December 5, 2025
#WaveForEquality Issues People We Love

Ghevin Agung Nugraha: Perjalanan Lawan Stigma hingga Advokasi ke Sesama Lelaki

Memahami gender berarti membuka ruang bagi laki-laki untuk merasa rapuh. Ghevin membagikan perjalanan dan advokasinya dari pengalaman pribadi hingga ruang publik.

  • October 31, 2025
  • 5 min read
  • 3084 Views
Ghevin Agung Nugraha: Perjalanan Lawan Stigma hingga Advokasi ke Sesama Lelaki

Perjalanan memahami gender bagi Ghevin Agung Nugraha, 23, bukan sekadar teori atau slogan advokasi. Itu adalah proses memahami diri sendiri, sekaligus titik balik dalam cara ia melihat dunia dan orang-orang di sekitarnya. 

Ghevin sendiri aktif sebagai Junior Research Fellow di Yayasan Pelopor Pilihan 17 (Kawula17.id), bagian dari Aliansi Laki-laki Baru (ALB). Ia juga aktif menjadi volunteer di berbagai lembaga, termasuk Plan International Indonesia. Namun titik awalnya menjadi advokat gender dimulai jauh sebelum itu. 

Ia tumbuh di keluarga konservatif, di mana laki-laki harus kuat, keras, dan tak boleh menangis. “Umi—ibunya—bilang laki-laki itu enggak boleh cengeng. Harus kuat,” cerita Ghevin kepada Magdalene. 

Namun Ghevin menunjukkan gelagat berbeda dengan anak-anak lelaki di sekitarnya. Karena itu sejak kecil, kelembutannya sering dianggap tak sesuai standar maskulinitas. Label seperti banci atau bencong melekat. “Aku pernah berpikir, jangan-jangan memang ada yang salah dalam hidupku,” tambahnya. 

Titik balik datang saat ia kuliah. Tepatnya ketika ia mulai mengenal isu gender dan lingkar studi feminis. Dari situ, Ghevin mulai menerima diri sendiri dan berani membuka percakapan dengan ibunya. Pengalaman pribadi melihat orang terdekat menjadi korban kekerasan seksual memperkuat keyakinannya bahwa jalan ini harus ditempuh. 

Baca juga: Dari Anak Buruh Migran Jadi Aktivis Gender: Cerita Nur Azila Rumi

Menghadapi Keluarga, Memulai dari Rumah 

Perubahan dalam keluarga tak datang instan. Bagi Ghevin, advokasi pertama kali diuji di lingkar terdekat, yakni keluarga. Ia tidak memulai dengan debat, tapi percakapan kecil, terutama memanfaatkan pengalaman ibunya sendiri. Adapun topik yang sering dibicarakan adalah beban ganda, termasuk tanggung jawab domestik yang tetap dibebankan pada perempuan meski mereka bekerja di ranah publik. 

Ibu Ghevin bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil. Namun, ibu tetap harus menyiapkan makan bagi ayahnya meski bekerja penuh waktu. 

“Di rumah, makan tuh tiga kali sehari dan lauknya enggak boleh sama. Aku ingat banget, Abi duduk di depan TV, dan Umi yang menyiapkan semuanya,” ungkap Ghevin. 

Rutinitas itu membuka matanya tentang bagaimana patriarki bekerja di ruang keluarga. Laki-laki diposisikan sebagai pihak yang harus dilayani, sementara kerja domestik perempuan dianggap kewajiban. Ghevin perlahan memperkenalkan konsep beban ganda kepada ibunya, menjelaskan bahwa kerja perempuan sering kali dua kali lipat tetapi jarang diakui. 

Seiring waktu, ibunya mulai terbuka, mendengarkan, bahkan belajar memahami isu yang sebelumnya terasa asing. Ketika terjadi kasus kekerasan seksual di tempatnya mengajar, ibunya datang meminta saran. Begitu pula ketika menyinggung mahasiswa yang tampil nyentrik di kampus Islam tempatnya bekerja. 

“Biasanya aku bilang, kita enggak punya hak buat menghakimi mereka, tapi di sisi lain, aku juga bisa paham keresahan Umi, karena dia mengajar di lingkungan yang sangat diatur oleh nilai-nilai agama,” lanjutnya. 

Percakapan-percakapan itu membuat ibunya mulai melihat realitas dengan kacamata empati. Kini, hubungan mereka lebih terbuka. Ibunya tak ragu berdiskusi sebelum berkomentar soal isu gender. Bagi Ghevin, itu perubahan kecil yang berarti besar. 

Baca juga: Annisa Emery Manik: Perempuan Tuli Penggerak Advokasi Gender Inklusif

Tantangan Baru hingga Advokasi dari Laki-laki ke Laki-laki 

Perubahan zaman menghadirkan tantangan baru. Di media sosial sendiri, konten seperti “feminine-masculine energy” atau tren “traditional wife” membanjiri ruang digital. Narasi-narasi ini justru melanggengkan peran gender kaku yang merugikan baik perempuan maupun laki-laki. 

Menurut Ghevin tren semacam ini berbahaya. Ia mencontohkan bagaimana konten yang menekankan bahwa perempuan hanya mencari laki-laki kaya bisa menumbuhkan kebencian berbasis gender. 

“Alih-alih refleksi diri, banyak laki-laki jadi melihat perempuan sebagai sumber penderitaan,” katanya lagi. 

Menurutnya, strategi advokasi pun perlu ikut bergeser. Dibutuhkan kontra-narasi yang lebih relevan, literasi digital yang kuat, serta ruang belajar yang ramah tanpa menghakimi.  

Keresahan itulah yang mendorong Ghevin untuk bergerak lebih jauh. Pada 2024, ia menjadi salah satu peserta Youth Leadership Camp Magdalene (YLC). Sebagai bagian dari ALB, ia menginisiasi kampanye #BeAllyRoundtable, sebuah ruang refleksi dan diskusi bagi laki-laki untuk memahami bagaimana dekonstruksi maskulinitas dapat membantu mencegah kekerasan berbasis gender dan membangun relasi yang lebih adil serta inklusif. 

Advokasi ini sejalan dengan visi ALB yang menggunakan pendekatan “dari laki-laki untuk laki-laki”. Menurut Ghevin, hal ini penting karena banyak laki-laki hanya mau mendengar jika yang bicara adalah sesama laki-laki. 

“Peran kita bukan menghakimi, tapi menciptakan ruang aman. Pertama, validasi dulu perasaan mereka, baru pelan-pelan menggeser perspektifnya,” jelasnya. 

Baginya, kunci advokasi ini adalah kesabaran dan empati. Alih-alih langsung menuntut perubahan secara instan, ia lebih memilih membangun safe space agar laki-laki berani bertanya, merefleksikan privilese mereka, dan menyadari sistem patriarki sebenarnya juga merugikan mereka. 

“Laki-laki sering enggak sadar kalau standar maskulinitas justru bikin mereka kesepian, enggak bisa berbagi beban,” katanya. 

Namun, Ghevin paham betul bahwa advokasi tak selalu harus terjadi di forum-forum resmi. Sering kali, ruang tongkrongan justru jadi medan yang penting. 

Ia memanfaatkan obrolan santai di tongkrongan untuk pelan-pelan menggeser pembahasan ke isu gender. Strategi itu terbukti berhasil. Teman-temannya kini lebih sadar, mulai membatasi jokes seksis, bahkan melihat isu consent dengan lebih serius. 

Baca juga: Bella Agustina: Bahkan Bicara Tubuh Sendiri pun Perempuan Tak Bisa

Apa yang Bisa Dilakukan Laki-laki? 

Ghevin bercerita bagaimana pendekatan yang digunakan dalam #BeAllyRoundtable berangkat dari keyakinan perubahan selalu dimulai dari langkah kecil. Misalnya, mendengarkan pengalaman perempuan tanpa mencela, merefleksikan privilese sebagai laki-laki, dan menyadari perilaku yang mungkin menyakiti tanpa disadari. Dari sana, perlahan tumbuh kesadaran baru yang bisa menular ke lingkungan sekitar. 

“Dan bisa mulai membaca buku, atau belajar dari konten di media sosial yang membahas isu perempuan,” katanya. 

“Memang enggak bisa langsung berubah, tapi dari proses memahami itu, kita bisa memantik obrolan dengan laki-laki lain.” 

Menurutnya, kesetaraan bukan tentang melawan laki-laki, tapi mengajak mereka bersama-sama menciptakan dunia yang lebih adil. Perjalanan gendernya mengingatkan advokasi selalu bermula dari pengalaman personal, dan dari sana lahir keyakinan dunia bisa berubah ketika kita berani membuka ruang untuk saling mendengar dan memahami. 

This article was produced by Magdalene.co as part of the #WaveForEquality campaign, supported by Investing in Women (IW), an Australian Government initiative. The views expressed in this article do not necessarily represent the views of IW or the Australian Government.

Series artikel lain bisa dibaca di sini.

About Author

Sonia Kharisma Putri

Sonia suka hal-hal yang cantik dan punya mimpi hidup berkecukupan tanpa harus merantau lagi. Sekarang lebih suka minum americano daripada kopi susu keluarga.