Gerakan Ekstrem Kanan Eropa Bangkit, Alarm buat Indonesia?
Pengrusakan tempat ibadah hingga kekerasan agama di ruang virtual menjadi sinyalemen Indonesia menuju era kebangkitan para ekstrem kanan.
Lembaga penyiaran publik Jerman, Deutsche Welle (DW) merilis film dokumenter “Warisan ideologi Nazi asli pada gerakan neo-Nazi saat ini” pada September 2019. Di dalamnya diuraikan bagaimana kebangkitan “identitarianisme Jerman” (Identitäre Bewegung) – gerakan sayap kanan dengan semangat etno-nasionalisme dan anti-semitisme abad ke-20.
Penganutnya menyuarakan “Deutschland den Deutschen – Ausländer ‘raus!” (“Jerman untuk orang Jerman, orang asing keluar!”)
Mereka tidak sebatas menyebarkan propaganda rasis, melainkan juga melakukan kekerasan terhadap identitas yang berbeda dan “non-Jerman”. Benih kebencian seperti ini merupakan cikal bakal genosida Holocaust terhadap penganut Yahudi semasa Perang Dunia II.
Sejatinya, Jerman bukan satu-satunya negara tempat gerakan rasialisme tersebut bangkit. Saat ini banyak anak muda dari belahan negara Eropa lain yang juga terjangkit ideologi serupa.
Fenomena apa yang bisa menjelaskan bangkitnya demam ekstrem kanan ini di antara anak muda Eropa? Apakah hal serupa berpotensi terjadi juga di Indonesia – tempat polarisasi politik kian gencar beberapa tahun belakangan?
Baca juga: Menjadi Feminis, Bukan ‘Femonasionalis’
Lika-liku Gerakan Ekstrem Kanan Kaum Muda
Pada medio 2010-an silam, gerakan identitarian dan ekstrem kanan semakin menunjukkan “taring”-nya dan mulai mengasosiasikan diri mereka ke dalam jaringan ideologi politik sayap kanan yang lebih luas, Pan-Eropa.
Sekelompok pemuda Prancis-lah yang pertama kali menyerukan gerakan identitarian abad ke-21 dengan berdirinya Jeunesses Identitaires (Pemuda Identitarian) pada 2002. Gerakan ini kemudian menjadi Génération Identitaire (Generasi Identitarian) pada 2012.
Melalui kampanye yang masif di media sosial, Génération Identitaire menginspirasi kelompok anak muda lain di Eropa untuk mendirikan gerakan ultra-nasionalis serupa di negaranya masing-masing. Di antaranya ada Identitäre Bewegung Österreich (IBÖ) di Austria, Generazione Identitaria di Italia, Nordiska Motståndsrörelsen di wilayah Skandinavia, Magyar Önvédelmi Mozgalom di Hungaria, bahkan hingga Amerika Serikat (AS) dan Selandia Baru.
Menariknya, gerakan tersebut tak hanya melakukan demonstrasi. Mereka juga melakukan kekerasan berupa pendudukan berbagai kantor pemerintahan, tempat keagamaan seperti masjid dan gereja, hingga “razia migran” baik di perbatasan antarnegara maupun wilayah perairan. Mereka pun menyiarkan aksi brutal tersebut ke dunia maya guna membangun dukungan publik.
Pada 2017, jaringan kelompok identitarian Eropa, Defend Europe, mengumpulkan dana di media sosial lebih dari US$150 ribu (Rp2,2 miliar). Uang ini dipakai untuk menyewa kapal guna memblokade kapal lain yang membawa imigran via Laut Mediterania.
Pada tahun yang sama, sekitar 60.000 anggota kelompok identitarian di Polandia turun ke jalan sembari merusak kendaraan milik migran.
Brenton Harrison-Tarrant, aktivis identitarian dan pelaku teror penembakan warga Muslim yang mengakibatkan 51 orang terbunuh di Christchurch, Selandia Baru pada 2019, turut berdonasi lebih dari Rp50 juta kepada IBÖ dan Génération Identitaire guna menggencarkan aksi “anti-imigran” bahkan “anti-Islamisme” di kedua negara tersebut.
Saat ini, pemerintah setempat menetapkan beberapa gerakan tersebut sebagai organisasi terlarang. Ini merupakan respons terhadap aksi-aksi kekerasan yang dianggap mencederai nilai-nilai demokrasi.
Namun, sebagaimana kata mantan Uskup Agung di Brazil, Dom Helder Camara dalam Spiral of Violence (1971), “pembubaran organisasi” bukan berarti mematikan ideologi gerakan itu sendiri. Justru sebaliknya, berbagai gerakan tersebut terus mencari formula baru untuk semakin giat melancarkan aksi radikal mereka.
Lalu pertanyaannya, mengapa gerakan identitarian hari ini justru seakan semakin digandrungi kaum muda Eropa, yang sebagian besarnya berpendidikan tinggi? Bukankah negara maju adalah negara yang selama ini menjadi kiblat tempat nilai-nilai “toleransi” dan “demokrasi” dijunjung tinggi?
Baca juga: Konspirasi Wahyudi: 5 Rekomendasi Film Bertema Yahudi Ortodoks di Netflix
Menyebarnya Politik Kebencian
Di Eropa, ideologi ekstrem kanan yang menyuarakan ide “eurosentrisme” bukanlah hal baru. Justru, gerakan identitarian mencoba mereplikasi kembali semangat ideologi Nazisme dan etno-nasionalisme Eropa yang berkembang sejak pertengahan abad ke-20.
Dogma etno-nasionalisme Eropa bermula dari perlawanan kelompok ekstrem kanan terhadap proyek modernisme, globalisasi, hak asasi manusia (HAM), dan egalitarianisme yang mereka anggap memudarkan tradisi dan identitas Eropa sebagai sebuah “bangsa”.
Lebih lanjut, etno-nasionalisme semakin memanas saat pengaruh nilai HAM dan egalitarianisme tersebut juga membuka “keran” bagi orang Afrika, Timur Tengah, maupun Asia untuk bermigrasi dan mencari mata pencaharian di Eropa. Dalam pandangan mereka, fenomena ini seakan mengizinkan “orang asing” untuk tinggal dan menetap di mana saja, serta mendapatkan status, kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dengan masyarakat lokal Eropa.
Berangkat dari situ, gerakan etno-nasionalisme Eropa bertransformasi menjadi gerakan “anti-migran” dan bahkan “anti-muslim”. Mereka menyebut pertumbuhan migran dan Islam di Eropa sebagai bagian dari proyek “kolonisasi dari imigran”, sehingga kekerasan dimaknai sebagai cara melawan “kolonialisme baru”.
Lantas, mengapa kelompok identitarian tumbuh subur khususnya di kalangan kaum muda?
Harus diakui, kemunculan gerakan identitarian merupakan respons kaum muda Eropa – khususnya mereka dari kota-kota kecil pasca rezim sosialis – yang merasa frustasi dengan realitas kehidupan sosial-ekonomi mereka yang dirasa kian didominasi kelompok migran. Makin kompetitifnya lapangan kerja membuat mereka menjadikan “migran” sebagai kambing hitam.
Di sisi lain, partai politik konservatif kanan kian memanfaatkan kebangkitan ideologi identitarian untuk terus menyuarakan politik kebencian di kalangan kaum muda sebagai strategi mendongkrak elektabilitas.
Politik kebencian yang semestinya dapat tertangani dengan edukasi ini justru menjadi subur seketika.
Lantaran terhasut oleh narasi kebencian yang membabi buta, para kaum muda tersebut seakan lupa bahwa sejatinya “Eropa” dan “Non-Eropa”, “kulit putih” dan “kulit hitam”, adalah hal yang mengakar dan justru membuat Eropa menjadi lebih baik seperti sekarang ini. Pasca keruntuhan kota-kota Eropa akibat Perang Dunia ke-II, para migran juga turut mengambil peran penting dalam memulihkan ekonomi Eropa.
Baca juga: Anak Muda Kunci Atasi Kekerasan Terhadap Perempuan, Radikalisme
Berkaca pada Indonesia
Di Indonesia, hingga saat ini belum terdapat model gerakan identitarian yang semasif dan terorganisasi layaknya di Eropa.
Meski demikian, bukan berarti benih tersebut tidak muncul.
Misalnya, ini terlihat dari insiden kekerasan yang menimpa umat agama minoritas di Indonesia selama satu dekade ke belakang – termasuk perusakan tempat ibadah maupun pengusiran paksa umat Ahmadiyah dan Syiah, hingga berbagai kasus penghalangan pembangunan gereja umat Kristiani.
Pada era digital, benih politik kebencian juga terus ditanamkan di ruang virtual – tempat banyak anak muda Indonesia beraktivitas. Hal tersebut lambat laun bisa mendorong munculnya aksi nyata sebagaimana yang terjadi di Eropa beberapa tahun terakhir.
Sama dengan di Eropa, elit politik yang semestinya menjadi contoh bagi masyarakat dalam menjalankan etika berdemokrasi justru juga ikut menjadi agen utama yang membangun narasi kebencian demi keuntungan politik.
Etika berdemokrasi dan etika bermedia sosial adalah faktor penting yang akan menentukan arah politik Indonesia ke depan – apakah semakin memajukan peradaban dalam berbangsa dan bernegara, atau semakin tersungkur dalam jurang kebencian. Sudah semestinya laporan Digital Civility Index (2021) yang menempatkan warganet Indonesia sebagai netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara menjadi “alarm” buat bangsa ini.
Realitas netizen Indonesia yang mayoritasnya adalah kaum muda, tengah tidak baik-baik saja.
Eropa telah menunjukkan, masyarakat yang cenderung berpendidikan pun bisa terhasut paham identitarian yang berujung kekerasan.
Ini adalah pelajaran bagi Indonesia. Di tengah beragamnya perbedaan identitas dan keyakinan, sikap tenggang rasa, nilai-nilai etis dalam demokrasi dan kebhinekaan harus tetap dijunjung tinggi.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.