‘Fanfiction’ dan Perdebatan Dua Sisi
Fanfiction memberi ruang bagi ekspresi seksualitas perempuan, tapi juga menguatkan heteronormativitas.
Ada satu elemen dari budaya pop yang semakin lama semakin banyak mendapatkan pengikut setia, yakni fan fiction (ditulis lebih populer dengan fanfiction atau fanfic) alias fiksi penggemar, di mana pembaca cerita fiksi kemudian mengolah lagi cerita tersebut sesuai imajinasi mereka.
Ketenaran salah satu elemen budaya pop ini terlihat dari banyaknya situs khusus bagi para penggemar untuk mempublikasikan dan menikmati karya mereka satu sama lain, seperti Wattpad, Archieve of Our Own, atau Fanfiction.net. Pihak Wattpad sendiri misalnya mengklaim bahwa pada 2019 mereka sudah memiliki jumlah 80 juta pengguna bulanan dan angka ini meningkat 23 persen dari tahun sebelumnya.
Lalu apa yang membuat fanfiction begitu digemari oleh para generasi digital, terutama perempuan?
Salah satu hal yang membuat subkultur ini banyak digemari terutama oleh perempuan adalah karena fanfiction hadir sebagai medium bagi perempuan dalam mengeksplorasi seksualitas mereka tanpa takut harus dihakimi oleh masyarakat. Gayle Rubin, antropolog dan aktivis feminis dari AS mengatakan, seks dalam pandangan budaya masyarakat kita masih dianggap sebagai “kekuatan” yang berbahaya, destruktif, dan negatif. Pandangan ini bertumpu pada asumsi bahwa genitalia adalah bagian tubuh yang secara intrinsik lebih rendah dibandingkan dengan nalar.
Budaya ini selalu memperlakukan seks dengan penuh curiga, menafsirkan dan menilai hampir semua praktik seksual ke dalam ekspresi terburuknya dan perempuan senantiasa dibentuk untuk menjadi individu yang pasif atau “jinak”. Represi seksual perempuan pun tidak bisa terhindarkan, membelenggu perempuan sedemikian rupa, sehingga mereka tidak bisa mempunyai ruang untuk mengeksplorasi seksualitasnya secara terang-terangan.
Baca juga: Cerita Cinta Posesif di Wattpad: Berbahaya atau Biasa?
Di sinilah fanfiction memainkan peran pentingnya, dengan memberi kesempatan bagi perempuan untuk keluar dari represi seksual yang mengekang mereka dan memulai selebrasi atas eksplorasi seksual mereka. Perempuan diberikan banyak kebebasan dalam mengeksplorasi seksualitas mereka tanpa harus takut dilabeli sebagai perempuan jalang, perempuan berdosa, dan lain-lain.
Menurut Rubin, masyarakat kita dibentuk melalui norma seksualitas yang menempatkan heteroseksualitas, pernikahan, prokreasi, dan vanilla sex di puncak hierarki, sementara homoseksualitas, fetis, non-prokreasi, atau sadomasokisme di tempat yang paling rendah dari semua. Perbedaan dalam preferensi hubungan seksual yang berbeda dengan norma seksualitas masyarakat pun akan dihakimi secara sepihak. Karenanya, fanfiction dalam hal ini mampu memberikan ruang bagi perempuan untuk mengeksplorasi hasrat seksualitas mereka dengan lanskap yang lebih luas dari apa yang digambarkan oleh budaya kita.
Selain itu, menurut Francesca Coppa direktur Women’s and Gender Studies Muhlenberg College, melalui fanfiction, perempuan dapat mengeksplorasi seksualitasnya tanpa harus menyakiti seseorang individu secara fisik, yang merupakan dilema moral dari pornografi yang kerap menjadi perdebatan banyak pihak terutama para feminis.
Objektifikasi tokoh nyata
Namun keberadaan fanfiction tidak serta mendapatkan respons positif dari akademisi maupun penikmat fanfiction itu sendiri. Respons negatif kerap dilontarkan mengenai bagaimana sebenarnya fanfiction justru menciptakan ruang dalam objektifikasi dan seksualisasi seorang individu serta mengukuhkan kembali nilai-nilai heteronormativitas di dalam hubungan sesama jenis.
Baca juga: Ketahui 10 Istilah Ini Biar Paham Budaya ‘Fandom’
Objektifikasi dan seksualisasi di dalam fanfiction ini terutama bermasalah saat dilakukan terhadap individu nyata, seperti idola favorit penulis maupun pembaca. Selain mengobjektifikasi eksistensi seseorang, hal itu juga tidak mengindahkan identitas diri mereka dan mereduksinya hanya untuk kepuasan fantasi dan hasrat seksual penulis atau pembaca saja. Isu ini semakin problematik saat tokoh idola mereka masih tergolong di bawah umur. Idola di bawah umur ini diseksualisasi sesuai dengan fantasi seksual penulis dan imajinasi pembaca dengan “membiarkan”-nya terlibat ke dalam sebuah hubungan seksual yang sangat intim atau bahkan toxic.
Objektifikasi dan seksualisasi adalah dua hal, namun fanfiction juga kerap menciptakan realitas baru yang problematik. Hal ini karena fanfiction kerap kali menjadi wadah penulis dan pembaca untuk mengukuhkan kembali kedudukan konstruksi gender di dalam tubuh masyarakat melalui nilai-nilai heteronormativitas dalam hubungan sesama jenis.
Pasangan gay, misalnya, digambarkan memiliki posisi ajek atau tetap sebagai dominan dan submisif, degan yang dominan adalah laki-laki macho yang kerap dilekatkan dengan sifat-sifat maskulin dan sang submisif adalah laki-laki cantik nan lemah yang kerap dilekatkan dengan sifat-sifat feminin. Tidak jarang bahkan heteronormativitas dalam pasangan gay ini tertuju pada peran gender di masyarakat. Misalnya, penggambaran sang dominan yang merupakan “suami”, seorang buiseness man yang juga seorang pencari nafkah utama dan sang submisif merupakan “istri” yang baik, yang senantiasa berdiam diri di rumah mengurus segala urusan domestik.
Baca juga: 5 Serial ‘Boys Love’ yang Bikin Pipi Merona dan Mata Basah
Penggunaan istilah dominan dan submisif yang lumrah ditemukan di dalam fanfiction pada kenyataannya tetap mengunggulkan salah satu pihak. Dan meski menggunakan dua orang tokoh laki-laki dalam hubungan percintaan, masing-masing tokoh ditandai dengan gender laki-laki dan perempuan. Pada akhirnya, hubungan sesama jenis di dalam banyak fanfiction tetap menghadirkan nilai patriarki dan logika heteronormativitas dengan nama dan bentuk yang berbeda. Hal ini justru dapat terus melanggengkan peran gender perempuan dan laki-laki yang kerap menjadi biang kerok dari subordinasi perempuan di dalam masyarakat.
Perdebatan mengenai fanfiction terus terjadi dalam ruang lingkup para akademisi dan penikmatnya. Banyak pihak yang merasa realitas baru yang coba diciptakan melalui produksi teks oleh penggemar ini mampu mendobrak berbagai norma juga nilai yang mengekang perempuan dalam berbagai aspek di dalam masyarakat tradisional maskulin. Namun, layaknya setiap hal yang ada di dunia ini, fanfiction memiliki dua sisi berbeda yang mana kedua sisinya tidak bisa diindahkan begitu saja.
Oleh karena itu, menjadi bijak dalam memilih fanfiction dan juga memproduksi teks yang ada adalah sebuah langkah utama dan krusial yang harus dilakukan tiap individu. Hal ini penting agar fanfiction bisa menjadi ruang aman bagi perempuan dalam mengeksplorasi seksualitasnya, tetapi juga dapat bebas dari unsur diskriminasi, objektifikasi, dan seksualisasi individu atau suatu kelompok minoritas di masyarakat.