Gender dan Disabilitas: Dua Sisi Mata Uang yang Sama
Isu gender dan disabilitas adalah dua sisi mata uang yang sama, dan analisis gender atas disabilitas dapat digunakan untuk mengikis bias.
Pembahasan soal gender dan disabilitas sering kali terjebak ke dalam dua domain yang berbeda: isu gender satu hal, isu disabilitas hal lain. Beruntunglah dalam feminisme kita dikenalkan pada interseksionalitas, sebuah terobosan penting untuk memahami bahwa ada irisan-irisan yang saling berhubungan dan membentuk diagram Venn yang bermuara kepada praktik diskriminasi berganda.
Perempuan dengan disabilitas sering kali mengalami diskriminasi lebih banyak dibandingkan lelaki dengan disabilitas. Hal itu akibat bekerjanya diskriminasi gender dalam diskriminasi disabilitas. Demikian pula, lelaki dengan disabilitas dari kelas sosial bawah bisa lebih rentan terkena diskriminasi dibandingkan perempuan disabilitas dari kelas atas.
Dengan memahami kerja diskriminasi dalam konteks disabilitas dan gender, kita dapat menghindari keterbelahan dalam melihat persoalan ini. Pada gilirannya, itu akan membantu memetakan solusi atau advokasinya agar tidak jalan sendiri-sendiri atau saling menegasikan dilihat dari aspek prioritasnya.
Hal pertama yang harus dilihat dalam isu disabilitas, seperti juga dalam melihat isu gender, adalah konsep “ketubuhan fisik” dan “ketubuhan sosial”. Setiap orang memiliki tubuh, dan manusia, melalui pengalaman, pengetahuan, ketidaktahuan, dan prasangka, menafsirkan makna tubuh secara fisik menjadi tubuh secara sosial.
Di ruang tafsir secara sosial itu terbentuk nilai-nilai tentang tubuh “normal” dan “tidak normal”. “Tubuh normal”, sebagaimana “lelaki/maskulinitas”, kemudian menjadi patokan, ukuran, dan standar “ kenormalan”. Dalam standar kenormalan itu, dengan sendirinya pengalaman-pengalaman disabilitas tidak dikenali atau tidak hadir, dan karenanya pengalaman mereka tidak dijadikan patokan. Sebaliknya yang muncul kemudian bias, prasangka yang bermuara kepada kesalahan dalam memahami disabilitas.
Menyatakan bahwa disabilitas itu “tidak normal” jelas bukan fakta, melainkan konstruksi sosial. Hal ini dapat dilihat dari munculnya stereotip tentang orang dengan disabilitas, yang berangkat dari prasangka berbasis keadaan tubuh itu sendiri. Sebagaimana jenis kelamin, keadaan tubuh pada setiap orang tidak sama atau tidak tunggal: Ada bentuk, warna, ukuran, jenis rambut, jenis kulit, jenis pancaindra dan seterusnya.
Setiap tubuh itu punya potensi menjadi tidak sempurna ketika masuk ke dalam ruang tafsir “tubuh sosial”. Hal in dapat dibuktikan dari kenyataan bahwa setiap tubuh punya potensi menjadi basis diskriminasi, entah itu karena warna kulitnya, warna dan jenis rambutnya, jenis tubuhnya, ukuran berat dan tinggi tubuhnya, keadaan fisik, dan jenis kelaminnya.
Dalam isu gender, tatanan sosial politik dan ajaran agama membentuk pandangan dominan tentang gender mana yang dianggap utama, dan mana yang subordinat. Dalam isu tubuh pun tatanan politik, agama, budaya telah membentuk konsep “kenormalan” tubuh yang dijadikan patokan.
Dengan pemahaman konsep seperti ini, kita bisa memahami bahwa isu gender dan disabilitas adalah dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Keduanya berangkat dari tafsir dan prasangka yang melahirkan stereotip yang bersumber dari penafsiran manusia atas jenis kelamin dan atas tubuh. Kedua penafsiran itu melahirkan konsep “jenis kelamin sosial” dan “tubuh sosial”.
Baca juga: Perempuan dengan Disabilitas Intelektual Rentan Kekerasan, Eksploitasi Seksual
Penafsiran otoritas
Persoalan kemudian muncul saat penafsiran atas tubuh, atau penafsiran atas jenis kelamin, dilakukan oleh mereka yang tidak benar-benar paham tentang yang mereka tafsirkan, namun punya otoritas plus prasangka. Ini menjadi lebih bermasalah lagi tatkala pandangan mereka dijadikan patokan kebenaran karena otoritas yang dimilikinya. Dengan kata lain, penafsiran yang seharusnya relatif, cair, dan mungkin untuk berubah, menjadi sesuatu yang mutlak, mengikat, dan statis.
Pada dua isu itu, gender dan disabilitas, si penafsir adalah kelompok dominan yang mendiktekan pandangannya berdasarkan apa yang mereka ketahui dan/atau kepentingannya. Laki-laki atau budaya lelaki (maskulinitas) dalam politik kekuasaan lelaki (patriarki) menjadi penafsir atau sumber penafsiran atas perempuan. Demikian halnya kelompok non-disabilitas merasa paling tahu atas kaum disabilitas. Padahal para penafsir untuk dua domain itu tak (selalu) benar-benar punya pengalaman atau pengetahuan tentang subyek yang ditafsirinya. Bahwa mereka punya otoritas, tidak dengan sendirinya mereka sebagai pemegang kebenaran.
Dalam isu gender, kita dapat melihatnya dalam tafsir tentang reproduksi manusia. Dalam Islam, otoritas atas tafsir itu dimiliki para ahli fikih. Merekalah yang merumuskan konsep reproduksi perempuan dan dikodifikasikan menjadi hukum-hukum. Artinya, lelakilah yang memberi makna apa dan bagaimana itu haid, hamil, melahirkan, nifas, menyusui, demikian halnya tentang dampak yang ditimbulkannya seperti rasa sakit, sedih, senang, bahagia, cemas yang terkait dengan seluruh “rasa” akibat proses reproduksi itu. Aneh bukan?
Karenanya sangat “wajar” kalau mereka tidak sepenuhnya tahu dan karenanya berusaha mencari tahu (melakukan riset, misalnya). Tetapi adalah tidak wajar ketika mereka “sok tahu” bahkan merasa “paling tahu” hanya karena memiliki otoritas dan prasangka. Di titik ini persoalan muncul. Kita lihat saja, pengalaman reproduksi yang riil dirasakan perempuan ternyata tidak hadir dalam bangunan pengetahuan keagamaan atau fikih secara benar sesuai pengalaman perempuan.
Demikian halnya dalam isu disabilitas. Warga yang mendaku diri “normal”, sebagaimana “lelaki”, secara sepihak mengambil alih otoritas dan pengetahuan atas “kenormalan” dan “ketidaknormalan” tubuh/raga/jiwa manusia. Penguasa ruang tafsir itu merupakan kelompok dominan (bisa berdasarkan jumlah, atau kekuatan politik, atau keistimewaan yang terberi oleh sejarah seperti kolonialisme), atau apa pun. Mereka kemudian punya hak penuh atas penafsiran, memiliki otoritas dalam pembentukan opini, pengetahuan, teori, yang sangat bisa jadi didasarkan kepada ketidaktahuan, kenaifan, prasangka, bias atau kepentingannya sendiri terkait dengan seluk beluk disabilitas.
Atas situasi itu, dan atas kesadaran bahwa cara kerja produksi pengetahuan bisa keliru, ilmu pengetahuan juga punya daya untuk melakukan koreksi dan konstruksi ulang. Dalam konteks disabilitas, koreksi dilakukan dengan cara menghadirkan pengalaman kaum disabilitas dalam bangunan pengetahuan tentang disabilitas yang benar-benar berangkat dari pengalaman mereka.
Analisis gender untuk dekonstruksi disabilitas
Namun sejauh ini, konsep disabilitas yang didasarkan kepada tafsir sosial jenis kelamin (gender) atas kaum disabilitas masih harus terus dilakukan. Salah satu perangkat penting dan sangat membantu dalam mengoreksi dan mendekonstruksi konsep disabilitas itu adalah analisis gender.
Analisis gender adalah suatu perangkat analisis yang dapat membaca lelaki/maskulinitas dan perempuan/feminitas merupakan dua entitas yang berbeda. Mereka ditumbuhkan, dipersepsikan, dan diharapkan untuk bertingkah laku secara berbeda sesuai dengan harapan sosial/norma masyarakatnya. Namun karena ruang tafsir dimiliki secara tidak seimbang, persepsi sosial tentang lelaki bisa menguntungkan mereka dalam masyarakat yang memuliakan lelaki.
Baca juga: Ketika Rumah Jadi Penjara bagi Perempuan dengan Disabilitas
Analisis gender dapat membantu memahami bahwa norma itu bisa sangat menekan mereka dan berujung kepada gangguan kejiwaan laki-laki ketika norma di dalam masyarakat tidak cocok dengan keadaannya. Norma-norma yang mendiktenya agar mereka sesuai dengan harapan masyarakat, dan bagaimana seharusnya menjadi lelaki akan “memakannya”. Tatkala hal itu tak terpenuhi, ia menjadi rentan mengalami disabilitas mental meskipun seluruh anggota tubuhnya lengkap.
Demikian sebaliknya pada perempuan, harapan sosial atas perempuan menuntutnya menjadi “perempuan normal” seperti berkeluarga, punya suami, punya anak. Tatkala itu tak terpenuhi oleh seorang perempuan, ia menjadi rentan mengalami gangguan mental.
Dalam isu seksualitas, analisis gender sangat penting digunakan untuk membaca situasi orang dengan disabilitas fisik atau mental baik lelaki maupun perempuan. Masyarakat biasanya memberi pemakluman lebih besar kepada ekspresi seksual lelaki. Namun tidak kepada perempuan. Hal serupa juga berlaku kepada kelompok disabilitas. Perempuan dengan disabilitas fisik atau mental dipersepsikan sebagai manusia tanpa hasrat seks. Sementara kepada lelaki dengan disabilitas, berlaku norma seksual yang sebaliknya. Karenanya, ketika terjadi “penyimpangan” dari norma, muncul sanksi-sanksi dan tindak diskriminatif yang basis prasangkanya adalah persepsi tentang kepantasan sesuai dengan norma gendernya, yang juga diberlakukan persis sama kepada kaum disabilitas.
Baca juga: Perempuan dengan Disabilitas Hadapi Kesulitan Ganda dalam Bekerja
Dalam kaitannya dengan pekerjaan, analisis gender dapat membantu memahami bahwa ada tekanan kepada laki-laki dengan disabilitas untuk bekerja, karena norma gender mengharapkan mereka sebagai pemimpin dan kepala keluarga. Karenanya, orang menganggap wajar jika seluruh aset keluarga diprioritaskan kepadanya. Padahal tuntutan untuk bekerja kepada perempuan dengan disabilitas sangat penting justru karena kerentanan yang menuntut mereka untuk jauh lebih mandiri.
Jadi, analisis gender dalam konteks disabilitas adalah analisis tentang tafsir sosial atas jenis kelamin (gender) terhadap orang dengan disabilitas, baik lelaki maupun perempuan. Gender sebagai alat analisis digunakan sebagai teropong untuk memahami bekerjanya tafsir tentang gender yang berlaku dalam dunia disabilitas. Analisis gender penting digunakan untuk menghindari stereotip yang melahirkan bacaan yang keliru tentang disabilitas laki-laki dan perempuan. Analisis gender atas disabilitas digunakan atau dimanfaatkan untuk mengikis prasangka atau bias, memahami situasi-situasi lelaki dan perempuan disabilitas, dan bermuara kepada kebijakan yang adil gender bagi kelompok disabilitas.
Di Indonesia, kita telah memiliki alat analisis gender yang berlaku sebagai kebijakan negara dengan nama Gender Analisis Pathway (GAP). Langkah-langkah GAP dapat digunakan untuk membaca situasi orang dengan disabilitas dan merumuskan analisis untuk kebijakannya. Intinya, GAP membantu melakukan bacaan atas realitas mereka.
Setiap orang, baik lelaki maupun perempuan, dengan atau tanpa disabilitas memiliki keterbatasan-keterbatasan. Pembangunan berkewajiban untuk menyediakan segala sarana dan prasarana agar keterbatasan-keterbatasan itu tidak menjadi hambatan dalam mengakses, berpartisipasi, mendapatkan manfaat, serta mengontrol pembangunan yang sesuai dengan hakikatnya sebagai manusia, dengan atau tanpa disabilitas.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh Rumah KitaB.