Hilangnya Sono
Hilangnya boneka kayu milik Suria menandai direnggutnya masa kanak-kanak dan kemerdekaannya.
Namanya Sono. Rambutnya terbuat dari ijuk dan kakinya kayu panjang sebelah. Walau begitu, Sono bukan sembarang boneka. Dia adalah teman Suria yang paling berharga. Beberapa kali, orang tua Suria menyuruhnya membuang Sono, tapi bocah berusia 11 tahun itu menolak keras. Sono adalah boneka pertama buatan Suria sehingga dialah teman yang mendampinginya mengarungi dunia yang buas.
Maka ketika Sono raib, Suria uring-uringan. Sudah dua hari Suria gundah. Ia telah mencari Sono hingga celah terkecil, namun hasilnya nihil. Senyum yang biasa menggantung di pipinya yang ranum itu tenggelam seketika. Raut wajahnya kelam dan tak seorang pun bisa melipur laranya.
Pagi ini wajah Suri semakin cemberut yang berarti kegusarannya semakin menjadi-jadi. Hari ini libur sekolah. Seharusnya Suri dan Sono bisa memulai petualangan baru.
Perilaku Suria tak urung membuat Ibu khawatir. Suria adalah anak yang ramah dan mudah tersenyum. Tapi kalau suasana hatinya sedang buruk, manusia paling berani sekali pun akan gentar melihat rautnya. Ibu tak ingin sikap anaknya itu mempengaruhi pertemuan di rumah sore nanti. Sementara Suria, tak mengerti dengan kecemasan Ibu, terus menekuk wajah. Dia bahkan melontarkan protes saat Ibu menyuruhnya mandi pagi. Dalam sekejap mereka berdebat.
“Kalau kau menurut, sore nanti kau boleh berenang di laut,” ibunya membujuk.
Mata Suria membulat. Jarang-jarang Ibu mengizinkannya berenang. Biasanya, dia harus menyelinap ke pantai saat Ibu lengah. Akibatnya, saat pulang dalam keadaan baju yang basah dan rambut penuh pasir, Suri akan diganjar jeweran dan cubitan di perut.
Baca juga: Dua Lubang di Rumah Bia
Ibu memang sangat keras mendidik anak perempuannya. Kata Ibu, anak perempuan tidak boleh bermain di tempat sembarangan. Sebelum menikah, tiga kakak perempuan Suria pun jarang bermain keluar rumah. Sehari-hari sepulang sekolah, ibu Suria akan memerintahkan anak-anaknya untuk makan siang, menjaga warung kelontong, mandi, belajar memasak, atau mengerjakan tugas. Tapi, Suria paling malas masuk ke dapur. Gadis kecil ini selalu merengut saat Ibu memintanya mengupas bawang. Dia tahu umbi itu hanya akan membuat matanya perih.
“Kalau mengupas bawang saja bikin kau nangis, bagaimana kau akan merawat suamimu nanti?” tegur Ibu suatu waktu.
Jadi, saat mendengar tawaran Ibu yang mengizinkan dia berenang, Suria tak mau melewatkannya begitu saja. Suria segera mandi dan mengenakan pakaiannya yang terbaik. Suria pun langsung mengangguk ketika diminta membantu menyajikan kopi sore nanti. Ia tak ingin Ibunya berubah pikiran.
Setelah mandi, Suria duduk di depan cermin di kamar. Bayang-bayang Sono kembali lewat. Ah, Sono. Suria terkenang saat ia dan Sono menghadiri pesta dansa Kerajaan Bawah Laut. Mereka berkenalan dengan gerombolan putri duyung. Walau pincang, Sono berdansa sepenuh hati. Melihat Sono menari riang, hati Suria tergerak. Dia pun masuk ke dalam lingkaran dansa. Tubuh mereka melayang-layang diapit para putri duyung. Ekor mereka berkibas seiring alunan musik.
Ada juga saat mereka terperangkap di puri milik raksasa hijau bertaring tujuh. Raksasa seram itu mengurung mereka di ruangan terpisah. Namun entah bagaimana, Sono berhasil menemukan dan membebaskannya. Saat Suria bertanya bagaimana cara Sono membebaskan diri dari kurungan, dengan mudah Sono mencabut salah satu kakinya.
“Ini kunci rahasianya,” kata Sono sambil mengedipkan mata.
Namun petualangan yang paling berkesan adalah saat mereka terjebak badai dalam perjalanan menuju Kerajaan Awan untuk undangan minum teh. Petir menyambar-nyambar dan butir hujan seukuran kemiri. Permadani yang mereka tumpangi basah kuyup dengan kemiringan yang mengkhawatirkan. Suria mencengkeram ujung permadani dengan tangan kiri. Sementara Sono meringkuk di dalam saku bajunya. Di hadapan mereka, ada cumolonimbus mengancam. Angin yang kencang menyeret mereka ke arah awan marah itu. Permadani semakin oleng.
Baca juga: Gea dan Ranting Pohon Kemenyan
Lalu entah dari mana datangnya, sebuah pesawat lewat. Terbuat dari besi tembus pandang yang dilapisi kuntum bunga dan ranting pohon. Tak seperti permadani mereka, pesawat itu sedikit pun tak terganggu dengan amukan badai. Pesawat itu berhenti di hadapan Suria dan Sono. Tiba-tiba pintunya terbuka. Seorang anak perempuan seusia Suria muncul. Dia mengenakan helm pilot dan baju safari yang kedodoran. Dengan cepat, gadis itu melemparkan tali laso dan menarik permadani mereka. Setelah dekat, Suria melompat ke dalam pesawat.
Nama gadis itu Niki. Ternyata, dia juga sedang menuju Kerajaan Awan. Niki bercerita, dia bertugas untuk mengantarkan anggota kerajaan itu ke tempat-tempat indah dan rahasia di seluruh dunia. Mendengarnya, Suria berdecak kagum.
“Hebat sekali bisa keliling dunia!” Suria memuji.
Niki tersenyum lebar. Hingga terlihat giginya yang jarang-jarang. Dia mengajak Suria ke kokpit. Di kursi kopilot, tampak makhluk aneh. Kepalanya menyerupai jamur kancing, namun tubuhnya memiliki tangan kaki. Makhluk itu tampak fokus mengemudikan pesawat.
“Ini Bruni, sahabatku. Sejak kecil kami bertualang bersama,” kata Niki. Bruni menoleh sejenak sambil menganggukkan kepala kepada Suria. Lalu matanya kembali fokus ke depan.
“Bruni tak terbiasa dengan orang baru. Tak perlu mengacuhkannya,” kata Niki lagi.
Suria tersenyum. Dia kemudian memperkenalkan Sono. Sahabatnya itu melompat dari saku bajunya dan duduk di sebelah Bruni. Bruni tampak tak peduli.
Suria tak mampu menahan kekagumannya terhadap ruangan itu. “Boleh aku mencoba mengendarainya?” Niki mengangguk. Untuk beberapa saat, Niki menjelaskan caranya.
Segera setelah Sono duduk di kursi utama, dia tahu ingin menjadi pilot seperti Niki. “Kau akan jadi awak Sono!” Suria menjerit.
Suria paling malas masuk ke dapur. Gadis kecil ini selalu merengut saat Ibu memintanya mengupas bawang. “Kalau mengupas bawang saja bikin kau nangis, bagaimana kau akan merawat suamimu nanti?” tegur Ibu suatu waktu.
Sono menepuk tangannya ringan. “Tentu, Kapten.”
Ingatan itu tak urung membuat Suria sedih. Sono, di mana kau? tanyanya dalam hati. Matanya mulai berkaca-kaca. Namun panggilan Ibu membuat dia segera menghapus air mata. Ia harus menjadi anak baik jika ingin bermain bebas di laut sore nanti. Suria merapikan gaunnya. Dia melangkah ke luar kamar.
Di ruang tamu, Ibu sudah rapi jali. Ayah juga. Suria keheranan. Ia tak menyadari tamu hari itu begitu istimewa sehingga kedua orang tuanya bersama-sama memutuskan untuk tinggal di rumah saja pada Sabtu. Ayah biasanya keluar sejak pagi untuk menyabung ayam atau sekedar menyaksikan sekumpulan tukang ojek bermain gundu di simpang lima. Hiburan-hiburan itu, kata Ayah, mampu mengembalikan energi yang terkuras usai membajak sawah.
Rumah pun sungguh bersih. Untuk sejenak, kesedihannya teralihkan oleh rasa penasaran tentang tamu mereka.
“Saat tamu kita datang, kau harus jadi gadis baik. Bikinkan kopi dan bawakan piring pinang. Mengerti?”
Suria mengangguk. Seandainya Sono di sini, dia pasti sudah bergegas menyelidiki. Saat ini Suria terlalu gundah untuk bertanya lebih lanjut. Dia menyimpan rasa penasarannya.
***
Tamu mereka sama sekali tidak mereka tidak istimewa. Mereka hanyalah sepasang orang dewasa dengan muka sedih yang penuh keriput. Tak seperti putri duyung ataupun Niki si pilot. Di tengah mereka, ada seorang pemuda canggung, yang terlihat jauh lebih tua daripada Suria. Suria meletakkan minuman dan piring pinang di meja. Dia membalikkan badan ketika Ibu memintanya ikut duduk. Suria menurut, berharap tawaran Ibu untuk berenang nanti sore tidak dibatalkan. Namun kali ini, pikiran bermain di laut pun tak lagi menarik. Pikirannya melayang ke mana-mana. Aku harus mencari Sono lebih teliti lagi, demikian Suria melamun.
Baca juga: Antara BH, Drakor, dan Jemuran Kos
Gelegar tawa memecah lamunannya. Suria memandang mereka satu per satu, tak mengerti. Lalu, matanya pun bertabrakan dengan si pemuda, yang ternyata memperhatikannya sejak tadi. Pemuda itu tersenyum, tapi Suria justru merasa tak nyaman. Dia langsung tidak menyukai pemuda itu. Cepat-cepat dia mengalihkan pandangan. Ibu yang duduk di sebelahnya membisikkan sesuatu. Dalam hati dia mulai kesal. Berapa banyak lagi yang dia lakukan?
Dengan terpaksa, dia memenuhi permintaan Ibu. Kali ini dia mendengarkan pembicaraan, berusaha tidak melamun.
“Bulan depan sepertinya bulan yang baik,” ujar tamu perempuan yang tak istimewa itu. Suria melihat Ibu mengangguk. Ibu tampak bersemangat.
“Saya setuju. Bulan depan sudah masuk musim kemarau. Dan tak ada yang lebih baik dari sebuah hari yang cerah,” Ibu menanggapi.
Suria berusaha tidak menguap. Orang-orang ini membosankan, Ibu dan Ayah juga, pikir Suria. Gadis itu mulai masuk ke dalam khayalannya: Sono, Bini dan Niki.
Namun sebuah suara lagi-lagi menariknya.
“Hingga saat itu, anak-anak kita bisa saling mengenal,” ujar perempuan itu lagi. “Bukan begitu, Nak Suria?”
Lima pasang mata menembus tubuh sang bocah. Suria tidak tahu harus menjawab apa. Dia masih tertatih untuk mencerna makna percakapan di ruang tamu itu. Sementara itu di dalam kepalanya, Sono menarik-nariknya untuk kembali ke dunia mereka yang penuh petualangan dan keajaiban.
Suria merasakan sakit di tulang rusuknya saat Ibu menyikutnya dengan keras. Mata ibu melotot, menyuruh Suria tersenyum dan menganggukkan kepala. Namun di kepalanya hanya ada Sono. Sahabatnya itu mungkin diculik raksasa jahat atau tersesat di kegelapan hutan. Menunggu Suria menemukannya. Sendirian. Selamanya.