Dear Ayah, Begini Cara Mendidik Anak Lebih Inklusif
Pengasuhan dan pendidikan inklusif diperlukan supaya anak diperlakukan secara adil, menghargai, dan berpartisipasi penuh dalam keluarga. Ayah harus berperan, kata IBCWE.
Memperingati Hari Ayah Nasional yang dirayakan setiap 12 November, Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) menyelenggarakan panel, bertajuk “Mengedukasi Anak Menjadi Inklusif: Bukan tentang Aku, tapi tentang Kita Semua”. Acara yang digelar pada (28/11) di Amartha Village, Jakarta Selatan itu, merupakan kolaborasi IBCWE dengan Amartha—platform teknologi keuangan mikro.
Sesuai judulnya, acara ini berupaya untuk menyuarakan, pentingnya pola asuh anak yang inklusif di tengah keberagaman. Salah satunya lewat mendobrak peran gender tradisional, dan melibatkan anak dalam pengambilan keputusan. Hal ini dilakukan AVP of Finance Controller Amartha Kuswahyu Adhi, sebagai suami dan ayah dari tiga orang anak.
Baca Juga: Terima Kasih untuk Ayahku yang Tak Pernah Ada
“Saya dorong anak untuk belajar membuat pilihan, sesederhana pas membeli baju. Lalu pilihan sekolah pas SD,” cerita Wahyu. Sebagai kepala keluarga, ia selalu melibatkan istri dalam pengambilan keputusan dan pengasuhan anak.
Sementara Internal Communication Lead Danone Indonesia Dewi Suryani, mengenalkan inklusivitas pada anak melalui pentingnya mengetahui identitas. Hal itu ia perkenalkan pada anak-anaknya selama tinggal di Skotlandia, sewaktu Dewi melanjutkan pendidikan.
“Tumbuh di negara asing, dia harus lihat bagaimana harus bersikap sebagai minoritas, tapi enggak boleh kehilangan suaranya,” ujar Dewi.
Karena itu, di hari pertama anaknya dititipkan di child care, Dewi mengatakan pada staf agar sang anak menerima makanan yang diberikan teman-temannya. Alasannya untuk menghindari konsumsi daging babi, lantaran keluarga Dewi beragama Islam.
Sementara dalam melakukan kerja perawatan, Dewi menuturkan anak-anaknya melihat contoh dari orang tua, yang bergantian dalam mengerjakan tugas domestik dan merawat anak. Misalnya, ketika Dewi ke kampus di pagi hari, suaminya mengurus pekerjaan rumah. Sedangkan di sore hari, suami Dewi bekerja, sehingga keduanya bergantian melakukan tanggung jawab tersebut.
Baca Juga: Pesan Penting Hari Ayah Nasional: Membongkar Maskulinitas Toksik
Psikolog dan Ketua Umum Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR) Nathanael Sumampouw menjelaskan, dalam hal ini eksposur dan sosok role model berperan penting. Sebab, anak melihat pengalaman orang-orang di sekitarnya—seperti orang tua dalam memberikan afeksi—yang kemudian akan lebih mudah diterapkan ketika anak menjadi dewasa.
“Di zaman sekarang, pengalaman itu bukan terbentuk dari kebetulan aja, tapi didesain. Orang tua bisa merancang, membuat program, atau sesuatu di mana anak mendapatkan kesempatan, untuk berinteraksi dengan (orang-orang) yang berbeda,” terang Nathanael.
Dalam aktivitas sehari-hari, ia mencontohkan ibu yang menyetir mobil dan ayah duduk di bangku penumpang. Atau ayah yang bertanggung jawab untuk memasak. Contoh sederhana ini akan membentuk pemahaman dalam diri anak tentang inklusivitas.
Namun, ada beberapa nilai-nilai mendasar yang perlu ditanamkan, ketika mengajarkan inklusivitas. Pertama, menghargai. Menurut Nathanael, sikap ini didasarkan oleh kasih sayang. Sebagai orang tua, memberikan kasih sayang yang cukup merupakan hal penting. Tujuannya agar anak dapat menghargai diri sendiri, kemudian menghargai orang lain.
“Kalau anak bisa menghargai diri sendiri, dia punya core belief, dan bersikap inklusif tanpa terpengaruh atau kehilangan identitas diri,” kata Nathanael.
Sependapat dengan Nathanael, Wahyu mencontohkan salah satu sikap menghargai dapat ditunjukkan lewat cara orang tua berkomunikasi. Berdasarkan pola asuhnya, Wahyu dan istri berusaha untuk tidak membantah ucapan satu sama lain di depan anak, sebagai bentuk saling menghargai, sehingga anak dapat melihat contohnya.
Kedua, melihat inklusif bukan hanya perihal memberikan pilihan, tapi melihat semua orang setara di tengah perbedaan. Sebab, di baliknya setiap orang memiliki keunikan masing-masing yang membuat setiap individu berharga.
Baca Juga: Ayah Saya Ternyata Feminis
Dewi merefleksikan hal itu ketika anak sulungnya membantu adiknya, yang mengalami kesulitan di sekolah. Peristiwa ini menjadi titik balik bagi Dewi, dalam menetapkan standar tinggi pada pendidikan anak. Ia memahami setiap anak berbeda, dan yang terpenting adalah tetap melibatkan mereka meski dalam kesulitan, bukan meninggalkan.
Ketiga, membentuk empati. Bagi Nathanael, penting agar anak-anaknya tahu, mereka bagian dari masyarakat Indonesia dan dunia yang beragam—bukan hanya dari sebuah keluarga. Dengan demikian, harapannya anak-anak dapat memahami posisi orang lain, termasuk yang tertindas dan termarginalkan.
“Saya rasa itu (empati) yang diperlukan ke depannya, di tengah dunia yang lagi enggak baik-baik saja,” tutur Nathanael.
“Jadi, kita butuh lebih banyak role model supaya bisa berempati dalam menghadapi keragaman dunia.”