December 5, 2025
Issues

Di Balik Iming-iming Promo Saat Belanja, Ada Privasi Kita yang Terancam

Saat kita tergiur promo dan data pribadi berpindah tangan, perusahaan justru meraup cuan. Banyak orang Indonesia masih belum sadar haknya.

  • September 18, 2025
  • 4 min read
  • 1830 Views
Di Balik Iming-iming Promo Saat Belanja, Ada Privasi Kita yang Terancam

Gita, 27, masih ingat saat dirinya tergoda tawaran produk perbankan berupa rekening baru dan kartu kredit. Ia sama sekali tidak butuh keduanya, tapi iming-iming hadiah langsung bikin ia luluh: diskon belanja Rp100 ribu untuk kartu kredit, plus saldo Rp50 ribu untuk rekening.

Demi hadiah itu, Gita rela menyerahkan data pribadinya. Sementara, rekening dan kartu kredit yang ia buka tak pernah sekalipun ia pakai. “Aku cuma ngejar hadiahnya,” ujar Gita (26/8).

Hadiah itu, nyatanya, bukan cuma-cuma. Tak lama setelahnya, WhatsApp Gita mulai dibanjiri pesan promo belanja di Carrefour dengan kartu kredit. Iklan serupa bahkan muncul di lini masa Instagramnya. 

Baca Juga: Cuma di Indonesia, Data Pribadi Warga Tak Ada Harganya

“Aku sampai kesal karena iklannya muncul di mana-mana,” tambahnya.

Pengalaman Gita hanyalah satu contoh. Di banyak tempat, pola serupa terjadi dengan iming-iming berbeda. Juli 2024 lalu di Desa Arjasa, Situbondo, Jawa Timur, warga yang ingin membeli minyak goreng murah Rp5.000 per liter diminta menyerahkan foto KTP dan swafoto.

Di satu sisi, warga senang bisa membeli minyak dengan harga miring. Namun di sisi lain, data pribadi mereka berpindah tangan begitu mudah. Nilai data itu jauh melampaui keuntungan sesaat yang warga dapat.

Di era digital ini, informasi pribadi seolah berubah jadi alat tukar promo, hadiah, hingga undian daring. Fenomena ini bukan perkara remeh. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2025 mencatat, 23,9 persen pengguna internet pernah membagi data pribadinya demi promo. Lebih jauh, 16,45 persen responden bahkan mengunggah data pribadi hanya untuk ikut undian berhadiah.

Angka-angka ini menyingkap fakta yang lebih serius. Betapa gampangnya konsumen tergiur iming-iming keuntungan instan tanpa memikirkan konsekuensi di baliknya. Padahal menurut Ratri Maria, pakar data sains, informasi sederhana seperti nama, email, nomor ponsel, dan kota tempat tinggal bisa dimanfaatkan perusahaan untuk membangun profil seseorang.

“Kalau data itu digabung dengan informasi publik atau dari pihak ketiga, identitas digital kita bisa terbentuk dengan sangat rinci. Masalahnya, sering kali kita tidak sadar,” jelas Ratri kepada Magdalene (26/8).

Baca Juga: ‘Your Space Your Rules: Riset ‘Privasi Feminis’ dari PurpleCode

Surveillance Capitalism: Data Pribadi sebagai Mesin Bisnis

Kata Ratri, praktik pengumpulan data komersial sering kali melampaui batas izin yang disadari pengguna. Contohnya Gita. Ia merasa hanya mendaftar rekening demi hadiah, tapi bagi bank, itu sudah cukup untuk menariknya masuk ke ekosistem nasabah. Lengkap dengan info detail tentang dirinya.

Begitu data konsumen tercatat, sistem bisnis bank berjalan otomatis. Data pribadi bisa dipakai untuk segmentasi promosi sehingga tawaran kartu kredit, cicilan, atau investasi bisa diarahkan tepat sasaran.

Fenomena ini punya istilah. Profesor di Harvard Business School Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism menyebutnya sebagai surveillance capitalism, sebuah sistem ekonomi di mana data pribadi dimanfaatkan untuk keuntungan perusahaan tanpa memberi manfaat balik kepada masyarakat. 

Hal ini sesuai dengan analisis McCoy dkk. (University of Pennsylvania) dalam Ethical Responsibilities for Companies that Process Personal Data, di mana data pribadi menjadi komoditas bernilai tinggi, diperdagangkan dan dieksploitasi oleh perusahaan raksasa. 

Film dokumenter The Great Hack (2019) memberi gambaran lebih ekstrem. Menurut riset Prasetyo dkk. (Universitas Sebelas Maret) dalam Surveillance Capitalism dalam Film The Great Hack, film ini menunjukkan bagaimana data pribadi dapat dipakai bukan hanya untuk bisnis, tapi kampanye politik yang jauh lebih efisien dibanding metode konvensional. 

Baca Juga: Tren Fotografi Lari: Ada Peluang Ekonomi, Ada Pelanggaran Privasi

Zero Trust untuk Lindungi Data Pribadi

Menurut Ratri, derasnya pengumpulan data pribadi adalah alarm bahaya, tanda privasi sebagai hak dasar manusia mulai terkikis. Ketika informasi dikumpulkan secara masif tanpa batas, risikonya nyata.

Bukan cuma soal pemasaran atau keuntungan bisnis, data pribadi juga bisa menimbulkan profiling yang keliru. Misalnya, diskriminasi otomatis dalam akses asuransi, kredit, atau pekerjaan. Di sisi lain, ia juga rentan bocor dan disalahgunakan, mulai dari penipuan, pencurian identitas, hingga doxing.

Itulah sebabnya, Ratri menekankan pentingnya prinsip zero trust. “Jangan gampang percaya pada platform atau layanan, apalagi yang mengiming-imingi hadiah, diskon, atau promo gratis,” jelas Ratri. 

Merujuk OECD Principles on Privacy, ia mengingatkan agar publik selalu menanyakan hal-hal mendasar sebelum menyerahkan data:

  1. Apa tujuan pengumpulan data ini?
  2. Siapa yang akan mengakses data saya, sesuai dengan kebijakan privasi?
  3. Berapa lama data saya disimpan (retensi data)?
  4. Apakah saya memiliki hak untuk menarik kembali persetujuan saya di kemudian hari?

Dengan kebiasaan sederhana ini, konsumen tetap bisa memegang kendali atas informasi pribadinya. Setidaknya, risiko dari praktik pengumpulan data yang kelewat bebas bisa ditekan.

About Author

Safika Rahmawati

Safika adalah sosok yang suka melamun dan punya cita-cita hidup tenang di desa di kaki gunung. Tapi kalau harus tinggal di kota dulu, enggak masalah—asalkan bisa rebahan tanpa rasa bersalah sambil menikmati suara burung gereja di dalam kamar.