‘Fatherhood’: Representasi dan Celah yang Tak Terisi
Film ‘Fatherhood’ merepresentasikan ayah kulit hitam yang bertanggung jawab, tapi tak jeli dalam menggali konflik-konflik yang potensial.
Tayang pada peringatan Hari Ayah di tengah masa pandemi yang tak (kunjung) membaik di Indonesia, Fatherhood (2021) bisa menjadi pilihan tontonan yang cukup menghibur. Film ini menceritakan perjalanan Matthew Logelin (Kevin Hart) membesarkan anak perempuannya yang bernama Maddy (Melody Hurd), seorang diri setelah ditinggal meninggal oleh istrinya sesaat setelah melahirkan Maddy.
Film ini menyoroti lika-liku perjalanan Matt yang semula tak memahami apapun soal cara-cara mengurus anak, sampai harus merawat anaknya seorang diri tanpa bantuan. Perjuangannya membagi waktu antara pekerjaan dan merawat Maddy, hingga rasa rendah diri karena tak yakin dia bisa melalui ini semua tanpa bantuan sang istri membayanginya. Film ini juga diangkat dari kisah nyata Matthew Logelin yang dia tuliskan dalam memoir berjudul Two Kisses for Maddy: A Mempir of Loss and Love (2011).
Meski begitu, ada beberapa celah yang tidak berhasil diisi oleh film ini, kendati premis-premis yang diangkat sebenarnya sudah cukup potensial untuk digali lebih dalam.
Baca juga: Kokok Dirgantoro: Cuti Ayah Dukung Perempuan Berkarier
Representasi Ayah Kulit Hitam
Film ini mengangkat representasi yang non-tipikal mengenai sosok ayah kulit hitam, yang oleh kebanyakan film-film populer digambarkan sebagai sosok antagonis, tidak bertanggung jawab pada anak dan keluarga, hingga suka melakukan hal-hal ilegal seperti memakai narkoba atau menjadi pecandu alkohol.
Permasalahan representasi orang kulit hitam dalam industri film Hollywood memang sudah mengakar, dan upaya-upaya mendekonstruksinya patut diapresiasi. Sosok Matt dikisahkan memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap Maddy, meski ada segelintir tantangan dan pengorbanan yang harus ia buat, termasuk dalam kariernya. Dipilihnya Hart yang ekspresif menjadi pemeran utama Fatherhood juga merupakan keputusan yang lumayan tepat, meski tak ada scene dalam film ini yang membuat saya tertawa terbahak-bahak, seperti ketika menonton film-film Hart lainnya.
Matt juga dikisahkan sebagai orang tua yang berpikiran terbuka, salah satunya ditunjukkan dengan sikapnya yang memvalidasi ekspresi gender Maddy yang tidak normatif. Misalnya, saat Maddy bercerita ia tidak nyaman mengenakan rok dan lebih nyaman mengenakan celana sebagai seragam sekolah, Matt dengan terbuka memberi Maddy semangat dan memberitahunya, “kita tidak butuh aturan seperti itu”.
Sama halnya ketika Maddy lebih menyukai pakaian dalam yang dipasarkan untuk laki-laki ketimbang pakaian dalam yang dipasarkan untuk perempuan (film ini juga mengritik industri gender-based clothing yang tidak membawa dampak signifikan pada diri manusia, tapi masih saja dilanggengkan).
Baca juga: Reggy Lawalata dan Membesarkan Anak Transgender
Bahkan, ketika guru-guru di sekolah Maddy mulai menyebut sikap Maddy aneh karena “tidak seperti perempuan”, dan Maddy merasa tertekan karena rasa malu dan terkucilkan dari teman-temannya, Matt tidak pernah memandang anaknya aneh atau tidak normal. Dia selalu berada di garis depan membela Maddy dan memvalidasi ekspresi gender anaknya itu.
Lewat penggambaran tersebut, film ini juga menyampaikan pesan penting soal dukungan orang tua dalam pencarian jati diri anak, terlebih sejak usia dini. Tak banyak orang tua yang bisa menerima ketika mengetahui anaknya memiliki ekspresi gender non-normatif. Film ini berhasil menyampaikan pesan itu sekaligus menekankan pada para orang tua, bahwa apapun ekspresi dan identitas gender anak, hal itu tak lantas mengurangi kualitas diri sang anak atau kasih sayang anak pada orang tuanya.
Celah Konflik dan Isu Orang Tua Tunggal
Meski begitu, saya melihat ada celah yang sangat krusial dari film ini, yaitu premis-premis yang diangkat masing-masing hanya dibahas secara sekilas di permukaan. Sebenarnya, kisah ini berangkat dari kesedihan Matt setelah ditinggal meninggal oleh istrinya, dan rasa ketidakberdayaannya untuk bisa merawat dan membesarkan sang anak. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya Matt belum merasa siap dan yakin untuk menjadi orang tua.
Meski begitu, kesedihan Matt tidak digambarkan secara jelas. Seolah fase-fase berduka (stages of grief) itu tidak dialami oleh Matt yang, padahal, digambarkan sangat menyayangi istrinya lewat monolog-monolog keputusasaan meratapi kepergian istrinya tiap kali ia menghadapi kesusahan saat merawat Maddy. Tahu-tahu, penggambaran soal perjalanan Matt membesarkan Maddy dibuat jadi begitu klise–laki-laki yang tak bisa mengganti popok bayi, sulit tidur karena bayi menangis, dan sebagainya. Film ini juga sebenarnya menyoroti kehadiran support system bagi Maddy dan Matt, dimulai dari ibu, mertua, hingga teman-temannya. Namun, penggambaran peran mereka juga tak dikisahkan secara signifikan.
Terlebih lagi, penggambaran pertentangan batin yang Matt alami sebagai ayah tunggal juga hanya dibahas di permukaan, ketika sebenarnya aspek ini merupakan kekuatan terbesar yang bisa digali dalam Fatherhood. Film ini bisa saja menyoroti aspek-aspek emosional Matt secara lebih mendalam untuk menunjukkan bahwa laki-laki yang menjadi ayah tunggal juga memiliki perasaan yang kompleks dan kadang tak menentu, sama halnya dengan para perempuan ketika menjadi ibu.
Baca juga: Becoming a Father—8,000 Miles Away from Home
Ketika Matt menitipkan Maddy di rumah nenek dan kakeknya untuk sementara waktu, misalnya, kita tidak disuguhkan dialog atau monolog kuat yang menjelaskan bagaimana perasaan Matt, dan apa yang mendorongnya untuk melakukan itu.
Atau, ketika Matt memutuskan untuk mulai berkencan dengan seorang perempuan baru. Perasaan Matt tak digali secara dalam, tapi tahu-tahu, lagi-lagi kita disuguhkan resolusi yang klise—Matt “meledak” dan berkata pada teman kencannya bahwa hubungan mereka tak bisa dilanjutkan karena Maddy adalah prioritasnya. Kita semua tahu bahwa Maddy adalah prioritas Matt. Kita tak pernah tahu, apa yang sebenarnya Matt rasakan atau pertentangkan ketika dia memilih untuk mengambil waktu istirahat dari rutinitas menjadi ayah dan mulai memikirkan dirinya sendiri, berikut hobi yang biasa ia lakukan.
Fatherhood mungkin bukan film terbaik tentang kebapakan. Ada I Am Sam (2001) yang mengisahkan perjalanan seorang Sam, ayah dengan disabilitas mental untuk meraih hak asuh atas anak perempuannya. Sam lebih ekspresif dalam menunjukkan kasih sayangnya pada anaknya, dengan dialog yang sangat mengharukan dan empowering sehingga berhasil menunjukkan ikatan ayah-anak yang sangat kuat dan penuh kasih.
Namun, nilai-nilai penting yang dibawa oleh Fatherhood merupakan sumbangan baik yang bisa dilestarikan untuk membangun representasi yang lebih adil dan humanis bagi para ayah tunggal di seluruh dunia.