan Korsel yang masih misoginis dan homofobik. Setelah Semantic Error, beberapa judul berhasil merebut perhatian pecinta BL. Salah satu yang sukses adalah To My Star (2021), yang kemudian dibikinkan sekuel yang kembali sukses di 2022.
Produsernya, Inu Baek dan Werner du Plessis, kembali menggebrak pasar dengan judul baru, The Eighth Sense. Serial dengan 10 episode ini bercerita tentang Jae Won (Lim Ji Sub) dan Ji Hyun (Oh Jun Taek).
Mereka bertemu di kampus, saat Ji Hyun adalah mahasiswa baru, sementara Jae Won adalah mahasiswa tahun akhir yang baru balik dari wajib militer.
Di awal, pertemuan mereka terasa seperti rumus boy meets boy pada umumnya.
Jae Won terlihat tertarik dengan si mahasiswa baru, tapi masih punya urusan masa lalu belum tuntas bernama Eun Ji (Park Hae-in). Konon, dari rumor yang beredar, Eun Ji diputuskan Jae Won karena ketahuan selingkuh. Tapi, dua orang super-cakep ini dikenal sebagai pasangan populer, sehingga banyak orang yang shipping mereka—fakta yang bikin Jae Won makin sulit bergerak mendekati Ji Hyun.
Namun, dua episode pertama The Eighth Sense berhasil merangkum proses pendekatan manis keduanya. Trip klub selancar yang mereka ikuti bikin Jae Won makin dekat dengan Ji Hyun. Sang junior pun makin berbunga-bunga, dan mulai memantapkan perasaan pada sang senior.
Sampai di sana, pergulatan batin keduanya sama sekali tak berkutat di pertanyaan: “Apakah aku betul-betul gay?”—sebuah subplot yang umum hadir di film atau serial LGBTQ+. Bahkan, pertanyaan itu juga tak jadi beban buat Jae Won, ia tak pernah mempertanyakan seksualitasnya. Penggambaran begini jadi segar, karena karakter-karakter LGBTQ+ seperti Jae Won (biseksual) dan Ji Hyun (homoseksual) biasanya selalu digambarkan kebingungan dan membenci dirinya saat mengetahui orientasi seksual mereka.
Konflik batin Jae Won justru datang dari trauma masa lalu yang sedang berusaha dibenahinya.
Baca juga: Semantic Error: Ramuan BL + Romcom yang Manjur
Menyakiti Orang yang Dicinta Demi Melindungi Mereka
Sejak episode-episode awal The Eighth Sense, kita tahu kalau Jae Won sedang dalam masa terapi. Penyebabnya? Dibuka pelan-pelan sepanjang serial berjalan.
Namun, adegan Jae Won ngobrol dengan sang psikolog jadi alat bantu penonton mengetahui isi hati dan konflik batinnya. Jae Won menyebut Ji Hyun sebagai “teman dekat yang bikin dirinya bahagia belakangan”. Sambil mengupas perasaan senang itu, ia mulai menyadari bahwa Ji Hyun bukan sekadar teman. Alih-alih fokus pada pertanyaan lawas tentang seksualitas, penulis naskah dan sutradara serial ini justru fokus pada perjalanan Jae Won membongkar dan membenahi traumanya.
Dari adegan-adegan bersama psikolog, kita paham kalau Jae Won adalah tipe orang yang akan melindungi orang yang dicintai dengan cara apa pun, termasuk menyakiti diri sendiri dan orang yang dicintai itu.
Sering kali ia membuat keputusan sendiri atas nama hubungannya dengan Ji Hyun, tanpa bertanya atau mempertimbangkan opini Ji Hyun. Keputusan seperti menjauhi Ji Hyun, dilakukan Jae Won dengan alasan melindungi sang junior. Cara ini adalah upaya otomatis yang dilakukan Jae Won sebagai mekanisme merespons trauma (trauma response), yang tercipta karena tumpukan trauma di masa lalu: Mulai dari kehilangan sang adik, disalahkan orang tua karena kematian itu, hingga diselingkuhi pacar di saat-saat berat.
Respons-respons itu yang sering kali jadi penggerak cerita. Keputusan-keputusan Jae Won jadi plot utama yang bikin konflik di serial ini naik-turun.
Baca juga: ‘Sasaki to Miyano’: Anime BL Menggemaskan dengan Tema Penerimaan Diri
Ji Hyun dan Trauma Barunya
Beda dengan Jae Won yang sudah “terluka” sejak episode awal The Eighth Sense, Ji Hyun adalah karakter yang jalan hidupnya dibikin progresif. Jika di episode-episode depan ia terlihat malu-malu, tidak percaya diri, reserved, dan pendiam, maka selepas episode enam kita akan melihat perubahan signifikan. Sebuah kejutan di titik itu, bikin karakter Ji Hyun berkembang jadi lebih berani, bawel, dan asertif dalam menyuarakan keinginannya.
Perubahan ini jadi segar, terutama saat seteru Eun Ji versus Ji Hyun jadi hidangan utama di pertengahan series. Konfrontasi yang dilakukan Ji Hyun pada Eun Ji juga jadi plot langka di dunia BL. Bagusnya, konflik itu tak disuguhkan dengan bingkai misoginis atau homofobik.
Di dunia The Eighth Sense, sikap homofobik bukan betul-betul punah. Meski Jae Won dan Ji Hyun tak berkonflik dengan seksualitasnya sendiri, serial ini tetap memasukan ancaman homofobik dalam ceritanya. Namun, subplot itu tidak ditempatkan di tengah-tengah cerita. Sesekali Jae Won atau Ji Hyun khawatir jika terlihat sedang bergandengan atau terlalu mesra di depan umum. Mereka masih hidup di masyarakat homofobik yang bisa mengancam hidup keduanya, tapi Inu Baek dan Werner du Plessis sengaja meletakan konflik itu jadi bumbu di pinggir piring.
Meski plot trauma dua protagonis utama ini jadi tontonan segar di dunia BL, bukan berarti penggambaran isu kesehatan mentalnya betul-betul ideal.
Tokoh psikolog Jae Won yang tampil di beberapa episode justru jadi representasi terapis buruk, karena beberapa responsnya yang di luar batas. Di salah satu episode, ia bahkan memarahi Jae Won dan menyebut si pasien, “egois” dan “tidak memikirkan orang lain”.
Representasi psikolog buruk ini sebetulnya lebih terasa dekat dengan realitas, karena di dunia nyata hal serupa bisa terjadi. Namun, beberapa kali dialog sang psikolog terasa betul-betul dipaksakan naskah. Misalnya, saat di salah satu episode, kita harus mendengar bagaimana sang psikolog melanggar kode etik sebagai terapis saat menghadapi pasien yang bunuh diri, hanya untuk menggiring kita berpikir bahwa salah satu karakter telah mati.
Isu kesehatan mental ini juga makin terasa lemah, saat di ujung cerita kita sadar bahwa Ji Hyun sedang mengoleksi trauma baru karena kelakukan Jae Won yang suka menghilang. Di satu adegan, ia terbangun tanpa Jae Won di sampingnya, panik, lalu mencari-cari sang kekasih sampai ke jalan. Sayangnya, bagian ini tak dapat penyelesaian indah sebagaimana trauma Jae Won diselesaikan. Ji Hyun hanya digambarkan tenang saat ia menemukan Jae Won duduk di atas rooftop bersama sahabatnya, Joon Pyo (Bang Jin Woon). Padahal masalah ini bisa ditulis jadi satu musim tambahan. Atau… mungkinkah kita dapat The Eighth Sense season 2, segera?