Hukuman Mati untuk Pemerkosa Tak Bisa Selesaikan Persoalan
Gagal menimbulkan efek jera dan digadang-gadang sebagai upaya cuci tangan negara.
Pelaku kekerasan seksual (KS) Herry Wirawan dituntut hukuman mati. Ini bukan kali pertama hukuman mati mencuat sebagai upaya penegakan keadilan bagi korban. Jauh sebelum kasus Hery, pada 2016, hukuman mati dilayangkan pada Zainal alias Bos, dalang pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun.
Pada 2019, tiga pelaku pencabulan siswa, Muh Aris bin Syukur, Rahmat Slamet santoso, Dian Ansori, juga dijatuhi hukuman serupa. Dua jenis hukuman di atas dianggap setimpal untuk menebus kejahatan seksual para pelaku terhadap korban di bawah umur.
Maraknya tuntutan massa untuk menghukum pelaku dengan berat juga ditangkap oleh Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalamnya diatur pula perihal hukuman mati dan kebiri kimia.
Seolah mampu menjawab keadilan, persetujuan hukuman mati juga dilontarkan oleh beberapa tokoh publik. Kepada Tempo, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga, secara tegas mengharapkan terkabulnya tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas kasus Herry. Persetujuan senada disampaikah Ketua Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) Kabupaten Lebak Siti Nurasiah.
Baca juga: Atas Nama Baik Pesantren, Kekerasan Seksual Dipinggirkan
Pernyataan dan seluruh argumen persetujuan di atas patut dipertanyakan ulang. Jika hukuman mati terhadap pelaku KS mampu memberikan efek jera, lalu mengapa masih ada berantai kasus serupa yang terus berulang?
Melanggar HAM, Tak Efektif
Pada prinsipnya, setiap individu memiliki hak hidup yang tidak dapat ditangguhkan. Prinsip tersebut ada di dalam kovenan Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Melalui dasar tersebut, menjadi aneh jika di negara ini masih mencantumkan hukuman mati untuk pidana-pidana tertentu.
Atas alasan tersebut, menurut Sandrayati Moniaga, Komisioner Pengajian dan Penelitian Komisi Nasional Anti-Kekerasan dan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), tumpang-tindihnya aturan dan penegakan hukum di Indonesia patut dievaluasi. Ia menganggap hukuman mati adalah inkonstitusional. Senada dengan Sandriyati, Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mempertanyakan komitmen Indonesia terhadap konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 5 Tahun 1998.
Maka dalam kasus Herry, hukuman mati tidak dapat dibenarkan. Demikian pula hukuman kebiri kimia yang bahkan ditolak oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) karena telah melanggar kode etik.
Terbukti dari vonis hukuman mati Zainal di 2016, sama sekali tidak mengeliminasi kejahatan seksual lainnya. Bahkan jika diperinci, kejahatan seksual terhadap anak terus berulang lagi hingga hari-hari ini. Meski tidak bisa disamakan detail konteksnya, namun ini menjadi bukti bahwa hukuman mati tidak menyelesaikan masalah KS. Boro-boro menjamin perlindungan terhadap korban.
Baca juga: Problem Pembahasan Kekerasan Seksual dalam Fikih Islam
Negara Abai
Selain melanggar prinsip HAM, hukuman mati di dalam KS bisa dilihat sebagai upaya instan negara dalam menyelesaikan masalah. Hukuman tersebut tidak mengindahkan hak rehabilitasi pelaku serta jaminan korban. Hal ini menjadi salah satu indikasi, negara telah gagal melihat akar struktural yang membentuk KS.
Upaya-upaya preventif, penanganan, dan hak rehabilitasi, sesungguhnya telah diusulkan dalam Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Ketika negara begitu mudah mengabulkan tuntutan hukuman mati dan menolak grasi, lantas mengapa salah satu landasan hukum yang secara komprehensif mengatur dan mencegah KS harus mendapat jalan terjal untuk disetujui. RUU TPKS merupakan contoh produk hukum yang memandang bahwa KS harus dipahami sebagai problem struktural.
Penting bagi negara menjawab banyaknya kasus KS yang terjadi hampir di setiap lapis kehidupan, baik privat maupun publik. Luasnya permasalahan KS tidak bisa hanya dijawab dengan menghukum mati pelaku kejahatan seksual. Sebagai problem struktural, pemerintah dapat melihat ulang sistem hukum, pendidikan, ekonomi, dan lainnya, yang belum sensitif terhadap adanya permasalahan KS.
Saya mencatat, sebanyak apapun kita teriak-teriak soal urgensi hukuman mati, kasus KS, terutama di pesantren masih menjamur. Misalnya, Pesantren Shiddiqiyah Jombang di mana dua pengasuh pesantren di Ogan Ilir memerkosa 26 santri laki-laki mereka.
Baca juga: 5 Cara Atasi Bias Gender di Pondok Pesantren
Karena itulah, kerumpangan yang harus digenapi oleh negara adalah tidak adanya sistem pendidikan baik secara umum maupun keagamaan yang ramah pada persoalan ketidakadilan gender, tidak adanya sistem dan ruang pengaduan jika ada KS di pesantren, pun ketersediaan ahli dan tenaga pengajar yang memahami hak korban serta pelaku.
Kejahatan seksual adalah masalah struktural. Oleh karena itu, hukuman mati tidak akan mengeliminasi kasus KS di Indonesia. Pelegalan dan dukungan hukuman mati bisa disimpulkan sebagai upaya instan negara dalam menyelesaikan KS. Negara hanya menempuh jalan pintas namun tidak akan mematikan problem hulu kejahatan seksual.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.