Tahun ini, kontes kecantikan Miss Universe melakukan berbagai terobosan. Sebelumnya, konteks yang eksis sejak 1962 itu memang sudah lama dikritik karena dianggap melanggengkan standar kecantikan tunggal yang mengobjektifikasi perempuan. Kini, Miss Universe 2023 mengakomodasi peserta perempuan bertubuh plus size. Tak cuma itu, jika biasanya para kontestan mesti berlenggak-lenggok dengan bikini terbuka, mereka sekarang boleh berpakaian tertutup saat sesi baju renang.
Terobosan-terobosan inilah yang menjadikan Miss Universe enggak cuma menciptakan pesona visual. Namun, ia juga menginspirasi publik melalui perubahan makna kecantikan yang lebih inklusif dan mencakup seluruh spektrum keindahan manusia, baik kurus maupun gemuk, mulus atau tidak, dan seterusnya.
Adalah Jane Dipika Garrett, Miss Nepal, yang menjadi sorotan dalam Miss Universe 2023. Ia menjadi perempuan plus size pertama yang berpartisipasi sebagai peserta dalam ajang ini. Biasanya, peserta Miss Universe adalah mereka dengan tubuh tinggi semampai dan ramping.
Baca juga: Miss Universe Dibeli Transpuan, Akankah Lebih Inklusif?
Jane Dipika memecah stereotip ini dan mendapatkan banyak pujian atas kepercayaan diri untuk merayakan tubuhnya apa adanya. Ia membagikan pengalaman dalam berjuang mengatasi masalah citra tubuh di masa lalu. Jane Dipika mengalami perubahan signifikan dari ketidakpercayaan diri menjadi penerimaan penuh atas diri sendiri. Pernyataannya bahwa tidak ada cara tunggal untuk menjadi cantik, menginspirasi semangat body positivity. Baginya, setiap perempuan memiliki kecantikan unik dan tersendiri. Hal ini mencerminkan semangat inklusivitas yang semakin diperlukan dalam dunia kontes kecantikan.
Tak cuma kontestan berbadan plus size, berpartisipasinya dua transpuan Marina Machete dari Portugis serta Rikkie Kolle dari Belanda juga semakin menunjukkan itikad Miss Universe untuk jadi lebih inklusif.
Keterlibatan mereka bisa dibilang memberikan dukungan kepada komunitas transgender dan membuat mereka merasa lebih diterima oleh masyarakat. Walaupun kemenangan Machete dan Kolle di negara asalnya sempat jadi kontroversi, mereka tak gentar mewakili negara masing-masing di Miss Universe. Keberhasilan Marina masuk masuk dalam 20 peserta terbaik di satu sisi, membuktikan bahwa ia dapat berprestasi dan membanggakan negaranya.
Sementara itu, keikutsertaan perempuan yang sudah menikah dan telah menjadi ibu juga patut kita apresiasi. Misalnya, Michelle Cohn dari Guatemala dan Camila Avella dari Kolombia. Mereka mampu membuktikan, prestasi perempuan tidak harus berhenti saat menjalani peran sebagai istri dan Ibu. Camila bahkan berhasil masuk ke-5 besar bersama dengan perempuan-perempuan yang lebih muda darinya.
Keikutsertaan Erica Robin sebagai perwakilan pertama dari Pakistan di kontes ini cukup menimbulkan kontroversi di negaranya. Namun, Robin bersama Lujane Yacoub dari Bahrain mampu menunjukkan, perempuan Muslim yang berpenampilan tertutup juga dapat berkompetisi di ajang ini. Keduanya tampil menggunakan burkini pada sesi pakaian renang. Hal ini menunjukan, Miss Universe sebagai sebuah institusi semakin inklusif dalam merangkul perempuan dari berbagai latar belakang budaya dan kepercayaan.
Namun, dari semuanya, kontroversi aktivisme politik yang dilakukan oleh Miss Universe 2023 terpilih Sheynis Palacios dari Nikaragua yang paling jadi sorotan. Kemenangannya menjadi kontroversi di negara asalnya ketika rezim yang kini berkuasa, tahu bahwa Sheynnis terlibat dalam demonstrasi melawan pemerintah pada 2018. Padahal kita tahu, mayoritas kontestan yang maju haruslah perempuan yang tak berasal dari latar “pemberontak” negara.
Demonstrasi tersebut menuntut reformasi keamanan sosial, korupsi, otoritarianisme, dan melawan brutalitas polisi yang dilakukan oleh Presiden Daniel Ortega. Tujuan utama dari gerakan ini adalah pembatalan reformasi sosial dan proyek Kanal Nikaragua dan mengakhiri kekerasan politik serta pembebasan demonstran yang ditahan. Tuntutan juga mencakup pemulihan kebebasan berbicara di media, reformasi Dewan Pemilihan Umum, termasuk pengunduran diri seluruh hakim yang berdinas, menghentikan femisida, perlindungan hukum konkret bagi masyarakat adat, serta pengunduran diri Presiden Ortega dan Rosario Murillo yang merupakan wakil sekaligus istri Presiden Ortega.
Baca Juga: Kontes Kecantikan Dunia Dirancang untuk Perempuan Cantik
Apakah ini Cukup?
Kontes kecantikan yang selama ini dianggap hanya menjadikan perempuan sebagai tontonan yang diobjektifikasi, mempertunjukan kecantikan superficial, arbiter, dan tanpa makna, berhasil merepresentasikan dirinya sebagai ajang yang inklusif. Ia mampu merepresentasi berbagai macam kelompok perempuan.
Keikutsertaan kontestan plus size juga mulai mendobrak standar kecantikan yang selama ini hanya dapat dicapai dengan tubuh langsing dan semampai. Kehadiran peserta yang memiliki keterlibatan secara aktif dalam gerakan politik menuntut penegakan demokrasi dan keadilan di negara asal, juga semakin menunjukkan bahwa peserta Miss Universe memiliki kepekaan sosial dan partisipasi politik yang tinggi. Tak cuma bermodal tampang good looking tanpa kecerdasan (brain) dan aktivisme.
Namun begitu, upaya meningkatkan kesan masyarakat atas aspek brain Miss Universe ini tampaknya kurang terlihat dalam sesi tanya jawab. Pertanyaan yang dilayangkan kepada kontestan masih bersifat normatif, seperti bagaimana memaksimalkan platform yang dimiliki untuk mempromosikan kesetaraan gender, nilai apa yang dipegang untuk berperan sebagai pemimpin dan role model, jika bisa memilih untuk hidup sebagai perempuan lain, siapa yang dipilih dan mengapa, serta bentuk pertanyaan normatif lainnya.
Baca Juga: Ikut Kontes Kecantikan Bikin Saya Muak dengan Standar ‘Keperempuanan’
Jawaban yang diberikan peserta pun kebanyakan sama normatifnya dengan pertanyaan. Alhasil, sesi tanya jawab masih terlihat sebagai upaya performatif saja untuk menunjukkan kepedulian kontes ini terhadap isu global.
Kesimpulannya, menurut saya, inklusivitas yang ditunjukkan belum dapat dibarengi dengan partisipasi mendalam peserta. Khususnya dari segi intelektual dan keterlibatan nyata dalam masyarakat global. Sehingga, pertanyaan lawas satu ini akan terus berdengung di kepala saya: Apakah ajang kecantikan dapat benar-benar bermanfaat pada gerakan perempuan atau sama seperti sebelumnya, hanya etalase kecantikan tanpa makna yang lebih beragam saja?