Gelombang Feminisme dalam Evolusi Komik Sri Asih
Betulkah evolusi Sri Asih dalam komik sejalan dengan gelombang gerakan Feminisme?
Komik Sri Asih, yang diciptakan oleh Raden Ahmad Kosasih (RA Kosasih) pertama kali terbit dalam majalah cergam terbitan Maranatha pada 1954. Sebagai karya fiksi populer, Sri Asih dianggap karakter pahlawan super pertama Indonesia, yang juga sekaligus pahlawan super perempuan. Jika dibandingkan dengan industri komik Amerika Serikat, yang mungkin menjadi inspirasi para kreator cergam (cerita gambar, istilah untuk komik Indonesia), mitologi pahlawan super di Indonesia tidak dibuka dengan karakter bergender laki-laki.
Pola industri komik di era keemasan awal (AS 1940-an, Indonesia 1950-an) tentu tidak bisa dibandingkan secara langsung. Namun, fakta bahwa tokoh perempuan menjadi pembuka gelombang karakter pahlawan super di Indonesia, merupakan keunikan tersendiri, dan bisa mencetus diskusi. Apakah kemunculan Sri Asih pada 1954 bisa dikatakan bentuk feminisme pada karya seni populer Indonesia?
Tidak banyak informasi yang bisa didapatkan mengenai proses penciptaan Sri Asih oleh RA Kosasih. Pun karya ini tidak mendapat predikat sebagai karya terbaik beliau. Sri Asih terbit bersama beberapa judul lain dalam majalah Tjergam yang dirilis oleh Penerbit Maranatha. Total ada delapan judul komik pendek Sri Asih yang diterbitkan sejak 1954. Judul-judul tersebut adalah: (1) Sri Asih di Singapura, (2) Sri Asih di Surabaya, (3) Sri Asih vs Si Mata Seribu, (4) Sri Asih di Macao, (5) Sri Asih vs Komplotan Kawa-kawa, (6) Sri Asih vs Gerombolan, (7) Sri Asih vs Serigala Hitam, dan (8) Sri Asih dan Bajak Laut.
Dari judul-judul ini sekilas bisa diambil kesimpulan ada dua benang merah utama dalam cerita Sri Asih sebagai pahlawan super. Pertama, Sri Asih tidak beraksi di dalam satu lokasi yang spesifik seperti halnya Superman dengan kota Metropolis, atau Batman dengan kota Gotham. Latar lokasi dalam kisah Sri Asih berpindah-pindah, bahkan tidak hanya di Indonesia, tapi juga ke kota-kota lain di Asia seperti Singapura dan Macau. Kedua, Sri Asih tidak melawan satu musuh bebuyutan, tapi melawan kelompok-kelompok penjahat.
RA Kosasih menceritakan Nani Wijaya sosok perempuan muda yang mendapatkan kekuatan Dewi Asih, hingga bisa berubah wujud menjadi Sri Asih. Konsep Dewi Asih, terinspirasi dari sosok Dewi Sri (Kusumo, 2020), salah satu mitologi paling populer di masyarakat Indonesia. Dewi Sri dikenal sebagai dewi kesuburan, yang mengawasi dan memberkahi pertanian masyarakat, secara tidak langsung menjaga kelangsungan hidup manusia.
Secara visual, Kosasih menggambarkan Sri Asih dengan kostum yang kita kenal saat ini sebagai kostum “wayang orang”. Pakaian tradisional jawa dengan kemben dan kain batik, kepalanya berhias mahkota dan sumping, dengan aksesoris gelang dan kain merah yang menjadi simbol kekuatannya.
Narasi dan cerita yang dipaparkan oleh Kosasih dalam RA Kosasih juga tergolong sederhana. Nani Wijaya digambarkan sebagai perempuan muda dari keluarga kelas atas yang biasa bepergian. Dalam perjalanannya, biasanya Nani akan menemui suatu masalah yang disebabkan oleh sekelompok penjahat. Nani kemudian berubah menjadi Sri Asih, menghadapi penjahat dengan kekuatan fisiknya, kemudian permasalahan selesai.
Kesederhanaan visual dan cerita yang disampaikan Kosasih lewat seri komik pendeknya ini, tentu tidak memberikan banyak ruang interpretasi. Namun, peran RA Kosasih dan Sri Asih dalam perkembangan komik Indonesia, dan representasi perempuan dalam karya fiksi populer, membuka banyak peluang diskusi dan olah pikiran untuk menafsirkan makna yang lebih mendalam dari karya dan kreator legendaris Indonesia ini.
Apakah Sri Asih bisa menjadi karya yang menggambarkan feminisme di masa 1950an di Indonesia? Dalam konteks wacana dan gerakan feminisme tentu sulit untuk mengambil kesimpulan demikian. Tetapi, pilihan RA Kosasih untuk menciptakan karakter pahlawan super Indonesia yang pertama dengan gender perempuan tentu tidak dapat diabaikan.
Jika kita merujuk pada kutipan oleh Gloria Steinem pada pengantar yang ia tulis untuk koleksi kumpulan cerita Wonder Woman karya Marston dan Peter, sebagaimana dipetik dari buku Wonder Woman, Bondage and Feminism in the Marston-Peter Comics karya Noah Berlatsky (1972), Steinem mengatakan,
Melihat kembali kisah Wonder Woman yang dibuat di medio 40an, saya kagum pada kuatnya pesan feminis… Wonder Woman menyimbolkan banyak nilai dari budaya perempuan yang oleh feminis saat ini berusaha diperkenalkan ke arus utama: kekuatan dan kemandirian perempuan; persaudaraan dan saling dukung antar perempuan; kedamaian dan keyakinan akan kehidupan; penghilangan agresi “maskulin” dan pandangan bahwa kekerasan adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik.
Tentu kutipan yang dibuat Steinem untuk komik Wonder Woman tidak serta merta bisa kita sematkan pada cergam Sri Asih, terlebih lagi, RA Kosasih tidak punya banyak kesempatan untuk mengembangkan mitologi dan cerita Sri Asih karena munculnya protes dari LEKRA yang menganggap konten cergam saat itu tidak mengusung nilai budaya Indonesia dan justru kebarat-baratan. Namun, jika kita lihat nilai pertama yang disematkan Steinem pada Wonder Woman, sepertinya tepat juga untuk disematkan pada Sri Asih. Bahwa perempuan, bisa memiliki kekuatan dan berdikari, bahkan kemudian menolong orang-orang di sekitarnya.
Meski RA Kosasih tidak sempat banyak mengembangkan kisah untuk Sri Asih, salah satu judul seri Sri Asih yang bisa dibahas dan didekonstruksi sebagai sebuah pesan feminisme mungkin adalah Sri Asih di Singapura. Dalam judul ini, Kosasih mengangkat topik yang hingga kini masih menjadi isu penting dalam wacana dan pergerakan feminisme, yaitu perdagangan manusia, yang seringkali menjadi korban utama adalah perempuan.
Cergam ini menceritakan Nani Wijaya, alter ego Sri Asih, menjadi incaran kelompok bandit yang dipimpin oleh Macan Tutul, untuk diculik dan diperdagangkan ke luar negeri. Dalam wujud Sri Asih, ia menyelamatkan dirinya sendiri (self reliance, sebagaimana dikatakan oleh Steinem mengenai Wonder Woman), kemudian menyerahkan para bandit yang sudah ia tangkap kepada polisi.
Setibanya di Singapura, Sri Asih kemudian berusaha mencari tahu otak dibalik rencana penculikan dirinya. Ia kemudian menemukan markas rahasia para penjahat dan mendapati banyak perempuan yang juga menjadi korban penculikan dan akan diperjualbelikan oleh kelompok Macan Tutul. Korban perdagangan manusia ini tidak hanya perempuan Indonesia, tapi juga dari Malaya, Singapura, dan Tiongkok.
Kelompok pimpinan Macan Tutul ternyata melakukan kejahatan perdagangan perempuan lintas negara. Sri Asih lalu membebaskan para perempuan itu dan melawan kelompok penjahat. Macan Tutul sebagai pemimpin kabur dan kisahnya dilanjutkan ke seri berikutnya yang berjudul Sri Asih di Macau. Sri Asih sebagai perempuan, yang kemudian menolong perempuan lain, menunjukkan rasa persaudaraan dan pilihan untuk saling membantu perempuan.
Konsep dan wacana “feminisme” dalam cergam Sri Asih juga terlihat saat RA Kosasih “memberikan karakter pendamping” untuk Sri Asih dalam judul Sri Asih dan 1000 Mata. Di sana, Sri Asih melanjutkan petualangannya mengejar penjahat di kota New York. Salah satu penjahat berhasil menangkap Nani Wijaya dan membungkam mulut Nani, membuatnya tidak bisa berseru mantra Dewi Asih, yang akan mengubah Nani menjadi Sri Asih. Dalam kondisi tersekap, muncul karakter baru bernama Putri Bintang, pahlawan super asal New York yang menyelamatkan Sri Asih dan kemudian bahu-membahu mengalahkan penjahat.
Hampir tidak ada referensi yang membahas mengapa RA Kosasih memilih menciptakan karakter perempuan sebagai pahlawan super pertama di ranah fiksi Indonesia. Namun dari pemilihan cerita yang mengangkat isu-isu yang dialami perempuan, dan yang juga penting, penokohan Nani Wijaya/Sri Asih yang digambarkan sebagai perempuan terdidik, mapan secara ekonomi, dan mau menolong orang lain, memberikan tempat yang unik untuk tokoh perempuan, meski di dunia fiksi. Tentu tanpa ada informasi langsung dari RA Kosasih, dan karya komik yang amat sedikit dibahas di ranah akademis apalagi cultural studies, kita hanya bisa coba membongkar Sri Asih sebagai sebuah karya.
Adanya nilai-nilai feminisme yang tersirat dalam Sri Asih tidak lantas membuat label karya feminis tersemat dalam cergam ini. Sang kreator yang adalah laki-laki, kelas pekerja, dan bersuku Jawa/Sunda, tentu bagi sebagian pandangan feminisme akan mempertanyakan motivasi kepengarangan dari sang kreator. Apakah problem yang diangkat dari karya ini dibuat dari kesadaran dan sudut pandang yang membela perempuan? Ataukah Sri Asih hanya kebetulan seorang perempuan.
Sebagai sebuah studi, kehadiran feminisme selalu tampil dalam polarisasi nilai barat dan budaya timur. Label feminisme tidak pernah sepopuler label gerakan perempuan, atau istilah emansipasi wanita. Sebagaimana yang disampaikan Wulan Dirgantoro dalam bukunya, Feminism and Contemporary Art in Indonesia: Defining Experience, ada keengganan untuk mengadopsi istilah feminisme dalam ranah akademis, pergerakan, termasuk seni.
Konsepsi ini muncul karena feminisme dianggap sebagai sebuah konsep barat yang asing, dan tidak kompatibel dengan nilai-nilai luhur budaya timur. Bukan berarti nilai-nilai perjuangan feminisme tidak berkembang. Seperti yang disampaikan Steinem, ada nilai di dalam cerita yang mengangkat tokoh perempuan yang ternyata merupakan nilai serupa yang diperjuangkan oleh feminisme.
Polarisasi nilai barat dan budaya timur ini, uniknya juga dialami oleh dunia komik Indonesia. Gunawan (2021) mengutip Marcel Boneff dalam bukunya, Komik Indonesia.
Komik Sri Asih karya R.A. Kosasih yang populer di tahun 1954 yang bergenre Superhero, ditentang oleh para pendidik (Bonneff 1997). Selain formatnya yang sangat memudahkan untuk dibaca anak-anak dan dianggap membuat semangat belajar menurun, komik menjadi identik dengan “Amerika” yang sangat mudah untuk diberi label “imperialis”, “kapitalis” dan lain sebagainya, label-label negatif yang sering dilontarkan ketika sedang membangunkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Adanya label-label negatif tersebut tertanam di benak masyarakat sangat dipengaruhi oleh situasi politik Indonesia di awal kemerdekaan.
Padahal, terlihat betul upaya RA Kosasih memberikan tampilan visual pada Sri Asih agar se-Indonesia mungkin. Alih-alih mereka kostum baru sebagaimana yang ditampilkan pada Putri Bintang, untuk Sri Asih, Kosasih memilih untuk memberikan kostum yang sudah akrab bagi pembaca Indonesia. Bahkan dalam salah satu panel, seorang penjahat menyebut Sri Asih berpakaian wayang (merujuk pada betapa mirip kostum yang dikenakan Sri Asih dengan kostum penampilan wayang orang tradisional).
Aplikasi visual yang dekat dengan budaya lokal ini mungkin dianggap tidak cukup untuk mengimbangi konten cerita yang begitu kosmopolitan, menggambarkan kemajuan khas barat dengan problem kejahatan yang tidak ‘dekat’ dengan Indonesia.
Apakah kritik narasi kebarat-baratan ini, juga terkait dengan peran gender Sri Asih sebagai tokoh utama dan bentuk resistensi terhadap konsep feminisme barat? Tentu pertanyaan ini membutuhkan kajian lebih mendalam. Berikutnya, mungkin saya bisa mengkaji lebih detail setiap cerita dari cergam Sri Asih yang pernah diterbitkan, dan mungkin korelasinya dengan perkembangan wacana kebudayaan nasional di masa tersebut.
Baca juga: Bumilangit Luncurkan Jagat Superhero, Ini Dia Jagoan-jagoan Perempuannya
Menceritakan Ulang Sang Dewi
Pada tahun 2017, Bumilangit, sebagai pemegang hak komersial karakter Sri Asih, membuat komik Sri Asih baru dengan alter ego karakter yang baru pula. Pada terbitan ini, komik Sri Asih digarap oleh Alfy Zackhyelle sebagai penulis, Alti Firmansyah dan Azisa Noor sebagai ilustrator, serta Oyasujiwo sebagai editor. Sri Asih diceritakan menitis pada seorang gadis muda bernama Rengganis.
Jika versi orisinal karya RA Kosasih yang penceritaannya banyak terfokus pada aksi Sri Asih menghadapi kelompok penjahat demi menolong orang lain, versi Sri Asih Ganis ini memberikan banyak ruang untuk eksplorasi karakter Ganis sebagai gadis muda yang memilki idealismenya sendiri, sebelum kelak terpilih menjadi Sri Asih. Oyasujiwo, dalam sebuah siniar yang dirilis di laman youtube milik bumilangit menyampaikan:
Dalam menceritakan ulang karakter-karakter komik dari berbagai maestro komik Indonesia di masa lalu, dalam sebuah jagat fiksi baru, Bumilangit perlu menghadirkan dunia di mana karakter-karakter ini memiliki sejarah dan ruang untuk dihidupi. Kami menyusun jagat Bumilangit berpusat pada sejarah dan nilai-nilai Indonesia. Mencari padanan kejadian yang bisa kami gunakan sebagai latar dunia fiksi ini. Kami kemudian memutuskan untuk menggunakan letusan toba purba pada 75000SM sebagai awal mula jagat bumilangit, di mana legenda, mitos, dan para jagoan hidup dan beraksi, dari jaman ke zaman, dalam sandingan momen sejarah Indonesia yang bisa dipadankan. Masa prahistoris di mana daratan sumatra, jawa, dan kalimantan masih menyatu sebagai sundalandia, kami jadikan latar lokasi. Masa kolonialisme Belanda menjadi latar kejadian dalam komik Si Buta dari Gua Hantu, Sri Asih menitis di setiap jaman pada orang-orang terpilih. Semua ini membuka potensi pengembangan dunia fiksi jagat Bumilangit.
Tidak seperti Marvel atau DC, penerbit komik di AS dengan industri yang mapan, yang telah membangun semesta fiksinya seiring dengan penciptaan karakter dan perilisan komik, Bumilangit hadir setelah karakter-karakter ini terbit oleh masing-masing kreator di masa lalu. Begitu banyak karakter komik dari kreator berbeda yang kini dikelola Bumilangit mencetuskan kebutuhan untuk membangun dunia fiksi baru dan mitos di sekitarnya.
Baca juga: Superhero Perempuan dan Problematika Representasinya
Dari Feminisme ke Ekofeminisme?
Sri Asih dalam lembar-lembar komik asli karya RA Kosasih tampil sebagai sosok perempuan kuat, mandiri, dan bertindak menolong perempuan lain, selayaknya perjuangan gelombang kedua feminisme Barat. Ganis, sebagai Sri Asih yang direka-cipta kembali, tidaknya hanya hadir sebagai sosok yang ada dan menjadi subyek, tapi memiliki kepentingan yang spesifik. Hal ini bisa dilihat dari pemilihan kreatif Ganis sebagai seorang aktivis lingkungan.
Saya rasa, menarik jika kita mengkaji komik Sri Asih versi Ganis dalam sudut pandang ekofeminisme. Meski saya yakin, tim kreatif Bumilangit tidak dengan sadar mendasari karakterisasi Sri Asih Ganis dan cerita yang mereka buat berdasarkan teori feminisme gelombang ketiga. Tapi, tentu pembacaan ulang dari sudut pandang baru ini bisa menjadi topik bahasan yang menarik.
Salah satu pemikir ekofeminisme yang populer (dan mungkin bisa dikatakan sebagai yang mempopulerkan) adalah Vandana Shiva. Menarik garis analogi imajiner antara tokoh fiksi rekaan dari Indonesia, dengan aktivis dan pemikir asal India sepertinya bukan sesuatu yang terlalu dipaksakan. Sebagai dua wilayah yang berkembang pasca kolonialisme, India dan Indonesia memiliki set masalah yang unik dan kompleks.
Shiva, dalam bukunya Ecofeminism, yang ditulis bersama Maria Mies, yakin bahwa marginalisasi perempuan dan kerusakan lingkungan (biodiversitas) berjalan seiring selangkah. Bagi Shiva, ilmu pengetahuan, yang berkembang dalam dominasi patriarki, dengan prinsip universalitas akhirnya melestarikan pemisahan biner atas segala sesuatu. Benar-salah, hitam-putih, maju-terbelakang, dan tentu saja laki-laki-perempuan.
Kebiasaan berpikir biner ini bagi Shiva akhirnya mengekang potensi perempuan pada nilai-nilai yang disematkan padanya oleh struktur sosial patriarki. Dan ketika laju peradaban mendapatkan identitasnya melalui industri, sifat maskulin pun melekat padanya. Sementara alam, mendapat predikat feminin (mother earth, ibu bumi). Dalam logika ekofeminisme Shiva, dengan berpihaknya ilmu pengetahuan pada kemajuan, yang identik dengan industrialisasi dan mekanisasi, alam sama halnya seperti perempuan, menjadi bagian yang ditinggalkan dan tidak dianggap penting.
Vandana Shiva dengan ekofeminismenya berusaha keluar dari pemisahan biner ini dengan menunjukkan kemajemukan sebagai esensi kehidupan. Alam pada dasarnya majemuk, heterogen, memiliki banyak fungsi dan peran.
Di sini kemudian dia juga berargumen perempuan menjalankan fungsi majemuk yang sama. Secara historis, sifat nurture yang ada pada perempuan, selalu memegang peran baik domestik maupun publik. Perempuan selain melahirkan, merawat, dan membesarkan anak, juga terlibat dalam kegiatan agrikultur. Untuk merawat keluarganya, perempuan perlu merawat alam di sekitarnya, dan dengan sendirinya merawat kehidupan.
Ketika perkembangan pola pikir industrial yang hadir dengan kebenaran universalnya mengutamakan tingginya angka produksi, dalam pertanian misalnya, menerapkan pertanian monokultur yang mengingkari kemajemukan, akar dari peran perempuan pun tercabut. Siklus bercocok tanam menjadi tunggal, bisa jadi bentrok dengan peran domestik perempuan, akhirnya perempuan dipaksa untuk tidak lagi beraktivitas di ruang publik, dan selanjutnya tentu muncul masalah yang sampai saat ini berusaha diatasi lewat gerakan feminisme.
Ganis, dalam komik Sri Asih versi 2017 ini sejak awal digambarkan sebagai pecinta lingkungan. Pertemuan pertamanya dengan “tokoh jahat” dalam komik ini adalah saat ia berusaha menggagalkan satu upaya perburuan satwa liar ilegal. Inti cerita dalam komik ini juga menggambarkan antagonis yang berdiri di sisi industri dan kapitalisme.
Ganis bersama LSM dan warga setempat, berusaha melawan upaya pembangunan bendungan yang akan menghancurkan lingkungan di wilayah mereka. Namun, jika hanya sosok perempuan yang berjuang untuk satu prinsip, meski itu berlatar penyelamatan lingkungan, tentu masih cukup berjarak dengan pandangan Vandana Shiva yang mensyaratkan ada peran majemuk yang saling terkoneksi antara perempuan dengan alam.
Di sinilah kita bisa memasukkan unsur fiksi dunia komik dalam relasi alam dan manusia. Sosok Dewi Asih, ditampilkan sebagai pelindung paripurna, memberikan kekuatan Sri Asih pada Ganis. Dalam komik ini kita ditunjukkan cerita masa kecil Ganis yang selalu berusaha menyelamatkan dan melindungi hewan di sekitar kita. Motivasi yang terbangun sejak ia kehilangan ibunya dalam sebuah kecelakaan dan membuatnya merasa rentan serta tidak bisa melindungi siapa pun. Konsistensi dalam menjalankan peran ‘penjaga’ dan ‘pelindung’ ini yang kemudian membuat Ganis terpilih menjadi titisan Sri Asih.
Baca juga: Mengemis Cinta Thor, Kenapa Marvel Sulit Bikin Superhero Perempuan yang Setara?
Gelombang Evolusi Sri Asih Sejalan dengan Gelombang Gerakan Feminisme?
Setelah Sri Asih Ganis, pada 2019, Bumilangit kembali merilis versi berbeda dari Sri Asih dalam komik berjudul Sri Asih Celestial Goddess yang ditulis oleh Archie the Red Cat, digambar oleh Devita Krisanti, serta dieditori oleh Ditta A Saraswati. Trio kreator perempuan muda ini menyajikan petualangan baru Sri Asih untuk generasi yang lebih muda dari sebelumnya, baik Sri Asih orisinal maupun Sri Asih Ganis. Dalam judul ini, kekuatan Sri Asih hadir dalam sosok Alana, remaja SMA yang sekilas terlihat seperti remaja pada umumnya, dengan permasalahan khas remaja.
Pemilihan usia karakter yang lebih muda tentu disesuaikan dengan demografi calon pembaca komik Sri Asih Celestial Goddess. Komik ini dirilis melalui platform komik digital Line Webtoon dalam format webtun geser vertikal. Mayoritas pembaca di platform ini adalah remaja perempuan. Maka, Bumilangit mereka kembali karakter adiwira pertama Indonesia ini dalam kemasan yang mudah diterima pembaca remaja perempuan, tetap dalam genre fantasi-aksi, namun berbalut kisah romansa dan komedi khas remaja.
Jika sebelumnya Sri Asih orisinal disandingkan dengan ciri feminisme gelombang kedua. Lalu Sri Asih Ganis dibedah dalam konteks feminisme gelombang ketiga, khususnya ecofeminisme. Bisakah kita melihat evolusi berikutnya dari Sri Asih sebagai cerminan feminisme gelombang keempat?
Secara umum, feminisme gelombang keempat banyak dilihat sebagai kelanjutan alami dari feminisme gelombang ketiga. Tidak banyak disrupsi yang benar-benar membedakan antara gelombang gerakan ini. Namun, yang menjadi kekhasan feminisime gelombang keempat adalah penekanan pada interseksionalitas, internasionalisme, solidaritas, dan desentralisasi.
Interseksionalitas, melanjutkan prinsip gelombang ketiga feminisme, di mana permasalahan perempuan bukan hanya soal perempuan, seperti halnya ekofeminisme merupakan irisan antara gerakan perempuan dan isu lingkungan. Irisan ini juga terjadi lintas gender (yang saat ini tidak lagi biner), permasalahan struktur patriarki juga membawa masalah bagi perempuan, misalnya dengan fenomena toxic masculinity. Feminisme bisa bergerak dalam berbagai konteks permasalahan sosial karena kemajemukan ini.
Internasionalisme. Isu global menjadi isu lokal, dan sebaliknya. Jika gelombang feminisme sebelumnya banyak mengakar dari pemikiran barat, maka kini muncul banyak argumen, teori, dan pemikiran yang berusaha masuk ke arusutama. Diskursus pascakolonialisme yang memajukan konsep identitas yang unik, menjadi salah satu kendaraan untuk gerakan feminisme gelombang keempat.
Solidaritas. Kesamaan kondisi sebagai yang tertekan, mengalami opresi, membuat ciri gelombang keempat lebih inklusif. Batasan-batasan dalam wacana feminisme mencari lebih kabur, karena saling silang majemuk siapa pun yang bisa terlibat di dalamnya.
Desentralisasi. Dengan perkembangan teknologi internet, dan akses pengorganisasian yang bisa dimulai dari mana saja kapan saja, feminisme gelombang keempat tidak terpaku pada satu komando gerakan. Di sisi sebaliknya, internet juga memudahkan gerakan feminisme untuk menyambangi “lawan” mereka. Penguasa politik yang misoginis, bisa dengan mudah ditunjuk hidungnya lewat media sosial. Tuntutan perubahan aturan atau perundang-undangan, bisa diviralkan lewat tagar. Gerakan #metoo yang berusaha membongkar kasus-kasus kekerasan pada perempuan misalnya, berhasil mengglobal setelah viral di media sosial, tidak hanya untuk mendukung kasus yang menjadi mulanya (Hollywood), tapi juga untuk mengungkap kasus-kasus di berbagai negara lain.
Melihat empat ciri gelombang feminisme keempat ini, meski Sri Asih Celestial Goddess belum memilki akar cerita yang lebih menunjukkan ciri feminisme sebagaimana karya RA Kosasih maupun Sri Asih Ganis, komik yang dibuat untuk generasi pembaca baru di media baru ini memiliki potensi untuk membawa wacana-wacana feminisme gelombang keempat.
Masa untuk menempatkan satu sosok untuk menjadi pahlawan yang datang sebagai juru selamat mungkin memang sudah lewat, ciri kepahlawanan saat ini melekat dalam komunitas dan kolaborasi. Namun, dalam karya fiksi, bukan tidak mungkin Sri Asih bisa membawa simbol yang sublim untuk gerakan perempuan. Sebagai karakter yang memiliki berbagai media alih wahana mulai dari komik, mainan, hingga film, Sri Asih bisa menjadi Wonder Womannya Indonesia. Pertanyaannya masih perlukah perbandingan semacam ini? Semoga diskusi mengenai komik Indonesia dalam konteks studi kebudayaan menjadi semakin subur.