Election 2024 Environment Issues Opini

‘Demam Nikel’ Perburuk Skor Emisi, Kenapa Dilanjutkan Mas Gibran?

Rating pengurangan emisi Indonesia terpuruk turut terimbas hilirisasi nikel, program kebanggaan Prabowo-Gibran.

Avatar
  • February 1, 2024
  • 5 min read
  • 2462 Views
‘Demam Nikel’ Perburuk Skor Emisi, Kenapa Dilanjutkan Mas Gibran?

Dalam debat calon wakil presiden (Cawapres), akhir Desember lalu, frasa hilirisasi nikel mendadak jadi buah bibir. Ini muncul setelah Cawapres nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka bertekad untuk meneruskan hilirisasi industri bahan mineral mentah, termasuk nikel dalam perdagangan internasional.

“Solusi yang paling kongkret (adalah) hilirisasi. Kita jangan mau lagi mengirim barang (mineral) mentah,” ujar Gibran dalam Debat Cawapres 2023, (22/12).

 

 

Yang disampaikan Gibran sontak menuai kritik. Hilirisasi nikel dikhawatirkan terus memperburuk kerusakan lingkungan. Sebut saja banjir bandang, krisis pangan nelayan, sampai masalah stunting yang menghantui anak-anak di Indonesia.

Kerusakan lingkungan itu memungkinkan, mengingat tingginya aktivitas di kawasan nikel bisa menekan rating emisi kita sampai titik terendah. Koalisi lembaga penelitian global, Climate Action Tracker (CAT), merilis hasil analisis terbaru seputar kebijakan dan aksi pengurangan emisi gas rumah kaca Indonesia dalam target iklim Nationally Determined Contribution (NDC) 2022.

NDC merupakan janji tertulis negara peserta Perjanjian Paris—kesepakatan iklim internasional yang diteken pada 2015—untuk berkontribusi dalam menahan pemanasan suhu Bumi ke angka maksimum 1,5°C pada 2030.

Analisis teranyar CAT menyatakan aspek kebijakan dan aksi pengurangan emisi Indonesia terjerembab ke rating terendah, yakni “Critically Insufficient” alias amat jauh dari cukup untuk meredam pemanasan global. Kategori ini merupakan nilai terendah dari lima rating versi CAT.

Adapun rating tersebut berarti, “jika semua negara di dunia mengikuti cara Indonesia, maka kenaikan suhu global akan mencapai 4°C,” ujar Delima Ramadhani, Koordinator Proyek Climate Action Tracker dari Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam diskusi di Jakarta pada (30/1).

Baca juga: Ekonomi Ekstraktif: Bayang Kepunahan Perempuan Indonesia

Petaka Senyap PLTU Captive

Kajian CAT menyimpulkan ada dua biang keladi rating Indonesia terpuruk. Pertama adalah naiknya pembakaran batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) raksasa yang beroperasi pada 2022 sehingga menambah emisi Indonesia sebesar 21 persen hanya dalam waktu setahun. Pada tahun tersebut, PLTU Batang dan PLTU Jawa 4 di Jawa Tengah mulai beroperasi. Keduanya berkapasitas 2.000 MW.

Sebab kedua adalah PLTU yang beroperasi di luar rencana dan jaringan PT PLN, kerap disebut PLTU captive. PLTU ini memasok listrik untuk banyak pabrik, salah satu yang terbesar adalah pengolahan bahan tambang (hilirisasi) seperti tembaga, nikel, dan sebagainya. Data perencanaan PLTU ini tidak terbuka untuk publik sehingga pembangunannya sulit dideteksi.

Presiden Jokowi meninjau pengolahan bijih nikel di Pabrik Smelter, Konawe, Sultra, Senin (27/12/2021). (BPMI Setpres/Laily Rachev)

Kapasitas total PLTU captive cukup besar, 14 gigawatt (GW) yang tersebar di seluruh Indonesia—nyaris dua kali lipat kapasitas listrik Sumatra. Pada 2030, akan lebih banyak batu bara yang dibakar karena akan ada tambahan kapasitas PLTU captive sebanyak 20 GW.

Delima menuturkan, PLTU captive bakal menaikkan emisi Indonesia sebesar 100 megaton setara CO2 (MTCO2E) pada 2030. Sementara, kenaikan konsumsi batu bara dari PLTU baru di rencana kelistrikan PT PLN akan menyumbang tambahan emisi sebesar 200 MTCO2E.

Dengan skenario ini, Indonesia akan menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 1.628 MTCO2E pada akhir dekade mendatang—naik hampir 50 persen dibandingkan emisi 2022 sebesar 1.155 MTCO2E.

Baca JugaPilpres 2024: Siapa Calon Paling Komit pada Energi Bersih?

Pekerjaan Berat Menanti

Sejauh mana pekerjaan rumah Indonesia untuk mengurangi emisi?

Menurut Delima, kita perlu mengacu pada angka emisi yang sesuai kondisi Indonesia untuk pembatasan suhu 1,5°C pada 2030. Besarannya sekitar 859 MTCO2E atau hampir separuh dari skenario emisi versi CAT pada tahun tersebut. Angka ini tidak sedikit, melebihi jumlah emisi dari aktivitas pengelolaan sampah dan penyediaan air di seluruh negara G20 pada akhir 2021.

Agar pengurangan emisi Indonesia bergerak ke titik ideal, menurut Delima, Indonesia perlu melaksanakan agenda reformasi kunci yang termuat dalam Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif dalam Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (CIPP JETP). Beberapa agenda tersebut seperti pensiun dini dan pengakhiran PLTU, reformasi perjanjian jual-beli listrik antara swasta dan PLN, dan sebagainya.

Delima mengatakan, pemerintah juga sepatutnya memastikan langkah pengurangan emisi ke titik minus di sektor kehutanan pada 2030 berjalan mulus. Saran berikutnya adalah peningkatan standar keberlanjutan bahan bakar nabati untuk mengurangi risikonya terhadap lingkungan dan masyarakat. Hal ini disampaikan Delima lantaran pemerintah berencana menaikkan campuran bahan bakar nabati hingga 40 persen dalam seliter solar (B40) dari kebijakan saat ini sebanyak 35 persen.

Cara lainnya adalah merumuskan rencana penggunaan listrik non-PLN yang ramah lingkungan untuk pabrik-pabrik. “Indonesia masih jauh dari (emisi) 800 MTCO2E dan kita hanya punya waktu 7 tahun untuk menutup gap tersebut,” tutur Delima.

Baca juga: Mengenal “Tobat Ekologi”, Istilah yang Dilempar Cak Imin Saat Debat Cawapres

Keterbukaan Listrik Pabrik Nikel

Analis bidang sistem ketenagalistrikan IESR, Akbar Bagaskara, mengungkapkan Indonesia perlu mengatasi persoalan data PLTU captive yang tertutup. Dia berkaca pada 2022 saat publik dihebohkan dengan jumlah PLTU tersebut yang sangat besar, sehingga menaikkan angka emisi Indonesia. “Keterbukaan ini yg kita dorong untuk (PLTU captive) yang ada,” ujar dia.

Keterbukaan data menurut Akbar sangat penting agar publik juga bisa memantau komitmen mereka meninggalkan energi batu bara.

Dia mengingatkan pabrik-pabrik pemilik pembangkit listrik di luar jaringan PLN juga harus memenuhi target energi terbarukan sebesar 23 persen dari bauran energi pembangkitan listrik pada 2025. Kalau perlu, target energi terbarukan ini dapat dinaikkan agar sejalan komitmen Indonesia membatasi kenaikan suhu 1,5°C dalam perjanjian paris.

“Strategi perlu dipikirkan, ini akan lebih rumit dari dekarbonisasi PLN,” kata Akbar.

Robby Irfany Maqoma, Environment Editor, The Conversation.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Robby Irfany Maqoma